Langsung ke konten utama

Dear Diary: Hari Lahirnya Keberanian

 Sebuah pencapaian besar bagi seseorang ketika dirinya berhasil keluar dari zona nyamannya dan pergi bertualang menjadi dirinya yang lain--atau mungkin dirinya yang sebenarnya.

Seseorang--orang yang aku cinta--pernah bilang padaku, kalau aku mau berubah, maka aku harus mampu keluar dari zona nyaman. Tapi aku tidak tau apa sebenarnya zona nyamanku itu, dan sewaktu aku bertanya, ia menjawab, "Kamu suka sekali menyendiri." Aku pun langsung membenarkan jawabannya.

Aku adalah seorang penyendiri yang takut sendirian. Maksudnya adalah senang bepergian sendiri, tapi takut menemui orang sendirian. Minimal harus ada seorang teman, atau yang menemani. Tidak perlu ada dialog, atau banyak bercakap, itu malah melelahkan bagiku. Cukup jalan bersama, sama-sama menikmati perjalanan dengan caranya sendiri-sendiri. Kalaupun ada dialog, cukup sekadar celetukan sederhana. Ada bajaj! Awannya cantik! Tadi ada tikus menyebrang jalan!

Itu adalah ketakutan terbesarku. Dan bersama rasa takut itu, aku justru punya misi utama. Ketakutan itu biasanya terjadi sebab adanya perjalanan. Maka misi utamaku adalah untuk mendapatkan teman baru dalam setiap perjalanan. Sejauh ini, aku sudah cukup banyak melakukan perjalanan, tapi tidak ada satu pun misi itu berhasil dilaksanakan.

Aku bukannya tidak punya teman. Aku punya banyak teman di sekolah, atau teman lain di tempat lain. Hanya saja, pertemanan itu terjalin sebab adanya kewajiban dan berkaitan dengan instansi. Bukan atas kemauan sendiri dan usaha sendiri.

Sebenarnya ini adalah rencana lama. Sudah lebih dari sebulan keinginan untuk pergi itu ada. Tapi selama itu pula keinginan hanya sekadar keinginan. Aku batal pergi, entah sebab takut atau sakit, lebih seringnya sebab takut.

Adalah keinginan untuk pergi ke Book Party. Sebuah perkumpulan manusia pencinta buku. Aku memang bukan pembaca, dibilang suka baca pun tidak. Tapi sebab aku menulis, dan katanya penulis yang baik itu berawal dari pembaca yang baik, makanya aku juga membaca. Aku sangat ingin pergi ke sana. Ingin sekali. Sebagai upaya bagiku untuk keluar dari zona nyaman. Aku ingin bertemu orang baru. Berkenalan dan mendapatkan pertemanan atas keinginan sendiri dan dengan usaha sendiri. Sepenuhnya aku bertemu orang-orang asing yang sama sekali belum pernah aku temui sebelumnya. Tidak terikat dengan instansi, atau dikenalkan oleh orang lain.

Selain jadi Hari Lahirnya Pancasila, tanggal 1 Juni akan aku jadikan juga sebagai Hari Lahirnya Keberanian. Aku berhasil pergi.

Aku berhasil ke Book Party. Bahkan bertepatan dengan lahirnya gelar baru bagi Pangeran Biru. Bandung merayakan kemenangan, maka aku juga ikut merayakan kemenangan atas diri sendiri sebab berhasil keluar dari zona nyaman.

Itu adalah pertemuan yang menyenangkan. Memang akan selalu ada canggung di awal, juga kekhawatiranku pada orang lain yang selama ini memenuhi kepala. Apakah keberadaanku akan diterima, atau malah mengganggu. Memang ada baiknya untuk langsung membuktikannya di lapangan. Maka apa yang selama ini ada di kepala, semuanya salah. Aku diterima dengan baik. Semua orang menyenangkan. Sebab ini adalah perkumpulan manusia pencinta buku, bahkan perkenalan kami bukan perihal nama, melainkan buku apa yang sedang dibaca. Itulah kali pertama bagiku juga untuk berbagi apa yang aku baca dengan orang lain, secara langsung, dengan lisanku sendiri.

