(Ditulis oleh ChatGPT usai melakukan diskusi panjang. Sebagai upaya untuk menbagikan apa yang ada dalam kepala, dan aku tidak memiliki kapasitas untuk menuliskannya)
Dalam ruang diskusi sosial yang semakin bising, kebenaran sering kali terombang-ambing oleh pembelaan emosional yang tidak jarang menjelma menjadi pembenaran. Fenomena ini sangat terasa ketika isu-isu ketimpangan gender, patriarki, dan peran domestik dibicarakan secara terbuka, seperti yang terlihat dalam berbagai unggahan di media sosial. Di satu sisi, adanya kesadaran terhadap ketimpangan merupakan langkah progresif; tetapi di sisi lain, tanpa kehati-hatian dalam narasi, perjuangan itu dapat berubah arah menjadi bentuk resistensi yang salah sasaran dan justru memperpanjang siklus perpecahan.
Salah satu contoh yang cukup mencolok adalah ketika pekerjaan rumah tangga diklaim sebagai kodrat perempuan oleh sistem patriarki. Unggahan-unggahan seperti itu sering kali memuat keluhan atas standar ganda, misalnya tentang bagaimana laki-laki jarang ditegur karena malas sedangkan perempuan kerap dibebani tuntutan peran domestik. Kritik ini memang valid dalam konteks ketimpangan yang nyata. Namun, bila narasi yang dibangun semata-mata fokus menyalahkan sistem tanpa disertai refleksi diri atau upaya solutif, maka perdebatan akan berjalan di tempat. Masalah utamanya bukan pada siapa pelakunya, tetapi pada perilaku yang harus dikoreksi bersama. Kesadaran ini penting untuk mencegah bias dalam berpikir: bahwa ketimpangan bukan pembenaran untuk menghindar dari tanggung jawab, siapa pun pelakunya.
Fenomena serupa terlihat pula dalam unggahan lain yang secara terang-terangan menyatakan sikap malas sebagai sesuatu yang sah. Kalimat seperti “aku bisa saja beberes rumah, tapi aku malas” atau “kenapa dipermasalahkan kalau aku mau males-malesan, toh aku masih sholat” adalah contoh bagaimana sikap yang sejatinya tidak terpuji justru dinormalisasi. Malas adalah sifat manusiawi, tetapi ketika dibiarkan tumbuh tanpa kendali, ia menjadi musuh produktivitas dan tanggung jawab. Lebih dari itu, istilah malas dalam konteks tertentu bahkan digunakan sebagai tameng untuk menghindari kritik, padahal sebenarnya yang dilakukan adalah mengambil waktu untuk beristirahat. Di sinilah pentingnya membedakan secara sadar antara rehat dan malas.
Istirahat adalah kebutuhan yang sah secara biologis maupun psikologis. Namun menyebut rehat sebagai malas mencampuradukkan dua hal yang sejatinya berbeda secara moral. Rehat mengandung kesadaran dan kendali; seseorang yang beristirahat tahu kapan ia perlu berhenti sejenak dan kapan harus kembali bertindak. Sementara itu, malas merujuk pada sikap menunda atau menghindari tanggung jawab tanpa niat yang jelas untuk memperbaikinya. Oleh sebab itu, secara etis dan pedagogis, perlu ada batasan istilah yang jelas agar generasi muda tidak keliru menilai. Menyebut rehat sebagai rehat, bukan malas, adalah bentuk tanggung jawab berbahasa sekaligus cara untuk mendidik diri agar terbiasa membedakan yang baik dari yang buruk.
Dalam konteks ini, munculnya teguran—baik dari lingkungan maupun dari dalam diri—sebenarnya adalah nikmat yang patut disyukuri. Teguran menjadi pengingat bahwa manusia tidak hidup sendiri; bahwa tindakan dan pilihan sikap kita memberi dampak bagi orang lain. Menolak teguran demi mempertahankan zona nyaman hanyalah memperpanjang jurang antara potensi dan kenyataan. Maka, mestinya kita bersyukur ketika ada yang menegur kita saat malas, bukan karena mereka ingin mengendalikan, tetapi karena mereka peduli terhadap nilai kita sebagai manusia yang bertanggung jawab.
Lebih jauh, kritik terhadap sistem yang timpang memang penting. Namun akan lebih kuat jika disertai teladan dan solusi nyata. Ketimbang sibuk membela diri di ruang publik, akan jauh lebih bermakna jika kita mulai dari diri sendiri: menjalani tanggung jawab tanpa banyak alasan, berani menerima teguran, dan menolak untuk menormalisasi kemalasan atau ketimpangan, siapa pun yang melakukannya.
Akhirnya, tugas kita bukan semata-mata mengubah sistem, tetapi memastikan bahwa kita tidak menjadi bagian dari masalah yang kita kritik. Dan cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan menjaga akal sehat, mengenali batas antara pembelaan dan pembenaran, serta tetap berpijak pada nilai-nilai universal: hormat, tanggung jawab, dan kejujuran pada diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar