Langsung ke konten utama

Ketika Pendewasaan Kehilangan Arah: Menelusuri Kembali Makna Kebebasan dan Tanggung Jawab Moral

 (Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk membagikan apa yang ada dalam kepala, sekaligus menyuarakan keresahan, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya)

Di zaman ketika ekspresi diri dirayakan sebagai puncak pencapaian pribadi, muncul satu ironi yang sulit diabaikan: semakin orang merasa bebas, semakin kabur batas yang memisahkan antara keberanian dan kelalaian, antara pembebasan dan pelarian. Salah satu contoh paling kasat mata dari fenomena ini adalah kebebasan dalam berpakaian yang sering dijustifikasi sebagai bentuk pendewasaan. Namun benarkah keberanian membuka diri di ruang publik adalah bentuk pendewasaan yang sejati? Atau justru sinyal bahwa kita telah kehilangan arah dalam memahami hakikat dewasa itu sendiri?

Pendewasaan bukan sekadar soal kebebasan berekspresi, melainkan tentang kemampuan menanggung konsekuensi, menimbang nilai, dan mempertimbangkan keseimbangan antara diri dan lingkungan. Dalam konteks ini, rasa malu bukan sekadar hambatan psikologis, tapi bagian dari mekanisme etis yang menjaga kita tetap sadar akan keberadaan orang lain. Al-Ghazali menyebut "haya'" (malu) sebagai cahaya dalam hati yang membimbing perilaku manusia untuk tetap dalam batas yang pantas, bukan karena takut dihukum, tapi karena adanya rasa hormat terhadap kehidupan bersama.

Namun kini, rasa malu itu sering dipersempit maknanya menjadi sekadar ketidakpercayaan diri. Ia diperlakukan sebagai kelemahan yang harus dibebaskan, bukan kebijaksanaan yang perlu diarahkan. Maka tidak mengherankan jika banyak pembelaan terhadap ekspresi diri justru lahir dari penolakan terhadap "malu sosial," tanpa membedakannya dari "malu etis." Ketika ekspresi terbuka dilakukan hanya untuk menolak penilaian orang lain, dan bukan lahir dari perenungan jujur atas tanggung jawab sosial, di situlah ekspresi kehilangan kedalaman moralnya.

Sebagian orang mungkin mengekspresikan diri secara terbuka karena trauma atau pencarian makna. Itu benar dan patut dipahami. Tapi di sisi lain, membalas trauma dengan tindakan yang berpotensi mendatangkan trauma baru adalah bentuk kompensasi yang rawan. Apalagi ketika trauma digunakan sebagai justifikasi untuk mengabaikan pertimbangan etis. Dalam kondisi seperti itu, ekspresi terbuka tidak lagi menjadi bentuk penyembuhan, tapi justru eksploitasi diri yang tak disadari—mencari pujian, pembenaran, atau bahkan keuntungan materi.

Lalu ketika ekspresi seperti itu menimbulkan respon negatif atau bahkan pelecehan, tanggung jawab moral hanya dilemparkan pada pihak luar. Padahal, menjaga diri bukan berarti menyalahkan korban, melainkan mengakui bahwa dalam ruang publik, kebebasan dan tanggung jawab selalu berjalan beriringan. Jika yang satu ditinggalkan, maka yang lain pun kehilangan tempat berpijak.

Sayangnya, dalam situasi ini, orang yang mencoba menjaga diri justru sering kali yang paling banyak dituntut untuk berubah. Mereka yang masih memegang malu etis dianggap kolot, terlalu sensitif, atau tidak relevan dengan zaman. Inilah ironi yang pelan-pelan mengikis kepercayaan diri orang-orang yang mencoba tetap bertanggung jawab atas kebebasannya.

Pada akhirnya, teori tentang kebebasan, tanggung jawab, dan moralitas sejatinya tidak saling bertentangan. Semuanya dibangun di atas fondasi yang sama: menjaga martabat manusia dan keseimbangan hidup bersama. Yang menjadikannya tampak bertolak belakang adalah cara manusia memahami dan menerapkannya secara sepihak—memilih mana yang menguntungkan, lalu mengabaikan yang menuntut kedewasaan dan disiplin batin.

Ironisnya, pemahaman keliru semacam itu justru sering mendapat ruang, validasi, bahkan perayaan dalam masyarakat. Ketika ekspresi tanpa tanggung jawab dirayakan atas nama kebebasan, dan ketika niat pribadi dianggap lebih tinggi dari tanggung jawab sosial, maka yang sebenarnya dirayakan bukanlah kemajuan, tapi pelepasan kendali atas akal etis yang sebelumnya menjaga keseimbangan.

Maka, jika pendewasaan hari ini didefinisikan sebagai keberanian untuk membebaskan diri dari rasa malu etis, barangkali kita perlu bertanya ulang: apakah kita benar-benar sedang tumbuh dewasa, atau hanya sedang mencari-cari pembenaran agar tak perlu lagi memikul tanggung jawab?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...