Rencana lama yang tertunda. Keberanian itu seolah hadir di waktu yang tepat. Ada sedikit perbedaan kegiatan--dan tambahan--dalam Book Party kala itu. Bukan hanya sekadar membaca seperti kebiasaan, atau berbagi cerita, bercakap dan berkenalan, kemudian diakhiri dengan foto bersama. Ada tambahan kegiatan baru. Membuat pembatas buku sendiri, menghiasnya, menggambarnya. Itu jadi kesempatan bagiku sekaligus penyembuhan sebab sudah lama sekali aku tidak menggambar. Bahkan bukan sendiri, tapi bersama teman-teman, bersama banyak orang. Selanjutnya adalah deklamasi puisi. Membawakan puisi di depan banyak orang. Sayangnya, keberanian belum sepenuhnya tumbuh. Aku hanya mampu mendengarkan. Terpaku di tempat duduk sendiri. Padahal ada rasa menggebu untuk maju dan membawakan puisi karya sendiri. Aku tidak tau akan ada kegiatan serupa lagi lain waktu, tapi kalau itu jadi kegiatan rutin, maka aku ingin sekali, barang sekali saja untuk berani maju, tampil dan berekspresi membawakan puisi di depan banyak orang. (Biarpun takut dan pemalu, sebenarnya aku adalah orang narsis dan gemar sekali mencari perhatian).



Sayangnya, pertemuan itu berakhir kurang menyenangkan. Usai foto bersama, usai acara selesai, seolah pertemuan juga ikut selesai. Aku langsung pergi begitu saja. Pulang kembali ke rumah. Tidak ada lagi obrolan. Tidak ada dialog lagi. Tidak ada perkenalan mendalam. Bahkan hanya sekadar berpamitan pun tidak. Aku harap keberanian itu bisa selalu tumbuh di lain waktu. Agar aku bisa mengulang. Agar aku bisa memperbaiki apa yang selama ini aku hindari. Aku ingin berpamitan lebih baik dan lebih sopan.

Aku menganggapnya sebagai sebuah pencapaian besar. Sebagaimana Bandung merayakan gelar juara, aku juga ingin merayakan pencapaianku ini. Bahkan bukan hanya sekadar pencapaian, tapi juga misi utama yang berhasil terpenuhi. Aku ingin merayakannya dengan berbagi cerita. Membagikan kesan dan perasaan atas hilangnya rasa takut. Runtuhnya dinding penghalang zona nyaman. Aku berhasil keluar. Aku bebas.

Sayangnya, aku terlambat.

Aku ingin membagikan pencapaian ini pada seseorang--orang yang aku cinta. Aku senang, aku bahagia, tapi ada penyesalan yang membuat perayaan ini jadi bercampur aduk. Aku menyesal sebab keberanian itu baru lahir sekarang. Harusnya aku pergi lebih awal. Sebenarnya aku pernah bilang akan pergi sebulan lalu, tapi rasa takut berhasil menunda itu semua--bahkan sebelum hari ini terjadi, boleh jadi itu bukan merupakan penundaan, melainkan pembatalan untuk batas waktu yang tidak ditentukan.

Aku terlambat. Kamu sudah menghilang. Aku tidak ingin menyebutnya sebagai sebuah kesia-siaan. Aku akan pergi lagi lain waktu. Tapi tidak akan ada jaminan apakah penyesalan itu akan hadir lagi atau tidak.

Semoga saja bukan penyesalan yang hadir lagi, tapi kamu yang kembali dari tempat persembunyianmu. Aku selalu menyebut kamu menghilang, bukannya pergi.

Ini adalah sebuah persembunyian, bukan merupakan kepergian.

Kan?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Perjuangan dan Penantian

 Restoran baru saja buka. Rangga sedang beristirahat sejenak usai bersiap-siap. Selagi menunggu pelanggan datang, Rangga mengambil ponselnya yang sama sekali belum ia buka lagi sedari semalam. Kemarin adalah akhir bulan, jadi Rangga sibuk membuat laporan keuangan bulanan untuk kemudian dilaporkan pada ibunya. Beruntung hasil laporannya baik. Ibu Rangga memujinya. Bahkan penghasilan restoran jauh meningkat dari bulan sebelumnya. Ada satu kebiasaan yang sering Rangga lakukan beberapa waktu terakhir dengan ponselnya. Meskipun Rangga pernah bercerita kepada para karyawan tentang kekasihnya di Inggris dan mereka menyarankan Rangga untuk lepas dan melupa, tapi tidak mudah bagi Rangga untuk melupakannya begitu saja. Rangga masih kerap mengirim pesan meskipun ia tau bahwa tidak akan mendapatkan balasan. Bahkan ia jadikan ruang obrolan itu seolah buku harian. Rangga akan mengirim pesan setiap kali ada hal menarik yang ia alami. Kali ini Rangga pun ingin melakukannya lagi, tapi ia dikejutkan...