Kamu cantik sekali kemarin. Seperti seorang putri kerajaan. Bahkan semua orang terpesona melihatmu dalam balutan gaun putih yang menawan. Ditambah senyumanmu yang meneduhkan, kamu tampak amat bahagia. Kamu selalu bersikap ramah pada semua orang: teman-temanmu, keluarga besar, para tamu undangan, juga petugas kebersihan sekalipun.
Semua tampak bahagia. Bahkan gedungnya dihias dengan amat cantik rupawan. Mulai dari meja penerima tamu, hiasan di pintu masuk, ada juga gapura yang dihiasi bunga-bunga. Beberapa stan makanan juga diatur sedemikian rupa. Dari semua hiasan dan dekorasi, pelaminan adalah yang paling menarik perhatian. Latar belakangnya adalah tirai kelabu yang cantik, lengkap dengan hiasan macam bunga-bunga. Tempat duduknya juga nyaman sekali. Ada pohon plastik sebagai hiasan tambahan di masing-masing sisinya.
Sebelum pesta dimulai, kamu bilang kalau kamu gugup. Bahkan tanganmu dingin. Kamu bertanya berulang kali apakah kamu cantik, apakah riasannya aneh dan membuatmu terlihat seperti orang lain. Padahal jawabannya selalu sama. Kamu cantik dan selalu begitu. Kamu tetap mudah dikenali walau dalam riasan sekalipun. Karena pesonamu bukan hanya di wajah. Tapi juga suara, hati, dan perilaku.
Sewaktu ijab kabul kamu lucu sekali. Bisa-bisanya kamu terkejut ketika segenap keluarga dan para tamu undangan serempak mengucapkan "sah!" Padahal kamu hanya cukup duduk diam dan menunggu. Sebegitu gugupnya, kah, kamu? Setelahnya kamu jadi menunduk terus sebab malu. Beruntung hanya kaget kecil tanpa suara. Bagaimana kalau sampai latah? Itu pasti akan semakin lucu!
Ternyata kamu mudah sekali mengeluh, ya? Kamu mengeluh sebab lelah berdiri ketika para tamu undangan secara bergilir naik ke pelaminan mengucapkan selamat dan doa-doa baik lainnya. Meski begitu, kamu tetap menyapa semua yang hadir dengan ramah dan penuh senyum. Beberapa temanmu ada yang menangis. Katanya tidak menyangka kalau kamu akan menikah secepat ini. Kamu hanya tersenyum kemudian menenangkan temanmu yang menangis dengan lembut dan membawanya dalam pelukan hangat. "Kalau sudah berjodoh, kita hanya tinggal menunggu waktunya saja." katamu menjawab ketidaksangkaan temanmu.
Apakah kamu ingat bagaimana adikmu bersemangat sekali untuk menjadi seorang "aunty"? Dia terus menerus meminta padamu untuk melahirkan anak perempuan. Katanya biar bisa diajak nongkrong bareng kalau kelak dia sudah besar. Bahkan bukan hanya satu, tapi minimal tiga! Lucu katanya biar bisa jadi girl grup. Saat itu kamu hanya bisa menghela napas karena dia bertanya di meja makan, usai pesta, di depan semua keluarga besar. Wajah kamu lucu sekali ketika semua anggota keluarga malah mendukung keinginan adik. Kamu memaksakan untuk tersenyum. Tapi korban sebenarnya bukan kamu. Melainkan orang yang kamu jatuhi tatapan tajam untuk dimintai pembelaan. Belum cukup dengan mata melotot, kamu tambah lagi dengan satu cubitan yang amat perih di pinggang kanan. Sepertinya bekas cubitannya masih ada sampai sekarang. Mau lihat?
Kamu punya suara yang merdu. Tidak ada yang menyangka kalau ternyata kamu pandai menyanyi. Bahkan Ayah dan Ibu sampai ternganga mendengar suaramu. Jangan tanya bagaimana tanggapan tamu lain. Semuanya berhasil dibuat terpesona olehmu. Bahkan ada yang bercanda dengan saweran. Aneh sekali. Padahal lagu yang kamu nyanyikan adalah lagu cinta dan lagu bahagia. Makanya orang itu langsung mendapat teguran dari Ayah. Melihat itu kamu sempat tertawa di tengah lagu. Tapi kamu masih terus bernyanyi sampai lagunya habis. Turun dari panggung, kamu langsung mendapat tepuk tangan meriah dari seisi ruangan. Bukan hanya tamu undangan, tapi juga penjaga stan makanan, petugas kebersihan, pembawa acara dan tim, bahkan tukang masak di dapur sampai melongok keluar hanya untuk melihat kamu bernyanyi. Kamu adalah seorang bintang. Kamu bersinar amat terang kemarin.
Sayangnya, hari bahagia itu malah berakhir menyedihkan. Ada kekacauan.
...
Kamu terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Sudah sedari semalam kamu terus meringkuk di perbaringan. Semua keluarga hilir-mudik datang menjenguk, juga semua teman-teman. Semua orang tidak ada yang menyangka akan berakhir seperti ini.
Kata dokter, kepalamu mendapat benturan keras. Makanya ada perban melingkar di kepalamu. Kamu hilang ingatan katanya. Tapi tidak ada seorang pun yang percaya. Setidaknya masih menunggu sampai kamu siuman.
Ah, bahkan dalam keadaan sakit pun kamu masih terlihat cantik, Sayang. Balutan perban di kepalamu sama sekali tidak mempengaruhi keelokan wajahmu. Bahkan malah menjadikannya seperti mahkota.
Aku ada di sini. Di sampingmu. Sepanjang malam. Aku selalu menemanimu. Tidak pernah sekalipun aku meninggalkanmu sendirian. Aku terus menggenggam tanganmu yang dingin. Menciumnya dengan harap kamu bisa segera siuman. Sekarang sudah pagi, Sayang. Kumohon bangunlah.
Air mata bahagia tidak bisa berhenti mengalir ketika kamu akhirnya membuka mata. Dokter dengan segera masuk dan memeriksamu. Bertanya beberapa pertanyaan, tapi kamu hanya diam. Tatapanmu kosong. Kamu juga tidak banyak bergerak. Gerakan yang ada hanyalah perut yang kembang kempis ketika bernapas. Aku masih menggenggam tanganmu. Aku tidak berhenti menciumnya ketika melihat kamu membuka mata. Meski setiap pertanyaan tidak pernah mendapatkan jawaban. Makanya aku bercerita panjang. Kemarin adalah hari bahagia--seharusnya begitu.
Kamu baru bersuara lagi sehabis aku bercerita. Suaramu lemah sekali. Kamu hanya bisa berkata pelan. Tapi bisa mendengar kembali suaramu adalah sebuah kebahagiaan. Bersamaan dengan suara itu, kamu juga memalingkan wajahmu dan melihatku. Aku tidak mampu berkata. Tangis bahagia sekali lagi pecah. Senyum juga terus merekah menunggu kalimat pertamamu.
"Kamu siapa?" tanyamu. Sebuah kalimat yang sebenarnya sama sekali tidak aku harapkan.
Aku langsung lemas. Tangis bahagia itu seketika berubah jadi tangis menyesakkan. "Aku suamimu."
Komentar
Posting Komentar