Seringkali banyak orang menganggap yang terbaik berarti paling bahagia. Umumnya memang begitu. Aku pun menganggapnya demikian. Tapi aku ingin mengatakan kalau hari Jum'at tanggal 7 Februari 2025 sebagai salah satu hari terbaik dalam hidupku. Di dalamnya tidak hanya memberikan kebahagiaan, melainkan banyak pembelajaran yang aku alami hanya dalam satu hari penuh.
Aku mengawali hari dengan membawa penyesalan dari hari sebelumnya. Terbangun di jam 3 pagi, aku menyapamu dalam pesan. Sedikit mengejutkan sebab pesanku langsung dibalas tidak lama dari itu. Rupanya bukan hanya aku yang terbangun kala dini hari.
Aku menjadikanmu sebagai teman cerita. Aku membagikan penyesalanku padamu dengan terbuka. Perihal hari kemarin. Penyesalan akibat dari adanya penundaan. Aku yang suka menunda-nunda, malam itu dihukum dengan kehilangan kesempatan yang bisa memberikan harapan besar. Aku menyesal sejadi-jadinya. Malam itu, aku tidak lagi kuasa menahan diri: aku menangis sejadi-jadinya.
Aku mencurahkan isi hatiku semuanya. Apa yang diawali dengan penyesalan, perlahan mulai merambat menjadi pikiran negatif yang berlebihan. Aku lupa berterima kasih padamu yang sudah meluangkan waktu untuk mendengar ceritaku. Aku lupa mengucapkan terima kasih padamu yang telah menerima segala kepayahanku dengan tangan terbuka. Tanpa sadar, aku malah memberikan pengaruh negatif yang tidak sempat aku pikirkan apa dampaknya untuk dirimu.
Aku malah menuduh kepedulianmu sebagai belas kasihan. Menganggapnya sebagai sikap negatif dan merendahkan. Aku termakan stereotip laki-laki pantang dikasihani dan harus kuat selalu. Aku yang sedang kalut saat itu, perlahan hilang kendali. Karena salah mengambil sikap, salah memilih kata, aku bahkan hampir kehilanganmu.
Aku membuatmu kecewa. Itu dari sudut pandangku. Aku sudah salah menilai kamu. Aku takut kamu hilang percaya, tapi malah aku sendiri yang menganggap kamu begitu. Aku terus membujukmu, mengajakmu bicara, memohon padamu untuk kembali, tapi kamu minta aku untuk meninggalkanmu sendirian. Entah apa artinya dari kalimat itu. Aku tidak pernah membayangkan adanya perpisahan secepat ini.
Aku pun bertanya, "Berapa lama?"
Kamu bilang satu jam.
Selama satu jam itu aku habiskan waktu sambil menunggu-nunggu. Aku pantau terus jam dalam ponsel kalau-kalau waktu akan habis. Aku berusaha patuh. Aku pikir kamu memang butuh waktu untuk sendiri. Belum genap satu jam, kamu mengirim pesan yang begitu menohok. Kamu bahkan memintaku untuk menyudahi semuanya. Semuanya, karena aku sudah salah memilih kata. Aku takut kamu hilang percaya, padahal aku sendiri yang tidak bisa percaya padamu dengan penuh.
Meski begitu, meskipun kamu cuek, seolah tidak lagi peduli, aku benar-benar tidak sadar kalau kamu masih memberikan perhatianmu padaku. Aku terlanjur kalut, panik, belum siap akan adanya perpisahan. Aku banyak menangis.
Menjelang tengah hari, kamu memberiku harapan, untuk bisa bicara, untuk bisa memperbaiki semuanya. Sampai waktunya tiba, harapan itu hilang begitu saja. Kamu malah memintaku untuk menulis. Detik itu, aku hampir menyerah. Overthinking membuatku benci untuk menulis lagi. Overthinking mengatakan kalau menulis jadi sebab hilangnya kamu. Ini pun selaras dengan penyesalan yang aku bawa dari hari sebelumnya. Aku meninggalkanmu sewaktu aku menulis. Hasilnya aku malah melepaskan kesempatan itu. Aku kehabisan waktu. Aku pun membiarkanmu melewati malam sendirian.
Sekali lagi kamu mengatakannya. Kamu memintaku untuk meninggalkanmu sendirian. Tidak lagi sebatas satu jam, kamu bahkan tidak bisa mengatakan berapa lama. Aku hampir putus asa. Aku sudah mulai menyiapkan diri. Aku hanya bisa menunggumu. Walau waktu yang lama itu hampir sama saja dengan perpisahan. Sayangnya, aku hanya bisa menerima. Aku bahkan hampir hilang harapan. Aku pun sudah telanjur lelah untuk membujukmu lagi.
Sore hari adalah waktu mengajar. Terkadang kamu mampir dalam kepala. Aku terus memikirkanmu. Kamu memintaku untuk menenangkan diri sendiri, sedang yang bisa membuatku tenang hanyalah dengan melihatmu kembali.
Sebelum hari gelap, kamu kembali memberikan perhatianmu padaku. Aku masih menunggumu. Aku masih berharap kamu untuk kembali. Sampai akhirnya, kata itu pun lolos begitu saja. Aku merindukanmu, seolah kita sudah terpisah dalam waktu yang lama. Kamu pun memintaku untuk menulis lagi. Aku hanya bisa menurut dan menyelesaikan apa yang kamu katakan.
Waktu malam saat hari berubah gelap, aku justru melihat cahaya. Kamu memberiku pelajaran berharga yang membuatku sadar siapa diriku sebenarnya. Aku pun baru sadar apa yang membuatmu memintaku untuk meninggalkanmu sendirian. Aku baru sadar kalau tuduhanku membuatmu jadi bertanya-tanya tentang cinta yang selama ini kamu berikan untukku.
Sampai akhirnya, kamu sendiri yang meminta padaku untuk bicara. Selama dalam kesendirian, aku terus berpikir, aku terus berharap, aku pun turut berdoa. Apa pun yang terjadi hari ini, aku hanya bisa menerima bagaimana akhirnya nanti. Aku hanya bisa menyiapkan diri untuk perpisahan. Kalaupun seandainya masih bersama, aku berdoa agar apa yang terjadi hari ini adalah untuk menguatkan cinta kita. Beruntung, Allah menuliskan kisah kita pada pilihan kedua. Semuanya kembali baik. Pada akhirnya kita sepakat untuk sama-sama belajar dan sepenuhnya percaya satu sama lain.
Apa yang dimulai dengan beribu kata maaf, pada akhirnya ditutup dengan banyak ucapan terima kasih dan syukur yang tiada henti. Kamu telah menyelamatkanku untuk kesekian kalinya.
Terima kasih, My beloved hero❤️
Komentar
Posting Komentar