Langsung ke konten utama

Luka yang Tidak Didengar: Ketika Kesadaran Menjadi Beban

 (Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk membagikan apa yang ada dalam kepala, sekaligus menyuarakan keresahan, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya)


Pendahuluan

Di era informasi yang melimpah, kesadaran sosial tumbuh begitu pesat. Masyarakat—terutama generasi muda dan kalangan mahasiswa—menjadi lebih peka terhadap isu-isu ketidakadilan, krisis iklim, pelanggaran HAM, dan segala bentuk penindasan struktural. Namun, di balik kesadaran yang tampak sebagai kemajuan intelektual dan moral ini, terdapat sisi lain yang jarang disorot: luka psikologis yang timbul dari rasa tidak berdaya. Bukan karena acuh, melainkan karena terlalu banyak yang ingin ditolong, terlalu banyak suara yang ingin dibela, tetapi kemampuan pribadi tak sebanding dengan luasnya persoalan dunia.


Doktrin Tak Berwajah dan Luka yang Menyusup Diam-Diam

Jika dulu doktrin datang dari otoritas formal—negara, agama, atau ideologi besar—kini doktrin menjelma dalam bentuk lain: berita yang mengalir tanpa henti, tren media sosial, dan algoritma digital. Tanpa sadar, seseorang bisa meyakini bahwa diam adalah dosa, bahwa tidak bersuara berarti tidak peduli, bahwa keberpihakan harus ditunjukkan dengan ekspresi publik yang konsisten. Pola pikir ini tidak dibentuk oleh satu orang atau institusi, melainkan oleh gelombang narasi yang terus-menerus mengaburkan batas antara kesadaran dan keterpaksaan.

Kondisi ini menciptakan luka yang tidak datang dari pengalaman langsung, melainkan dari doktrin kolektif yang diterima mentah-mentah. Seperti tokoh Hody Jones dalam anime One Piece, yang membenci manusia bukan karena luka pribadinya, tetapi karena narasi kolektif yang diwariskan sejak kecil. Kebencian itu menjadi motivasi untuk "menebus" rasa rendah diri kolektif manusia ikan dengan menjadikan diri sebagai superior. Ironisnya, niat itu justru menjelma menjadi kekerasan baru yang membahayakan semua pihak—termasuk dirinya sendiri.


Ketika Kesadaran Menjadi Beban Pribadi

Tidak semua respons terhadap doktrin kolektif melahirkan perlawanan terbuka seperti Hody. Ada pula yang justru melukai diri sendiri dalam diam. Mereka merasa bersalah karena tidak bisa mengubah apa pun. Mereka menanggung rasa tidak berdaya karena menyadari bahwa keberpihakan moral tidak otomatis mengubah struktur sosial. Mereka terjebak dalam kesadaran yang tajam namun tidak berujung pada tindakan yang nyata. Inilah bentuk luka yang lebih sunyi, tetapi tidak kalah menyakitkan: luka yang tidak didengar.

Di kalangan mahasiswa, luka ini sering muncul dalam bentuk sikap yang memaksakan diri untuk terus aktif, bersuara, atau turun ke jalan—meskipun mereka tahu bahwa bentuk-bentuk itu kadang tidak efektif. Mereka didorong oleh narasi historis keberhasilan masa lalu, namun lupa bahwa konteks hari ini berbeda. Ketika hasil tidak sejalan dengan ekspektasi moral, yang muncul bukanlah refleksi kolektif, melainkan kekecewaan personal yang disimpan dalam-dalam.


Diam Bukan Berarti Tidak Peduli

Ada kesalahpahaman besar dalam masyarakat digital: bahwa yang tidak bersuara berarti tidak peduli. Padahal, dalam banyak kasus, diam adalah bentuk sadar bahwa dirinya bukan pusat dunia, bahwa ia tidak mampu menyelesaikan semua hal, dan bahwa ada kalanya menenangkan diri lebih penting daripada menambah kebisingan tanpa solusi. Diam bisa jadi bentuk empati yang hening, bukan ketidakpedulian.

Kondisi ini menggambarkan pentingnya menyaring informasi. Tidak semua berita harus dikonsumsi. Tidak semua luka dunia harus dibawa pulang ke hati. Karena pada akhirnya, beban moral yang terlalu besar bisa melumpuhkan, bukan membebaskan. Seseorang tidak bisa menjadi penyelamat dunia setiap hari, dan itu bukanlah bentuk kegagalan.


Penutup

Dalam dunia yang terus mendorong individu untuk tampil sebagai agen perubahan, kita perlu menyadari bahwa perubahan tidak selalu datang dari suara yang paling nyaring. Kadang, perubahan justru lahir dari kesadaran yang tenang dan refleksi yang jujur. Luka yang tidak didengar bukanlah kelemahan, melainkan panggilan untuk lebih bijak dalam memaknai peran diri. Kesadaran memang penting, tetapi menjadikannya beban tanpa arah hanya akan membuat kita kehilangan makna dari kesadaran itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...