Langsung ke konten utama

Dear Diary: Love Language

 Beberapa hari lalu, aku iseng melakukan love language test. Berikut adalah hasilnya:


Pertanyaannya adalah, "Apa yang lebih berarti bagiku ketika...?"

Receiving Gifts: atau menerima hadiah. Poin ini sedikit lebih unggul dibanding yang lain. Dalam penjelasan di web-nya pun dijelaskan kalau poin ini mungkin terdengar materialis, tapi dalam bahasa cinta, bukan materi yang dilihat. Melainkan pesan di baliknya. Dan aku mengharapkan adanya pesan itu.

Iya, aku berharap. Aku tidak tau bagaimana love language bekerja. Tapi hasil ini sebagian besar memang berarti harapan.

Aku jarang menerima hadiah. Ulang tahun pun tidak pernah dirayakan. Kalau pun ada yang merayakan, itu adalah inisiatif orang-orang di sekitarku saat itu. Dan saat itu terjadi, aku merasa kalau itu adalah salah satu momen berharga dalam hidup.

Perihal hadiah, bukan berarti aku tidak pernah mendapatkannya sama sekali. Aku pernah mendapatkannya. Walau mungkin sebutannya bukan hadiah, tapi pemberian. Bagiku, apapun sebutannya aku selalu merasa hatiku penuh. Tidak perlu hal-hal besar, bahkan hal kecil pun selalu bisa membuatku tersenyum.

Seperti satu hari, seorang anak tetangga memberiku secarik kertas kecil bertuliskan namaku di atasnya. Kamu tau tulisan seorang anak kecil? Dia menuliskan namaku dengan tangan kecilnya itu. Sebagai bentuk penghargaan, aku pernah menjadikannya sebagai pembatas buku. (Walau hari ini, aku tidak tau ke mana kertas itu hilang. Dan aku sedikit merasa bersalah untuk itu).

Contoh lainnya baru saja kualami kemarin. Sebutannya memang bukan hadiah, tapi aku selalu menganggap semua pemberian sekecil apa pun sebagai hadiah. Pemberian itu pun (mungkin) sebenarnya bukan apa-apa. (Mungkin juga) Tidak ada niatan khusus dan sebagainya. Boleh jadi seperti cuci gudang sebuah toko, dan itu adalah sisa yang diberikan padaku agar tidak terbuang.

(Aku selalu menyebutkan kemungkinan. Mungkin. Mungkin juga. Sebab aku takut yang bersangkutan melihatnya sebagai hal sebaliknya, kalau tidak ada kata mungkin. Walau adanya kata mungkin juga bisa berarti sebaliknya lagi. Itu pun kalau tulisan ini dibaca :)

Hadiahnya bukan hal besar. Hanya sekadar cemilan pengganjal perut. Tapi sekali lagi, aku menganggap itu sebagai hal yang sangat berharga. Aku tidak tau apakah aku tersenyum ketika menerimanya atau tidak. Aku memang tidak pandai berekspresi. Tapi semoga saja aku tersenyum saat itu, walau hanya sedikit. Aku pun tidak ingat apakah aku saat itu sudah mengucapkan terima kasih atau belum. Tapi semoga saja sudah.

Terima kasih.

Sebenarnya aku menolak saat kali pertama diberi. Tapi kebanyakan pemberi kerap kali memaksa untuk pemberiannya diterima. Maka aku pun menerima. Bukan berarti sebab terpaksa, tapi sebagai bentuk menghargai. Maka aku anggap pemberian itu sebagai sebuah penghargaan.

Beda cerita kalau aku yang berperan sebagai pemberi. Kalau pemberianku ditolak, maka pemberian dibatalkan. Benar-benar dibatalkan. Sekalipun penolakan itu hanya sekadar basa-basi. Hehe.

Quality Time: atau waktu berkualitas. Maksudnya adalah pemanfaatan waktu yang baik bersama orang lain.

Kebanyakan pertanyaan dalam tes sebenarnya ditujukan kepada pasangan atau orang tersayang. Tapi aku mengartikannya secara umum. Sebab kata cinta dan sayang kerap kali diartikan secara lebih oleh kebanyakan orang, termasuk aku. Padahal sebenarnya kata cinta dan sayang adalah tingkatan selanjutnya dari berbuat baik.

Poin ini ada di tempat kedua. Poin ini pun sangat bergantung pada pertemuan. Sedangkan diriku sangat jarang sekali mengadakan pertemuan dengan orang-orang. Makanya kubilang kalau hasil tes ini berarti harapan. Aku mengharapkan pertemuan-pertemuan baik dengan banyak orang, teman-teman, keluarga, bahkan orang yang baru dikenal. Walau sebenarnya, aku tidak pandai dalam memanfaatkan waktu. Tiap kali ada pertemuan, aku hanya terfokus pada tujuan. Bahkan ada format tetapnya: Berangkat - Agenda utama - Pulang. Penyesalan pun kerap kali menyerangku di jalan pulang. Atau setelah sampai rumah. Atau beberapa hari setelahnya. Seperti kenapa tidak banyak berdialog, kenapa tidak lebih santai sedikit, kenapa tidak mengenal lebih dekat. Iya, aku tidak kenal orang-orang yang kukenal. Tingkat pengenalanku hanya sebatas nama dan wajahnya saja. 

Makanya, aku merasa berarti ketika bisa menghabiskan waktu baik dengan banyak orang baik.

