Masjid Salman ITB, 25 Ramadhan 1446 H
Aku bersorak lantang sampai terguling dan melompat-lompat: Hiperbola. Sebuah ajakan bukber hinggap di WhatsApp usai sekian tahun lamanya tanpa undangan. Tempat dan waktu? Belum pasti. Dadakan. Hari itu ajakan tiba, hari itu juga bukber dilakukan. Harus dadakan biar jadi, katanya. Ditambah ajakan itikaf juga. Untuk itu, satu tempat pun sudah ditetapkan. Sebab tidak disertai dengan adanya rencana, pada akhirnya aku pun berani mengambil keputusan sepihak. Di tempat yang sama, pukul 4 sore. Sebelum kemudian diralat setengah jam lebih lama. Rencana pertemuan pun sempurna dibuat: Masjid Salman ITB, pukul setengah 5. Yang namanya rencana tetaplah rencana. Aku hadir sedikit terlambat dari waktu yang sudah ditentukan, ternyata yang lain justru datang lebih lambat lagi daripada waktu kehadiranku. Ada terdapat daftar peserta bagi mereka yang ingin hadir, walau pada akhirnya bukber hanya dihadiri oleh 3 orang, sebelum kemudian datang satu lagi selepas Sholat Maghrib. Pembatalan puasa hari itu dilakukan di Kantin di dalam komplek Masjid Salman ITB dengan takjil yang disediakan oleh pengurus masjid.
Bukber pun dilakukan di angkringan depan masjid berupa tempat makan dengan menu utama makanan laut dan masih banyak menu lainnya. Aku memilih menu kombinasi yang paling murah di antara teman-teman lain: Ayam Crispy Saus Asam Manis, Nasi, dan Teh Tawar. Hanya dengan 19 ribu Rupiah sudah cukup untuk mencapai derajat kenyang. Selesai makan, lanjut Sholat Isya dan Tarawih. Sambil menunggu malam semakin larut, dan kehadiran teman lain yang katanya akan ikut serta juga dalam itikaf, kantin jadi tempat berkumpul untuk waktu yang lama, setidaknya sampai tengah malam. Untuk itu aku pun membeli kopi agar bisa terus terjaga. Bermain game menjadi cara paling ampuh menghabiskan waktu selagi menunggu teman lain, sambil sesekali diselingi membaca AlQur-an. Ada seorang perempuan duduk sendirian di meja sebelah yang membuatku sulit fokus ketika membaca, untunglah fokus itu masih bisa dijaga. Sampai akhirnya perhatianku pun sepenuhnya teralihkan ketika mereka yang ditunggu akhirnya tiba. Suasana yang tambah ramai menjadikan obrolan sebagai cara lain untuk melewati waktu sampai tengah malam. Mulai dari obrolan politik, percintaan, sampai nostalgia membicarakan orang-orang di masa SMA dan bagaimana kabarnya sekarang. Ada yang tidak banyak berubah, tapi ada pula yang membuat perubahan mencengangkan. Dari pertemuan ini, ternyata aku dikenal sebagai orang yang suka menulis dan menggambar.
Kembali ke masjid usai lewat tengah malam, aku dibuat terkejut sekaligus terheran-heran. Lebih terkejut lagi dari apa yang aku lihat saat datang pertama kali. Sampai di masjid, aku melihat di barisan belakang banyak berjejer kasur, matras, selimut, dan segala sesuatu yang biasa ditemukan di tempat tidur. Sudah serupa pengungsian. Apa yang sebelumnya hanya ada di barisan belakang, waktu tengah malam, hampir satu masjid dipenuhi oleh orang-orang yang tertidur, di tiap sudut, sisi, bahkan sampai sulit ditemukan celah untuk aku sholat. Semakin jelas pula pemandangan itu membuatku berkata dalam hati kalau ini bukan lagi masjid, melainkan pengungsian. Aku pun jadi punya pikiran buruk: boleh jadi itikaf hanya dijadikan alasan untuk mendapatkan makan sahur gratis. Apakah yang namanya itikaf benar-benar seperti itu? Sebagian orang memahami itikaf berarti berdiam diri di masjid, tapi lupa akan adanya kewajiban untuk menghidupkan malam. Bahkan malam itu suara dengkuran lebih banyak terdengar daripada bacaan AlQur-an. Apakah itu yang dinamakan menghidupkan malam ketika diri mereka sendiri tidak sepenuhnya dalam keadaan hidup? Itu baru tengah malam. Pemandangan yang sama masih belum berubah sampai jam 2, atau sampai tiba pengumuman dari pengurus masjid perihal qiyamul lail setengah jam ke depan. Bahkan