Langsung ke konten utama

Postingan

Behavioristik dan Kolaborasi Ilmu: Menyatukan Pemahaman demi Keutuhan Psikologi

  (Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk membagikan apa yang ada dalam kepala, sekaligus menyuarakan keresahan, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya) Pendahuluan Pendekatan behavioristik dalam psikologi kerap dianggap sempit karena fokusnya hanya pada perilaku yang tampak dan terukur. Namun sesungguhnya, jika dimaknai dengan lebih reflektif, behaviorisme dapat berkontribusi besar dalam memahami perilaku manusia. Bukan dengan mengklaim sebagai pendekatan paling lengkap, tetapi justru dengan mengakui batasnya dan membuka ruang kerja sama lintas bidang ilmu. Esai ini membahas bagaimana behavioristik, alih-alih hanya membentuk perilaku, bisa digunakan untuk memahami perilaku secara fungsional, dan bagaimana pentingnya kerja sama antardisiplin dalam menjelaskan kompleksitas manusia. Behaviorisme: Dari Membentuk ke Memahami Secara historis, behaviorisme berkembang dari semangat ilmiah untuk menjadikan psikologi sebagai ilmu objektif. Tok...

Menggugat Freud Lewat Bahasa: Sebuah Kritik Terhadap Kesalahan Istilah Ego

  (Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk membagikan apa yang ada dalam kepala, sekaligus menyuarakan keresahan, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya) Pendahuluan Dalam sejarah psikologi modern, psikoanalisis menjadi salah satu teori paling berpengaruh, terutama melalui kontribusi Sigmund Freud. Salah satu konsep kunci dalam teorinya adalah pembagian struktur kepribadian menjadi tiga bagian: id, ego, dan superego. Namun, seiring berkembangnya pemahaman lintas bahasa dan budaya, muncul pertanyaan kritis: apakah istilah "ego" dalam kerangka Freud benar secara semantik dan konseptual? Dalam berbagai bahasa dan pemahaman masyarakat, "ego" identik dengan keangkuhan, dorongan diri yang tak terkendali, dan sifat egois. Sementara itu, Freud menggunakan istilah ini untuk menggambarkan fungsi pengatur dan penengah antara dorongan naluriah dan tuntutan sosial. Esai ini hendak menggugat pilihan istilah "ego" dalam teor...

Melampaui Identitas: Menelaah Ketimpangan sebagai Masalah Tindakan, Bukan Golongan Pendahuluan

 (Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk membagikan apa yang ada dalam kepala, sekaligus menyuarakan keresahan, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya) Wacana mengenai ketimpangan sosial sering kali dipenuhi oleh narasi biner: kaya versus miskin, laki-laki versus perempuan, mayoritas versus minoritas, pejabat versus rakyat. Ketimpangan seakan-akan berubah menjadi medan laga antara dua kelompok identitas yang saling berseberangan. Padahal, melihat ketimpangan hanya melalui kacamata konflik antargolongan berisiko menyesatkan arah perjuangan itu sendiri. Dalam kenyataannya, ketimpangan bukan persoalan siapa melawan siapa, melainkan tentang apa yang dilakukan siapa terhadap siapa. Oleh karena itu, pendekatan yang mengandalkan dikotomi identitas justru kerap gagal mengidentifikasi pelaku sesungguhnya dari ketidakadilan struktural. Perbedaan, Ketimpangan, dan Keadilan  Ketimpangan sering kali disamakan dengan ketidaksetaraan. Namun pan...

Luka yang Tidak Didengar: Ketika Kesadaran Menjadi Beban

 (Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk membagikan apa yang ada dalam kepala, sekaligus menyuarakan keresahan, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya) Pendahuluan Di era informasi yang melimpah, kesadaran sosial tumbuh begitu pesat. Masyarakat—terutama generasi muda dan kalangan mahasiswa—menjadi lebih peka terhadap isu-isu ketidakadilan, krisis iklim, pelanggaran HAM, dan segala bentuk penindasan struktural. Namun, di balik kesadaran yang tampak sebagai kemajuan intelektual dan moral ini, terdapat sisi lain yang jarang disorot: luka psikologis yang timbul dari rasa tidak berdaya. Bukan karena acuh, melainkan karena terlalu banyak yang ingin ditolong, terlalu banyak suara yang ingin dibela, tetapi kemampuan pribadi tak sebanding dengan luasnya persoalan dunia. Doktrin Tak Berwajah dan Luka yang Menyusup Diam-Diam Jika dulu doktrin datang dari otoritas formal—negara, agama, atau ideologi besar—kini doktrin menjelma dalam bentuk lain: ...

Ketika Pendewasaan Kehilangan Arah: Menelusuri Kembali Makna Kebebasan dan Tanggung Jawab Moral

 (Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk membagikan apa yang ada dalam kepala, sekaligus menyuarakan keresahan, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya) Di zaman ketika ekspresi diri dirayakan sebagai puncak pencapaian pribadi, muncul satu ironi yang sulit diabaikan: semakin orang merasa bebas, semakin kabur batas yang memisahkan antara keberanian dan kelalaian, antara pembebasan dan pelarian. Salah satu contoh paling kasat mata dari fenomena ini adalah kebebasan dalam berpakaian yang sering dijustifikasi sebagai bentuk pendewasaan. Namun benarkah keberanian membuka diri di ruang publik adalah bentuk pendewasaan yang sejati? Atau justru sinyal bahwa kita telah kehilangan arah dalam memahami hakikat dewasa itu sendiri? Pendewasaan bukan sekadar soal kebebasan berekspresi, melainkan tentang kemampuan menanggung konsekuensi, menimbang nilai, dan mempertimbangkan keseimbangan antara diri dan lingkungan. Dalam konteks ini, rasa malu bukan s...

Ketika Malu Ditinggalkan: Menelaah Ulang Makna Pendewasaan dalam Budaya Ekspresi Diri

  (Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk membagikan apa yang ada dalam kepala, sekaligus menyuarakan keresahan, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya) Abstrak: Artikel ini membahas fenomena pergeseran makna rasa malu dalam masyarakat kontemporer, serta bagaimana perubahan ini berdampak pada cara individu memaknai kedewasaan. Dengan membedakan antara malu sosial dan malu etis ( haya' ), tulisan ini mengkaji bagaimana ekspresi diri yang diklaim sebagai simbol kebebasan justru bisa menjadi bentuk pengabaian nilai-nilai moral. Melalui pendekatan reflektif dan filosofis, artikel ini bertujuan membangun kesadaran bahwa kedewasaan bukanlah fase untuk meninggalkan moralitas, melainkan proses menyadari dan menjaga nilai-nilai etis dalam kehidupan. Pendahuluan Di tengah arus deras modernitas dan budaya digital, ekspresi diri menjadi nilai yang diagungkan. Individu berlomba menunjukkan siapa dirinya secara terbuka, seringkali tanpa batas. Dal...

Membedakan Pembelaan dan Pembenaran: Upaya Menjaga Akal Sehat di Tengah Ketimpangan

  (Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk menbagikan apa yang ada dalam kepala, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya) Dalam ruang diskusi sosial yang semakin bising, kebenaran sering kali terombang-ambing oleh pembelaan emosional yang tidak jarang menjelma menjadi pembenaran. Fenomena ini sangat terasa ketika isu-isu ketimpangan gender, patriarki, dan peran domestik dibicarakan secara terbuka, seperti yang terlihat dalam berbagai unggahan di media sosial. Di satu sisi, adanya kesadaran terhadap ketimpangan merupakan langkah progresif; tetapi di sisi lain, tanpa kehati-hatian dalam narasi, perjuangan itu dapat berubah arah menjadi bentuk resistensi yang salah sasaran dan justru memperpanjang siklus perpecahan. Salah satu contoh yang cukup mencolok adalah ketika pekerjaan rumah tangga diklaim sebagai kodrat perempuan oleh sistem patriarki. Unggahan-unggahan seperti itu sering kali memuat keluhan atas standar ganda, misalnya tentang ba...