Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang.
Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi.
Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari dalam mobil dengan teratur. Satu perawat terakhir berhasil menarik perhatianku sepenuhnya. Bukan sebab aku mata keranjang, tapi seolah ada rindu yang ia bawa untuk kemudian dikirimkan pada seseorang. Dalam paket rindu itu tampak jelas tertulis sebagai penerima adalah aku sendiri. Aku orangnya. Perawat itu membawa rindu untuk aku terima.
"Eh, Abang?" Bukan hanya aku yang terkejut, sang perawat juga terkejut dan tidak kuasa menutupi keterkejutannya dengan bertanya. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
Degup jantung perlahan mulai teratur. Rasa gugup berangsur menghilang. Tanpa ada perintah dari siapa pun, ujung-ujung bibir tiba-tiba saling menarik ke arah yang berlawanan. Aku tersenyum. "Aku menjadi guru di sini."
Satu kecambah baru saja muncul dari dalam tanah. Perlahan kelak akan tumbuh menjadi sekuntum bunga paling indah di puncak kemekarannya. Apa yang sedang layu selama bertahun-tahun, bahkan hampir mati selama dua tahun terakhir, kini perlahan akan kembali menunjukkan pesonanya. Rindu adalah pupuknya, dan Pertemuan ibarat hujan yang turun membawa kesegaran. Dialog itu kembali terdengar. Aku tidak pernah mendambakan pertemuan. Bahkan pertemuan hanya ada di kali pertama. Katanya ini mitos, tapi aku percaya akan cinta pada pandangan pertama. Aku jatuh cinta pada sang bunga.
Para perawat segera merapat menuju panggung, selaras dengan para murid yang mulai berkumpul di lapangan siap mendengarkan. Anak-anak Sekolah Menengah Pertama. Bukan tanpa alasan aku menjadi guru di sini. Ada ingatan masa lalu yang kemudian mendorongku untuk mengabdi di sini. Sekolah yang sama yang logonya pernah aku lihat di seragam seorang gadis kecil yang tersesat. Adalah dia. Sang bunga yang baru saja naik panggung dan menyapa seluruh murid dengan segala keriangan.
Ketika para murid antusias mendengarkan, hanya aku seorang justru hanyut terbawa kenangan masa lalu usai menerima sepaket rindu yang meneduhkan.
Jauh di masa lalu saat aku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Tepatnya adalah hari di mana Olimpiade Sains dilaksanakan dan sekolahku bertanggung jawab menjadi tuan rumah. Ada banyak sekali murid-murid terpilih yang mewakili sekolah masing-masing berkumpul di satu tempat yang sama. Sebagai anggota OSIS, aku membantu para guru dalam menjalankan acara untuk berlangsung dengan sebaik-baiknya.
Di sanalah pertemuan pertama itu terjadi. Seorang gadis kecil dengan hijab putihnya dan beberapa teman lain datang menghampiriku. Seorang dari mereka bertanya padaku di mana ruangan ujian baginya berada. Saat itu aku tidak terlalu mendengarkan. Seolah ada di bawah pengaruh hipnotis, aku mengabaikan pertanyaan itu dan bertanya hal lain pada seorang gadis yang mata jernihnya berhasil mengambil perhatianku sepenuhnya.
"Apakah kamu sudah menemukan ruanganmu?"
Gadis itu berhasil dibuat bingung. Kepalanya menoleh ke arah teman-temannya untuk memastikan kepada siapa aku bertanya. Sebelum kemudian akhirnya ia pun sadar dan menjawab pertanyaanku dengan kikuk. "Aku sudah menemukannya, Kak."
"Apakah alat-alat ujiannya sudah lengkap?" Sekali lagi aku bertanya.
Pertanyaan kedua ini berhasil membuat wajahnya merona. Ia pun mengangguk pelan sambil tersipu sebagai jawaban.
Aku tersenyum. Seolah ada hati yang baru saja bertautan satu sama lain. Terserah orang bilang apakah ini mitos, atau malah menganggapku serupa orang bodoh. Aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Matanya yang jernih, suaranya lembut, dan tingkahnya yang lucu sebab malu-malu, tidak pernah aku temukan seorang gadis yang lebih menggemaskan dari apa yang baru saja aku temukan.
Usai hanyut dalam petualangan menggairahkan, aku pun kembali sadar dan membawa mereka semua menuju ruangan ujian di mana mereka seharusnya berada.
Entah bagaimana aku harus menyebut diri sendiri hari itu. Selepas ujian selesai, ada seberkas rindu yang mendambakan pertemuan. Ada waktu tunggu yang akhirnya berakhir sudah. Aku menemukan gadis itu lagi. Atau sebenarnya aku tidak menemukan apa-apa, sebab aku sengaja menunggu. Memusatkan pandangan pada pintu ruangan di mana gadis itu berada dan berkompetisi. Dalam keadaan paling sadar, aku berusaha menarik perhatian dengan pura-pura lewat di depan mereka saat ia sedang sibuk mengambil gambar dan berfoto mengabadikan kenangan.
