Langsung ke konten utama

Melampaui Identitas: Menelaah Ketimpangan sebagai Masalah Tindakan, Bukan Golongan Pendahuluan

 (Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk membagikan apa yang ada dalam kepala, sekaligus menyuarakan keresahan, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya)


Wacana mengenai ketimpangan sosial sering kali dipenuhi oleh narasi biner: kaya versus miskin, laki-laki versus perempuan, mayoritas versus minoritas, pejabat versus rakyat. Ketimpangan seakan-akan berubah menjadi medan laga antara dua kelompok identitas yang saling berseberangan. Padahal, melihat ketimpangan hanya melalui kacamata konflik antargolongan berisiko menyesatkan arah perjuangan itu sendiri. Dalam kenyataannya, ketimpangan bukan persoalan siapa melawan siapa, melainkan tentang apa yang dilakukan siapa terhadap siapa. Oleh karena itu, pendekatan yang mengandalkan dikotomi identitas justru kerap gagal mengidentifikasi pelaku sesungguhnya dari ketidakadilan struktural.


Perbedaan, Ketimpangan, dan Keadilan 

Ketimpangan sering kali disamakan dengan ketidaksetaraan. Namun pandangan ini terlalu menyederhanakan, karena tidak semua bentuk ketidaksamaan adalah ketimpangan. Perbedaan adalah fakta sosial yang sah: antara laki-laki dan perempuan, pejabat dan rakyat, orang kaya dan miskin. Perbedaan menjadi ketimpangan ketika salah satu pihak memanfaatkan posisi atau identitasnya untuk merendahkan, mengeksklusi, atau mengeksploitasi pihak lain.

Sebagaimana telah dikemukakan oleh Amartya Sen (1999), keadilan tidak dapat diukur hanya berdasarkan kesetaraan hasil, tetapi juga pada kemampuan setiap individu untuk menjalani kehidupan yang ia nilai berharga. Pandangan ini menguatkan bahwa ketimpangan adalah persoalan ketidakadilan, bukan semata-mata perbedaan angka atau status.


Identitas Bukan Musuh, Sistemlah yang Bermasalah 

Dalam banyak gerakan sosial kontemporer, terlihat kecenderungan untuk menyerang identitas kolektif tertentu—misalnya, menyalahkan seluruh laki-laki atas patriarki, atau menuding semua orang kaya sebagai penindas. Narasi ini, meskipun dipahami sebagai bentuk resistensi, pada akhirnya mengarahkan kemarahan kepada kategori yang terlalu luas dan tidak operasional. Akibatnya, kritik terhadap sistem kerap tereduksi menjadi perlawanan terhadap simbol, bukan substansi.

bell hooks (2000) menyatakan bahwa patriarki bukan semata persoalan laki-laki melawan perempuan, melainkan sistem nilai yang bisa direproduksi oleh siapa pun, termasuk perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini, yang perlu dilawan adalah tindakan yang menindas, bukan identitas pelaku. Demikian pula, dalam kerangka perjuangan kelas, Karl Marx sendiri menyadari bahwa kesadaran kelas tidak dibentuk hanya oleh posisi ekonomi, tetapi oleh kesadaran kolektif terhadap struktur produksi yang menindas.


Risiko Salah Sasaran dalam Perjuangan Sosial 

Melihat ketimpangan sebagai perang antar golongan berpotensi menciptakan siklus perlawanan yang tidak menyelesaikan masalah, bahkan melahirkan bentuk penindasan baru. Paulo Freire (1970) dalam Pedagogy of the Oppressed memperingatkan bahwa mereka yang terlibat dalam perjuangan pembebasan harus berhati-hati agar tidak menjadi “penindas yang baru.” Ketika perjuangan tidak diarahkan pada nilai dan tindakan, melainkan pada identitas, maka keadilan yang diharapkan justru digantikan oleh pembalasan.

Oleh karena itu, perjuangan melawan ketimpangan menuntut kecermatan intelektual dan kejujuran moral untuk memilah antara identitas sosial dan tindakan konkret. Bukan semua laki-laki bersalah karena patriarki, bukan semua orang kaya bersalah karena kemiskinan. Ketimpangan adalah hasil dari struktur dan perilaku yang secara sistemik mempertahankan ketidakadilan—dan pelakunya bisa datang dari berbagai golongan.


Penutup 

Ketimpangan tidak akan terselesaikan jika terus dipahami sebagai konflik antara dua kelompok sosial yang berlawanan. Yang perlu diperangi bukanlah identitas, tetapi tindakan yang melanggengkan ketidakadilan. Dengan membebaskan wacana ketimpangan dari dikotomi identitas, kita memberi ruang bagi perjuangan yang lebih adil, lebih tajam, dan lebih jujur terhadap realitas sosial itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...