Aku sedang tidak bersemangat. Dalam perjalanan menuju parkiran, sebuah suara memanggilku dengan amat ceria. Seorang perempuan berlari dengan lucunya ke arahku. Dia tampak menggemaskan. Perlahan senyuman merekah di wajah.
"Galang!" Sinta berhenti tepat di depanku. "Ayo kita ke mall! Shopping-shopping!" Wajahnya tampak ceria sekali.
Aku menghela napas sekali. Sebenarnya aku ingin sekali pergi. Apalagi melihat Sinta ceria seperti ini. Aku tidak mau membuatnya sedih. Ditambah suasana keruh di kelas tadi, melihat senyuman Sinta, itu sedikit membuat suasana jernih kembali. Tapi aku tidak bisa pergi.
"Ke mall, ya?" Aku menimang-nimang. "Sepertinya aku tidak bisa pergi, Sinta." Aku menolak. Memang sudah sebaiknya begini. "Bagaimana kalau aku antar pulang aja?"
Benar seperti dugaan. Sinta perlahan murung. Sejujurnya aku tidak mau melihat ini. "Kenapa?" katanya berseru pelan. "Hari ini, kemarin, dua hari lalu, seminggu lalu. Kamu selalu menolak setiap kali aku mengajakmu pergi."
Aku tertegun.
"Kamu berubah." kata Sinta kemudian. Wajahnya memelas. "Ke mana Galang yang dulu aku kenal?"
Aku memaksakan tertawa, bermaksud untuk mencairkan suasana. "Maaf, Sinta. Belakangan ini aku lagi banyak pikiran."
"Aku mau putus." Sinta tiba-tiba berseru. Kepalanya tertunduk.
Sekali lagi aku tertegun, tapi kali disertai dengan kejutan. "Ka-kamu bilang apa?"
"Apa aku harus mengatakannya dua kali?"
Aku menelan ludah. "Tapi kenapa?"
Sinta terdiam.
"Apa hanya sebab aku tidak mau pergi shopping?"
Sinta mengangguk. "Iya."
Hatiku seolah baru saja mendapatkan tendangan penalti. Terlalu menohok. "Jadi masih soal uang, ya?"
Sinta hanya bergumam pelan.
"Bukannya kita sudah bicarakan ini, Sinta?" Aku berhenti sejenak. "Sayang?"
Sinta menggelengkan kepala. Kepalanya masih tertunduk.
"Aku enggak mau kita putus."
Sinta terdiam.
Aku menunggu.
"Aku akan pulang sendiri." kata Sinta kemudian, sambil berbalik dan beranjak pergi.
"Aku bisa mengantarmu, Sinta!" Aku baru menyadari sesuatu. "Kamu pun sama! Kenapa belakangan ini kamu selalu menolak untuk aku antar pulang?" kataku berseru lantang.
Sinta tidak bergeming sama sekali. Ia tetap beranjak pergi dan menjauh. Entah kenapa aku pun tidak ada kuasa untuk mengejarnya. Seolah ada bisikan di kepala yang mengatakan kalau Sinta sedang butuh waktu sendiri. Aku terduduk lemah di atas motor. Kamu kenapa, Sayang?
...
Perkataan Sinta masih terus memenuhi kepala. Bahkan sampai ke tempat kerja. Aku mendapat teguran dari atasan sebab terlihat tidak bersemangat. Kerjaan juga banyak yang terabaikan.
"Kenapa, lo?" tanya seorang rekan kerja.
Aku tersenyum canggung. "Enggak apa. Hanya sedang banyak pikiran."
"Soal Sinta? Udah berapa kali gue bilang. Kalian sebaiknya udahan aja." Dia tau soal Sinta. Aku cukup sering bercerita padanya setiap kali ada masalah, khususnya segala hal yang berkaitan dengan Sinta. Seolah dia tau betul segala hal tentang hubungan kami.
"Tadi Sinta minta putus." Aku berkata lemah.
Dia berkedip dua kali. "Bagus, dong. Itu semakin jelas menunjukkan kalau dia memang enggak baik buat lo, Galang!"