Ada sebuah daya magis entah datang dari mana yang membuatku segera mengambil keputusan dan mengubah rencana dengan tindakan paling gila yang tidak pernah aku bayangkan. Aku bukan hanya lewat untuk meminta perhatian seperti rencana, tapi dengan kesadaran penuh mendatangi mereka secara langsung dan menawarkan diri sebagai juru foto bagi mereka semua.
Belum cukup hanya dengan dialog di tempat, perkenalan itu pun akhirnya terjadi, sampai kami saling bertukar media sosial dan terus menyambung komunikasi pada pertemuan yang entah apakah akan ada episode berikutnya atau tidak.
Aku tidak tau bagaimana harus menyebutnya. Aku bilang ini cinta pada pandangan pertama, walau sebenarnya aku pun tidak tau apa itu cinta. Aku mengartikan cinta sebagaimana teman-teman memaknai cinta dari pengalaman mereka. Apa yang didapat dari buku, tontonan televisi, atau sebuah dunia maya yang baru lahir dan mampu menghubungkan satu dunia.
Sebut saja ini kisah cinta, biar aku tidak malu telah mengatakannya secara terang-terangan. Walau... apa artinya cinta tanpa pertemuan? Tanpa adanya dialog mesra sepasang kekasih? Setelah pertemuan itu, hanya ada dialog umum. Aku memang payah dalam memulai percakapan. Tidak pandai menyapa atau pun menanyakan kabar. Segalanya harus memiliki tujuan, harus ada nilai guna dari setiap percakapan yang akan terjadi berikutnya. Seperti ucapan selamat ulang tahun, atau ucapan belasungkawa sewaktu ibuku meninggal dunia. Aku sangat berterima kasih padanya atas ucapan belasungkawa itu. Mendapatkan ucapan darinya benar-benar berhasil membuatku kuat, walau sedikit.
Selebihnya tidak ada dialog lagi dan tetap sebagaimana biasanya. Sampai satu hari aku temukan sebuah pesan muncul di kolom pesanku. Akun tidak dikenal, tapi aku tau siapa pemiliknya. Orang menyebutnya confess. Gadis yang sama baru saja menyatakan cintanya padaku secara malu-malu. Dan itu benar-benar menggemaskan. Tidak ada yang tau betapa bahagianya aku mendapatkan pengakuan cinta seperti itu. Cintaku berbalas, jawaban itu yang akhirnya aku dapatkan dari pertanyaan-pertanyaan perihal sepasang cinta. Tapi aku tidak bisa langsung menjawab. Aku bukan lagi anak sekolah yang baru mengenal cinta. Aku adalah orang dewasa yang sedang berjuang mengukir masa depan. Pada akhirnya aku menjawab pernyataan cinta itu sebagaimana orang dewasa bersikap pada cinta. Sejujurnya aku takut. Aku takut dia menganggapnya sebagai penolakan. Walau aku lebih suka menyebutnya sebagai penundaan. Seolah terkena karma, aku menuai apa yang sudah aku tanam. Tidak ada balasan lagi setelah itu. Tidak ada dialog lagi setelah pernyataan cinta waktu itu. Aku sibuk dengan kehidupanku, dia pun sibuk dengan kehidupannya sendiri. Entah bagaimana keadaannya setelah penolakan itu. Seorang teman bilang mungkin dia patah hati, sebagaimana orang-orang yang menerima penolakan cinta. Aku tidak bisa menyangkal, tapi aku juga tidak kuasa membenarkan. Itu sama sekali tidak benar. Itu bukan penolakan. Aku jatuh cinta. Aku mencintainya bahkan sejak pandangan pertama. Dan aku tau dia pun sama begitu.
Sejujurnya ada sedikit penyesalan. Sedikit sekali. Pengabdianku pada sekolah ini adalah upayaku untuk membayar lunas penyesalan itu. Aku tidak tau dia di mana. Bagaimana kabarnya setelah waktu itu pun aku tidak tau. Apa yang aku ingat hanyalah sekolah ini. Logo sekolah yang aku lihat di seragam gadis itu saat jumpa pertama.
Sebenarnya aku hampir lupa. Tapi semesta sepertinya belum mengizinkan. Maka terjadilah pertemuan hari ini. Di tempat ini. Saat ia turun panggung nanti, aku akan ungkapkan semuanya. Sebagaimana apa yang pernah ia lakukan padaku dulu. Ini adalah upaya terakhirku dalam membayar lunas penyesalan. Aku tidak akan banyak berharap. Sangat tidak patut bagiku untuk banyak berharap setelah apa yang aku lakukan padanya di masa lalu. Harapanku cuma satu. Jawaban ya saat aku memintanya untuk menikah denganku.
---
Komentar
Posting Komentar