Langsung ke konten utama

Dear Diary: Penyesalan

Hampir lewat tiga tahun masa sekolah berlalu. Tapi bukan berarti apa yang sudah selesai lantas berakhir tanpa penyesalan. Aku punya penyesalan. Dan aku sangat menyayangkan hal itu.

Aku bukan termasuk murid berprestasi. Murid bodoh apa lagi. Aku hanya murid sekolah biasa. Tapi di beberapa kesempatan, aku punya peluang untuk menjadi murid berprestasi. Seperti saat tahun pertama Sekolah Menengah Pertama.

Aku mendapat kesempatan untuk ikut seleksi sebagai wakil sekolah di olimpiade matematika. Dan aku berhasil untuk itu. Aku berhasil jadi wakil sekolah untuk ikut olimpiade matematika tingkat Kecamatan. Meski hanya tingkat Kecamatan, sebenarnya ini adalah seleksi awal untuk tingkat yang lebih tinggi lagi. Sebab tiga terbaik nantinya akan jadi wakil di tingkat Kota, dan seterusnya. Sayangnya, jalan yang sedang kutempuh tidak sepenuhnya mulus. Terdapat dua babak dalam ujian tingkat Kecamatan. Jangankan untuk jadi wakil di tingkat Kota. Lulus ujian babak pertama saja bahkan aku tidak bisa.

Aku bukanya ingin menyalahkan pihak sekolah. Tapi ini adalah penyesalanku. Aku menyayangkan pihak sekolah yang seolah setengah-setengah dalam mengurus olimpiade ini. Padahal mereka sudah serius mengadakan ujian seleksi, tapi sayangnya keseriusan mereka hanya sampai situ. Pada awalnya, aku mengira setelah lulus seleksi akan mendapat kelas tambahan sebagai pemantapan. Tapi sama sekali tidak ada yang datang memberi tahu. Salahku juga tidak ada inisiatif untuk bertanya dan meminta hal itu. Alhasil aku pun belajar sendiri. Bersiap-siap sendiri. Saat itu aku baru masuk sekolah sekitar tiga/empat bulan. Banyak sekali pelajaran yang harus aku kejar. Aku selalu berpikir kalau sebenarnya aku juga kurang serius dalam belajar dan mempersiapkan diri. Makanya aku gagal. Dan aku menyesal sudah menyia-nyiakan kesempatan itu. Sayangnya juga tahun berikutnya tidak ada seleksi lagi. Entah memang tidak ada, atau aku yang tidak tau.

Bicara soal kesempatan kedua, sekali lagi aku unjuk gigi di bidang akademik, khususnya matematika. Aku punya kesempatan kedua dan itu datang di jenjang berikutnya, Sekolah Menengah Atas. Lagi-lagi seleksi ujian itu diadakan di tahun pertama masuk sekolah. Dan aku pun sekali lagi berhasil jadi perwakilan sekolah. Olimpiade kali ini memang sedikit berbeda dari sebelumnya. Kalau kusebut olimpiade sebelumnya adalah olimpiade negeri, maka olimpiade di SMA adalah olimpiade swasta. Tapi keduanya sama-sama ajang bergengsi bahkan sampai tingkat nasional. Sebagai peserta olimpiade padahal belum genap satu tahun, bahkan satu semester di sekolah, makanya aku harus mengejar banyak pelajaran. 

Sebutannya memang kesempatan kedua, tapi keluhannya masih sama. Aku pun bahkan tidak mengerti mengapa bisa begitu. Lagi-lagi sekolah seolah tidak serius. Perkiraanku pun masih sama. Aku mengira setelah lulus seleksi akan ada kelas tambahan untuk pemantapan. Tapi tidak ada yang datang sama sekali. Aku pun jadi harus belajar mandiri. Aku bahkan masih ingat untuk menyempatkan diri belajar sendiri di perpustakaan pada saat jam kosong. Hasilnya? Mungkin bisa dibilang setengah berhasil. Sebab kali ini pun sama ada dua babak ujian. Dan aku berhasil lulus babak pertama.

Ketidakseriusan sekolah makin terlihat ketika masuk ujian babak kedua. Kalau babak pertama diadakan secara daring, maka babak kedua diadakan langsung di tempat terpilih yang terdekat dengan domisili masing-masing. Aku pun pergi saat hari ujian, sendirian. Benar-benar sendirian. Aku pun masih ingat betapa menyedihkannya diriku saat itu bahkan sudah seperti anak hilang, ditambah lagi kepribadianku yang sulit bersosialisasi. Penyesalanku adalah selain-- sekali lagi--tidak mempersiapkan ujian dengan baik, penyesalan lain adalah menyia-nyiakan kesempatan untuk tidak mengeksplorasi sebuah tempat baru yang mengagumkan. SMA PRIBADI BANDUNG. Sekolah boarding dengan banyak murid berprestasi. Dinding di sana dipenuhi banyak piagam penghargaan dan foto-foto anak-anak berprestasi dengan medali kejuaraan dikalungkan di lehernya. Aku menyesal hanya datang, mengerjakan ujian, dan pulang begitu saja. Bahkan aku tidak mendapatkan satu pun kenalan di sana. 

Makanya sejak hari itu, aku punya misi utama untuk setiap perjalanan: Adalah ingin punya satu kenalan baru di setiap perjalanan. Sayangnya banyak perjalanan dilalui setelah itu, tetap tidak ada satu pun kenalan baru yang berhasil aku dapatkan. Makanya ada yang namanya penyesalan.

Adanya penyesalan itu aku jadi berandai-andai. Andai aku mendapat dukungan lebih, baik itu dari pihak sekolah bahkan dukungan diri sendiri untuk belajar lebih giat lagi, mungkin saja aku punya nasib yang sama seperti anak-anak olimpiade lainnya yang bahkan bisa kuliah di luar negeri. Sedangkan aku, jangankan untuk pergi ke luar negeri, masuk kampus negeri pun tidak.

Aku menyesal dan aku kesal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku: Getting To Yes

 Resensi buku non-fiksi: Getting To Yes Identitas Buku:  Getting To Yes: Trik Mencapai Kata Sepakat untuk Setiap Perbedaan Pendapat Oleh Roger Fisher, William Ury, dan Bruce Patton Penerjemah: Mila Hidajat Penerbit Gramedia Pustaka Utama Cetakan kelima (edisi ketiga): Maret 2020 Jumlah Halaman: 314 Pendahuluan: Secara umum, Getting To Yes menawarkan sebuah metode negosiasi yang dikenal sebagai Negosiasi Berprinsip. Seringkali perbedaan pendapat menjadikan dua pihak ingin saling mengalahkan satu sama lain, hanya berfokus pada apa yang mau dan tidak mau dilakukan oleh masing-masing pihak. Dengan Negosiasi Berprinsip perbedaan pendapat diharapkan dapat diselesaikan dengan kesepakatan yang menekankan pada keuntungan bersama bila memungkinkan, dan ketika kepentingan kedua pihak bertentangan, maka harus didasarkan pada standar yang adil dan terbebas dari keinginan masing-masing. Para penulis merupakan mereka yang tergabung dalam Harvard Negotiation Project sekaligus menjadi tempat d...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...