"Gue enggak mau putus."
Dia menghela napasnya. "Apa alasan Sinta minta putus? Soal uang?" Tebakannya tepat sasaran. "Udah gue bilang dia itu matre! Lo itu cuma dimanfaatin doang."
"Justru karena itu gue gamau putus."
"Aneh lo. Kenapa? Karena sayang? Basi! Gue udah pernah bilangin lo, ya. Awas aja kalau lu nyesel malah nyalahin orang."
"Alasan Sinta putus itu sebab masalah matematis. Jadi gue bakal pertahankan dia pakai alasan matematis juga."
"Hah, lo ngomong apa?"
"Jujur aja, gue gamau rugi. Gue udah keluar banyak buat Sinta. Lo nyuruh gue buat ninggalin Sinta gitu aja?" Aku mendengus sambil menggelengkan kepala. "Gue bakal pertahankan dia sampai kapan pun."
Dia malah menggeleng. "Seenggaknya gue udah pernah kasih lo nasehat."
"Gue tau apa yang gue lakuin."
Aku jadi resah. Sepulang kerja aku sempat mengirim pesan pada Sinta, tapi tidak kunjung mendapat jawaban. Aku pun tidak ada niatan untuk menelepon. Rasanya pertemuan langsung lebih dibutuhkan dalam kondisi seperti ini. Malam itu aku jadi sulit tidur.
...
Besok paginya, aku pergi ke kampus seperti biasa. Sebelum masuk kelas, aku menyempatkan diri untuk menjenguk Sinta di kelasnya, tapi Sinta belum datang kata teman-temannya. Selesai kelas, aku balik menjenguk lagi, tapi teman-temannya bilang ia keluar kelas paling pertama dan entah ke mana. Ini jadi rutinitasku tiap hari. Ternyata Sinta tidak main-main dengan perkataannya. Ia menjaga jarak. Padahal kalau memang mau putus, seharusnya tidak perlu begitu. Biar hanya hubungannya saja yang selesai, tidak dengan pertemanan.
Seminggu sudah kulalui dalam kesendirian, tanpa ada lagi sosok seorang kekasih. Seorang perempuan manja yang suaranya selalu meneduhkan. Kilat matanya selalu memukau. Pelukan hangatnya kala kami berkendara, itu masih sangat berbekas di ingatan.
Aku pun memutuskan untuk mengambil tindakan. Menemui Sinta secara langsung di rumah. Selama ini aku menahan diri, sebab Sinta yang melarang. Aku hanya bisa menurut. Biar pun kami sepasang kekasih, Sinta juga masih manusia yang akan marah kalau-kalau hak-haknya tidak terpenuhi. Tapi kali ini, aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Kerinduan ini harus segera dibayar dengan pertemuan.
Akhir pekan, saat waktu senggang lebih banyak ketimbang waktu sibuk. Aku memacu motorku menyusuri jalanan macet. Menuju sebuah komplek perumahan mewah di pusat kota. Sinta berasal dari keluarga yang berada. Ia pun cukup terkenal di sekolah. Selama kami berpacaran, sebenarnya aku sedikit merasa bersalah. Sebab popularitas Sinta seolah menurun sewaktu kami dekat. Tapi Sinta meyakinkanku kalau itu bukan masalah besar baginya.
Memasuki komplek, di kejauhan sudah bisa kulihat rumah paling besar di antara rumah-rumah yang lain. Sinta tinggal di sana. Bersama kedua orang tuanya dan dua orang adik laki-laki dan perempuan. Aku cukup dekat dengan mereka. Adik-adik Sinta adalah anak-anak yang pintar dan selalu ceria, sama seperti kakaknya. Tapi sudah lama sekali aku tidak mendengar kabar mereka semenjak Sinta melarangku untuk datang.