Aku seringkali bepergian sendirian. Bukan berarti aku benci untuk bepergian dengan orang lain. Aku pun mau. Aku berharap bisa begitu. Tidak perlu ada banyak dialog. Atau agenda matang dan terencana. Aku tidak keberatan hanya sekedar jalan santai keliling taman misalnya. Tapi bukan untuk ditemani atau menemani. Cukup hanya untuk menimbulkan perasaan kalau aku tidak sendirian.

Words of Affirmation: atau kata pujian, sebenarnya poin ini punya banyak makna. Tapi sebagian besar pertanyaan dalam tes menjurus pada pujian.

Kata-kata punya pengaruh besar bagi seseorang yang gemar menulis. Maka untuk menjawab pertanyaan di atas, bahwa aku merasa berarti ketika aku mendapatkan pujian dari orang lain. Sebenarnya tidak harus pujian. Kata apa pun selagi itu baik pasti berpengaruh.

Walau di beberapa momen, aku pernah bilang kalau ucapan semangat tidak memberikan pengaruh apa pun. Dan merasa bantuan lebih dibutuhkan ketimbang kata semangat. Aku tidak berniat menarik perkataanku. Tapi ucapan itu pun tidak sepenuhnya benar. Sebab ada momen juga di mana bahwa kata semangat juga bisa berarti.

Hasil tes ini bukan berarti mutlak. Hasilnya bisa berubah-ubah tergantung kapan tes itu dilakukan dan kondisi diri saat itu. Aku pun kemarin baru melakukannya lagi. Hasilnya adalah poin ini naik ke tempat kedua. Hasil ini juga merupakan harapan. Boleh jadi saat tes pertama kali, aku sedang berharap ditemani. Dan hasil kemarin bilang kalau aku sedang berharap untuk dinasehati dan dipuji.

Kalau bicara soal kata yang lebih panjang lagi, surat misalnya, itu jauh lebih berharga lagi. Hampir setiap tahun baru, ada seorang teman yang akan mengirimkan semacam kartu ucapan beserta pesan lain yang ditujukan untuk banyak orang. Tidak ada maksud apa-apa dengan surat itu. Murni sebagai ucapan selamat dan semangat. Walau tahun baru kemarin aku tidak mendapatkannya lagi. Mungkin aku sudah bukan lagi termasuk banyak orang itu.

Acts of Service: atau pelayanan aksi. Cukup menyedihkan sebenarnya melihat poin ini ada di posisi dua terbawah. Karena seolah berarti kalau aku tidak butuh dilayani atau tidak ingin dibantu. Aku butuh dilayani. Aku pun sangat butuh bantuan dan ditolong. Tapi tiap kali mendapatkan bantuan dari orang lain, apalagi orang tersayang, akan selalu timbul perasaan tidak enak sebab telah merepotkan mereka. Sekalipun pada titik di mana aku benar-benar butuh bantuan.

Mungkin karena aku sudah terbiasa sendiri. Berpikir sendiri. Berdiskusi dengan diri sendiri. Dan menyelesaikan masalah dengan cara sendiri. Tapi hasil dari poin ini adalah yang paling jujur. Tidak ada harapan dalam proses pemilihannya. Sebab dua kali sudah aku melakukan tes ini, dan hasilnya tetap sama.

Mungkin juga ini sebab diriku adalah seorang laki-laki. Sudah jadi rahasia umum kalau laki-laki ingin selalu dipandang kuat, hebat, dan terampil. Apalagi di depan orang tersayang dan dicinta.

Beberapa layanan aksi yang kecil justru lebih berarti bagiku. Seperti disapa lebih dulu ketika bertemu, atau minta tolong ambilkan sesuatu, atau minta untuk tunjukkan jalan.

Physical Touch: atau sentuhan fisik. Poin ini ada di posisi terakhir. Kalau act of service adalah hasil paling jujur, maka ini adalah hasil paling berbohong atau palsu. Tidak dipilihnya jawaban-jawaban terkait perihal sentuhan fisik itu sebab adanya pertimbangan dengan aturan agama. Aku pun menyebutnya palsu sebab masih ada angka yang didapat. Meski ketika melakukan tes kedua, poin ini benar-benar mendapatkan nilai nol.

Aku tidak benci terlibat kontak fisik. Setiap sentuhan akan punya arti tersendiri. Kalau bicara soal sentuhan fisik, aku selalu mengaitkannya dengan suara. Maksudnya adalah ketika sedang memanggil orang lain, atau meminta perhatian orang lain. Khususnya keluarga, aku akan lebih memilih untuk melakukan sentuhan kecil ketimbang bersuara. Sudah kubilang hasil poin ini didapat dengan adanya pertimbangan aturan agama. Makanya kalau aku dihadapkan dengan orang lain, sekalipun itu orang yang dikenal, aku tidak bisa sembarangan melakukan sentuhan fisik, jadilah aku terpaksa untuk bersuara. Seperti kemarin, ketika sedang di tengah keramaian. Aku banyak bersuara hanya untuk meminta mereka memberi jalan.

Ini bukan hasil mutlak. Boleh jadi ketika aku melakukan tes ini lagi beberapa tahun ke depan, posisi terakhir justru bisa menempati posisi pertama. Tentu ketika aturan agama tidak lagi berlaku (bukan sebab aturannya dihilangkan, tapi sebab keadaannya sudah berbeda dan/atau berubah).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...