(Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk membagikan apa yang ada dalam kepala, sekaligus menyuarakan keresahan, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya)
Pendahuluan
Dalam sejarah psikologi modern, psikoanalisis menjadi salah satu teori paling berpengaruh, terutama melalui kontribusi Sigmund Freud. Salah satu konsep kunci dalam teorinya adalah pembagian struktur kepribadian menjadi tiga bagian: id, ego, dan superego. Namun, seiring berkembangnya pemahaman lintas bahasa dan budaya, muncul pertanyaan kritis: apakah istilah "ego" dalam kerangka Freud benar secara semantik dan konseptual? Dalam berbagai bahasa dan pemahaman masyarakat, "ego" identik dengan keangkuhan, dorongan diri yang tak terkendali, dan sifat egois. Sementara itu, Freud menggunakan istilah ini untuk menggambarkan fungsi pengatur dan penengah antara dorongan naluriah dan tuntutan sosial. Esai ini hendak menggugat pilihan istilah "ego" dalam teori Freud melalui pendekatan linguistik dan fenomenologis.
Bahasa sebagai Cermin Kesadaran Sosial
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi; ia mencerminkan kesadaran kolektif manusia. Dalam hampir semua bahasa modern, kata "ego" membawa konotasi negatif. Dalam bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan ego sebagai "keakuan; kesadaran akan diri sendiri;" yang kemudian melahirkan istilah seperti egois (mementingkan diri sendiri) dan egosentris (berpusat pada diri sendiri). Demikian pula dalam bahasa Inggris, kata "ego" sering dikaitkan dengan pride, arrogance, atau self-obsession. Dalam budaya populer, seperti dalam film Marvel, karakter bernama Ego justru menggambarkan entitas berkuasa yang tidak bisa dikendalikan dan sangat egosentris.
Bila bahasa sehari-hari konsisten memaknai "ego" sebagai sesuatu yang destruktif atau setidaknya menonjolkan keakuan berlebihan, maka penempatan "ego" sebagai entitas penengah dan rasional dalam teori Freud menjadi bermasalah. Ini bukan sekadar soal terjemahan, melainkan soal representasi makna yang bertentangan dengan pengalaman sosial manusia.
Kesalahan Terjemahan atau Kelemahan Konseptual?
Dalam teks aslinya yang berbahasa Jerman, Freud menggunakan istilah Ich (aku), Es (itu), dan Uber-Ich (aku yang lebih tinggi). Istilah "ego," "id," dan "superego" muncul dalam terjemahan bahasa Latin oleh James Strachey dalam edisi Standar Inggris dari karya Freud. Namun, alih-alih memperjelas konsep, penggunaan istilah Latin ini justru menjauhkan pemahaman dari akar psikologis dan linguistik yang lebih intuitif.
Freud menggunakan “Ich” secara netral dan fungsional, tapi terjemahan ke dalam kata “ego” membawa beban semantik negatif dari akar Latin-nya. Terjemahan itulah yang bermasalah, bukan konsep awalnya. Tapi karena Freud sendiri tidak menggugat istilah itu saat digunakan dalam versi internasional, ia tetap punya andil dalam menyebarkan makna yang membingungkan.
Kritik yang layak diajukan adalah: mengapa "ego" sebagai "aku" tidak ditempatkan sebagai pusat keinginan dan kehendak yang justru sering membawa manusia pada konflik batin? Dalam realitas psikologis, perilaku yang disebut egois, manipulatif, dan penuh pembenaran diri justru muncul dari pusat "aku" itu sendiri. Maka seharusnya, "ego" lebih dekat dengan peran id, yaitu dorongan primitif dan pribadi, bukan sebaliknya.
Egosentrisme: Bukti Sosial yang Konsisten
Fenomena bahasa seperti "egosentrisme," "egoisme," dan "egomania" menunjukkan bahwa secara sosial dan budaya, istilah "ego" tidak pernah dipahami sebagai fungsi rasional atau penengah. Sebaliknya, istilah-istilah ini menggambarkan manusia yang tertutup pada sudut pandang lain, keras kepala, dan cenderung memanipulasi realitas demi kepentingan diri. Jika Freud menggunakan "ego" sebagai simbol kesadaran rasional yang menyeimbangkan antara dorongan bawah sadar dan norma sosial, maka seluruh ekosistem semantik dalam masyarakat justru bertolak belakang.
Ini menunjukkan bahwa ada kegagalan dalam menjembatani makna ilmiah dengan intuisi bahasa manusia. Sebuah istilah dalam ilmu sosial tidak boleh berdiri di atas kejanggalan semantik, apalagi jika sudah digunakan luas oleh publik tanpa pemahaman konteks teoretisnya.
Akibat dalam Pendidikan Psikologi
Salah satu dampak dari kekeliruan istilah ini adalah kebingungan di kalangan pelajar dan akademisi. Mahasiswa psikologi mempelajari struktur psikoanalisis dengan menghafal pembagian ego-id-superego tanpa pernah mempertanyakan apakah istilah tersebut logis secara bahasa. Akibatnya, mereka cenderung menjelaskan "ego" sebagai sesuatu yang rasional dan sehat, namun dalam kehidupan sosial mereka menyebut orang yang keras kepala dan manipulatif sebagai "bermasalah karena egonya terlalu besar."
Dua makna yang bertolak belakang ini hidup berdampingan dalam dunia akademik dan sosial tanpa pernah dikritisi secara memadai. Padahal, bahasa menyimpan kesadaran kolektif manusia, dan teori psikologi semestinya berakar pada pemahaman manusia tentang dirinya sendiri.
Penutup: Perlu Revisi atas Nama dan Makna
Esai ini tidak bermaksud menolak nilai psikoanalisis sebagai teori penting dalam sejarah psikologi. Namun, pilihan istilah—khususnya "ego"—perlu dikritisi secara linguistik dan filosofis. Bila ego secara universal dimaknai sebagai bentuk keangkuhan, maka menjadikannya simbol kesadaran rasional justru menimbulkan paradoks. Sudah waktunya psikologi modern merefleksikan ulang istilah-istilah warisan klasik, agar tidak terus memelihara kebingungan kolektif. Sebab dalam ilmu yang berbicara tentang manusia, bahasa bukan hanya alat; ia adalah realitas psikologis itu sendiri.
Sebagai solusi, disarankan penyusunan ulang struktur kepribadian Freud dalam istilah yang lebih setia terhadap pengalaman bahasa manusia:
- Ego → mewakili dorongan primitif dan impulsif (menggantikan peran id), sejalan dengan makna sosialnya yang negatif.
- Myself → sebagai penengah sadar dan reflektif (menggantikan peran ego dalam istilah Freud), karena tidak memiliki konotasi negatif dan mencerminkan kesadaran diri.
- Superego → tetap sebagai penjaga norma dan suara hati, karena secara istilah sudah tepat.
Dengan struktur ini, teori Freud dapat dimaknai ulang secara lebih jernih, sekaligus selaras dengan pemahaman lintas bahasa dan pengalaman manusia sehari-hari.
“Sudah saatnya teori Freud diterjemahkan bukan sekadar ke dalam bahasa asing, tapi ke dalam bahasa manusia—yakni bahasa yang digunakan sehari-hari untuk memahami diri mereka sendiri. Jika ‘ego’ berarti keangkuhan, maka biarkan ia menggambarkan dorongan liar yang tak terkontrol. Sementara untuk penengah yang sadar dan bijak, ‘myself’ jauh lebih pantas mengemban peran itu.”
Komentar
Posting Komentar