Aku pun berpikir kalau mereka sedang ada masalah. Aku pernah menawarkan bantuan, tapi Sinta menolak semua bantuan dengan alasan masalah keluarga, masalah pribadi, tidak seharusnya orang asing ikut campur dalam urusan mereka. Awalnya aku memang tersentak kala Sinta mengatakan itu, tapi lambat-laun aku mencoba mengerti. Bukan berarti aku menarik kembali semua tawaran bantuan, aku tetap akan menolongnya, membantu Sinta, menjadi seorang pria yang akan selalu ada untuk sang kekasih. Tapi Sinta tidak kunjung datang meminta bantuan. Ia malah meminta putus. Menjaga jarak. Memutus hubungan kasih sayang.
Aku sampai di rumahnya. Pagar tinggi menjaga rumah mewah di depan sana. Tidak ditemukan satpam yang senantiasa menjaga kalau-kalau ada yang datang. Yang paling mengejutkan saat mataku berhasil menangkapnya adalah sebuah papan yang digantung di tengah pagar. Rumah Ini Disita oleh Bank!
...
Aku benar-benar terpukul. Tidak ada orang di sana. Tidak ada yang bisa kutanyai untuk minta keterangan. Aku pun hanya bisa menerimanya dengan setengah percaya. Tidak ada yang bisa kulakukan lagi. Semakin sulit bagiku untuk menemukan Sinta. Satu-satunya tempat yang masih mungkin hanya kampus. Aku akan menemui Sinta kalau-kalau jadwal kita tidak bentrok. Itulah rencananya. Walau aku tidak tau kapan itu akan terjadi.
Dalam perjalanan pulang, isi kepala dipenuhi banyak sekali dugaan dan prasangka. Aku hanya bisa meracau sepanjang jalan. Sedikit meratapi kenyataan. Ikut merasakan apa yang sekiranya Sinta rasakan. Rumah Sinta disita. Ia kehilangan tempat pulang. Sedangkan aku, seorang pria yang pernah berjanji akan selalu melindunginya malah tidak ada disampingnya kala ia butuh bantuan. Aku benar-benar tidak tau. Sinta pun tidak memberitahu sama sekali. Aku juga tidak menaruh curiga apa-apa selama ini.
Aku teringat perkataan temanku di tempat kerja. Ia menyebut Sinta matre, dan datang mengencaniku hanya dengan alasan uang. Di beberapa kesempatan, Sinta memang pernah meminta seporsi makanan untuk dibawa pulang saat kita makan bersama. Untuk adik-adiknya katanya. Aku sama sekali tidak menganggap itu sebagai pemerasan. Sinta memang berasal dari keluarga berada, meminta makan padaku memang akan menimbulkan kecurigaan. Tapi Sinta bilang padaku, kalau pemberian seorang kekasih boleh jadi lebih berharga dari apa yang dia punya sekarang. Itu pun berlaku saat kami pergi shopping, membeli beberapa pakaian atau sepatu. Sinta meminta satu pasang lagi untuk ia berikan pada ibunya. Aku pun dengan senang hati menuruti permintaannya.
Mendapati fakta yang aku lihat hari ini, aku benar-benar tidak tau harus memberikan tanggapan seperti apa. Tuduhan matre pada Sinta jadi terasa lebih kuat. Di sisi lain, ada perasaan bangga dan senang sebab ternyata aku bukannya tidak membantu sama sekali.
Sejenak aku berhenti di depan sebuah mini market. Tempat yang kerap kali jadi pemberhentian terakhir tiap kali aku mengantar Sinta pulang akhir-akhir ini. Aku menghela napas. Entah kenapa tempat ini jadi terasa menyesakkan.
Aku baru saja hendak pergi lagi. Dua kaki sudah diangkat naik, bahkan motorku sudah maju beberapa meter. Tapi aku dikejutkan oleh kehadiran seorang perempuan di belokan dekat sana. Tuas rem ditarik dengan paksa. Kaki pun kembali menapak tanah.
"Sinta?" panggilku. Ternyata itu membuatnya terkejut bukan main.
Perempuan itu berubah kikuk. Kepalanya tertunduk. Bahkan buru-buru balik badan bersiap pergi. Melihat itu, aku tidak tinggal diam. Aku segera turun dari motor, meraih tangannya, dan mencegah dia untuk pergi lagi. Aku tidak langsung angkat bicara. Memaksa Sinta untuk bercerita juga kiranya kurang tepat. Jadi aku hanya menunggu.