usai pengumuman itu, mereka yang bangkit tidak sampai setengah, setidaknya masjid mulai ramai oleh orang sholat atau bacaan AlQur-an justru saat hampir mendekati waktu qiyamul lail. Aku mengaku tidak sepenuhnya menghidupkan malam. Aku hanya melakukan sholat dua rakaat, berdoa, kemudian dilanjut membaca AlQur-an. Dalam salah satu ceramah tarawih di Ramadhan kali ini, Khatib pernah mengatakan alasan mengapa sulit sekali bagi seorang muslim untuk senantiasa beribadah, seperti sholat, baca AlQur-an, dll. Katanya karena kita tidak tau kenikmatan dari ibadah tersebut. Maka di malam itu, aku merasakan kenikmatan yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya ketika membaca AlQur-an. Aku bahkan sampai berkaca-kaca begitu menyadarinya. Aku dan teman-teman pun sempat mengaji bersama sampai habis juz pertama, kemudian dilanjut obrolan yang lebih banyak dihiasi topik cinta di SMA selagi menunggu waktu qiyamul lail tiba. Aku pun pada akhirnya mengaku pernah memiliki rasa kepada seorang teman perempuan dulu, yang selama ini hanya kupendam sendiri. Dia yang belum lama ini meninggal dunia. Sebab itulah aku bisa lebih terbuka untuk mengakuinya.
Selesai qiyamul lail, aku pergi mencari makan untuk sahur. Ada angkringan lain tidak jauh dari gerbang komplek Masjid Salman ITB. Aku kembali memilih menu paling murah tapi cukup ampuh untuk mengganjal perut sampai Maghrib nanti. Seporsi nasi putih dan telor dadar. Aku bersyukur karena masih diberi tambahan sambal juga. Jadi bukan hanya kenyang, tapi juga nikmat. Bergabung kembali bersama yang lain, bersama-sama mencari tempat makan, kemudian lanjut membuka obrolan lain sehabis makan. Aku baru tau kalau di antara kami ada yang pernah open mic sebagai komika. Jadilah obrolan kami seputar komika juga. Aku yang dikenal sebagai penulis sempat ditodong untuk memberikan 'materi' juga. Aku yang bukan merupakan penulis komedi, pada akhirnya hanya diam saja karena tidak kepikiran apa-apa.
Habis waktu sahur, selanjutnya adalah Sholat Subuh. Ada obrolan menarik setelahnya. Aku yang sebelumnya lebih banyak menyimak dan mendengarkan, pagi itu aku aktif memberikan pendapat. Seorang teman mengaku takut dan tidak percaya diri untuk menjalin hubungan cinta. Dia pun meminta saran. Ada di antara kami yang punya banyak pengalaman dalam menjalin hubungan cinta. Ada pula di antara kami yang menjadi ustad. Jadilah ada diskusi antara perasaan pribadi dan kacamata agama soal cinta. Apakah sebaiknya cinta dimulai sejak awal sebelum memulai hubungan, atau percaya kalau cinta akan tumbuh dengan sendirinya asal hak-hak masing-masing pasangan bisa terpenuhi dalam ikatan pernikahan. Keduanya punya resiko. Satu khawatir cintanya akan hilang, satu lagi khawatir cintanya tidak kunjung datang. Memulai cinta sejak awal berarti mencapai kata sepakat sebagai pacar. Membiarkan cinta tumbuh pula berarti mengedepankan janji suci di atas semuanya. Bagiku keduanya baik. Tergantung bagaimana seseorang menyikapinya. Pacaran seringkali menemui larangan sebab dianggap mendekati zina. Pernikahan tanpa cinta pula seringkali tidak selalu berjalan seperti apa yang diharapkan. Maka untuk menghindari resiko itu, apa pun caranya harus fokus pada apa yang diinginkan dan tidak berlebihan. Misalnya pacar dibutuhkan sebagai teman berbagi cerita dan untuk memperoleh perhatian. Ketika tujuan itu berhasil terpenuhi, maka apakah kemudian kontak fisik diperlukan? Dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta pun ada hak-hak yang harus dipenuhi untuk memicu tumbuhnya cinta dalam diri. Selain fokus, apa pun itu caranya, kita harus percaya kalau keduanya sama-sama bagian dari takdir yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa, yang harus dilakukan atas dasar keimanan, bukannya nafsu maupun ego.
Kami pulang saat sang mentari menyapa bumi di langit timur.
Komentar
Posting Komentar