"Maaf." Itu kata pertama yang diucapkan Sinta setelah ia meminta putus beberapa hari lalu.
Aku tidak menjawab. Tangan Sinta masih dalam genggamanku.
Tubuh Sinta tiba-tiba bergetar. Samar-samar juga terdengar isakan tangis. Aku pun sontak melepaskan tangannya.
"Sinta?" Akhirnya aku bersuara.
Sinta tidak berniat kabur lagi. Sambil membelakangiku, ia tampak sibuk menghapus air matanya. Detik berikutnya, perlahan ia membalikkan badan sampai aku bisa melihat wajahnya lagi. Wajah cantik seorang kekasih tersayang. Aku pun meraih pipinya. Membantunya menghapus air mata yang mengalir.
"Maaf, Galang." Sinta berkata pelan.
"Tidak apa-apa." Aku tersenyum. "Aku baru saja datang ke rumahmu, Sinta." Aku menjeda kalimatku. "Atau lebih tepatnya rumah lama?" Sekali lagi aku tersenyum. Sebisa mungkin aku mengatakannya tanpa harus menyakiti Sinta.
"Kamu pergi ke sana?"
Aku mengangguk. "Kenapa kamu tidak bilang apa pun padaku?"
Sinta menunduk. Aku pun segera menaikkan wajahnya lagi.
"Antar aku ke rumahmu, Sinta. Boleh, kan?"
...
Rumah Sinta yang baru tidak jauh dari mini market itu. Kami sempat berbelanja sejenak sebelum kemudian pergi, membeli beberapa keperluan rumah. Aku yang membayarnya. Sinta sempat menolak, tapi tidak aku pedulikan penolakan itu dan langsung memberikan uangnya pada kasir.
Keluar dari mini market, sebelum kami beranjak pergi, Sinta terus menundukkan wajahnya.
"Maaf, Galang."
"Untuk apa? Oh, karena membayar belanjaan tadi? Tidak apa-apa. Lagipula aku juga tidak keberatan sama sekali."
Sinta terdiam sejenak, kemudian menggeleng pelan. "Maaf karena sudah banyak merepotkanmu."
"Aku sama sekali tidak merasa direpotkan."
"Maaf, aku pernah memanfaatkanmu, memerasmu."
"Memanfaatkan?"
"Meminta makanan untuk adik, juga pakaian untuk ibu."
"Ah, soal itu. Aku memberinya dengan senang hati, kok. Lagipula seperti katamu, pemberian seorang kekasih itu lebih berharga dari apa yang kamu punya, kan?"
"Itu cuma alasan biar kamu mau membelikannya."
"Dan, aku merasa itu bukan alasan yang buruk." Aku mengangkat wajah Sinta yang tertunduk. Menyunggingkan senyum, dan merapihkan anak rambut yang terjatuh. "Berhentilah menyalahkan diri sendiri, ya?"
"Aku memang salah. Seharusnya kamu terima aja sewaktu aku minta putus tempo hari."
Sekali lagi aku tersenyum. Membawa Sinta ke dalam pelukan, dan mengelus lembut rambutnya yang halus. "Aku akan terus mencintaimu, Sinta. Selalu."
Sinta tidak langsung menjawab. Bahkan pelukanku pun tidak kunjung dibalas. Isak tangis terdengar sebentar usai kalimat itu keluar dari mulutku Seiring dengan dibalasnya pelukan, terdengar pula bisikan pelan di telinga, "Terima kasih, Sayangku."
Aku tersenyum lebar. Boleh jadi senyuman paling lebar dalam hidup. Sinta memelukku erat sekali seakan enggan untuk melepas lagi. Aku pun membiarkannya sejenak untuk hanyut dalam pelukan. Menikmati kehangatan, dan meluruhkan semua beban pikiran. Selamat datang kembali, Sayang.
Komentar
Posting Komentar