Hari itu sepulang aku dari sekolah. Aku pulang tepat saat transisi dari terang ke gelap. Hanya sebentar beristirahat. Setelah makan malam, aku dapat telepon dari guruku, perihal ajakan kemah. Ajakan itu sebenar sudah kuterima sedari siang, melalu pesan yang dikirim seorang teman. Tapi sebab aku masih di sekolah, jadi aku abaikan dan diamkan. Aku pun terima ajakan itu. Akan kuanggap sebagai mengisi waktu libur.
"Kita akan berangkat sekitar jam 3." kata guruku di telepon.
Aku pun mengangguk paham. Sebab kupikir waktunya masih lama, usai makan malam aku pilih untuk bersantai sejenak. Berselang sekitar satu jam, guruku kembali mengabarkan.
"Kita berangkat jam 10, sebentar lagi."
Aku terkejut bukan main. Katanya untuk mengefektifkan waktu. Segera aku pun bersiap. Dengan sigap, cepat, dan tangkas, aku segalanya sudah masuk ke dalam tas.
Perjalanan pun dimulai-- tapi ngetem dulu di Pom bensin tengah jalan dan tidur dalam mobil.
Sampai menjelang subuh. Perjalanan pun dimulai kembali-- tapi berhenti lagi sampai ketemu masjid di jalan buat sholat subuh.
Perjalanan sebenarnya baru dimulai. Kala itu aku tidak tau akan ke mana tepatnya. Apa yang kutau adalah kalau kami bakal kemah di pinggir pantai. Selama perjalanan pun aku tidak bisa menikmati. Sibuk menahan mual sebab mabuk kendaraan dan menguatkan diri. Upaya untuk tidur pun tidak nyaman.
Perjalanan memang tidak menyenangkan bagiku. Tapi sesampainya di tujuan, kepalaku melompat jauh mengingat kenangan di Bali, saat kali pertama aku mengunjungi pantai yang pernah kulihat di internet. Tujuannya adalah Pantai Ujung Genteng.
Aku tidak bisa berhenti tersenyum. Hatiku lapang sejauh mata memandang. Ujung Genteng punya pesonanya sendiri. Aku bisa sampai ke tengah laut bahkan tanpa berenang. Sebenarnya-benarnya tengah laut. Aku melewati banyak rumput laut. Bahkan aku menemukan bulu babi, juga kali pertama aku melihatnya langsung, juga teripang, kali pertama juga, dan banyak Bintang laut, bukan yang seperti Patrick Star, yang kutemukan adalah yang memiliki lengan panjang dan hitam.
Kami semua bersenang-senang bukan dengan berenang. Sebab air laut surut terlalu jauh. Sebab sampai di tengah sana kami langsung bertemu dengan ombaknya. Kami habiskan waktu dengan makan pinggir pantai dan menikmati pemandangan dan kesegarannya dan memanjat pohon.
Agenda kemah belum dimulai. Datang petang kami undur diri dari sana dan bergeser sedikit kalau di peta untuk sampai di tempat kemah. Tempat yang menurutku jauh lebih indah lagi. Ada sebuah batu karang besar di tengahnya mirip sebuah pulau. Saat aku menapakkan kaki di sana, pikiranku melayang sampai ke bulan, aku sampai di bulan, ada banyak yang kawah bulan, dan sama-sama berwarna gelap. Sayangnya, awan cukup tebal sampai menutupi pertunjukan tenggelamnya matahari. Tidak lupa untuk membangun tenda sesampainya di sana.
Hari besok adalah yang paling seru. Kami berenang di tengah laut.
Pantainya cukup ramai. Ada banyak pengunjung. Salah satu di antara mereka menarik perhatianku, atau pendengaranku. Mereka seorang anak kecil dan seorang perempuan dewasa, entah apakah dia ibunya atau kakaknya, hipotesis mengatakan kalau dia adalah kakaknya, bercakap dalam Bahasa Inggris.
Namanya Daren. Aku tidak bertanya langsung, hanya curi dengar ketika perempuan yang kukira kakaknya itu ternyata adalah ibunya memanggil Daren untuk mengakhiri waktu bermain di pantai. Daren bermain membangun istana pasir (Sand Castle!). Dialog mereka benar-benar menyenangkan. Bagiku meski hanya dialog ibu dan anak, itu adalah hal yang spesial. Sebab kali pertama bagiku mendengar langsung orang asing bercakap dalam bahasanya dan aku memahami apa yang mereka bicarakan.
Semuanya hanya berupa pengamatan. Tidak ada tegur sapa sama sekali. Tapi aku pikir mereka adalah orang Singapura. Andai aku punya keberanian, Singapura adalah negeri impian. Betapa senangnya kalau bisa berkawan dengan penghuninya.
Tidak lupa juga soal perahu nelayan. Aku tidak pernah melihat perahu nelayan sebanyak itu. Aku pernah melihat perahu nelayan sewaktu di Bali. Tapi yang sebanyak itu, selain di tv, aku baru melihatnya di Ujung Genteng. Aku juga jadi tau suasana kampung nelayan yang cukup menyenangkan. Sayangnya aku tidak dapat kesempatan untuk ikut naik ke atas perahu. Atau kami tidak terpikirkan soal itu.
Dalam perjalanan pulang, aku menemukan banyak sekali pohon kelapa di pinggir jalan, samping rumah, atau di tengah sawah. Sebenar-benarnya pohon kelapa yang kelapanya jadi bahan utama dalam es kelapa muda. Bukan pohon kelapa sawit atau jenis pohon kelapa yang lain. Batangnya tinggi menjulang. Daunnya melengkung indah. Dan buah kelapa yang menumpuk satu sama lain di puncak batangnya. Kalau Menara Eiffel adalah menara Paris, berarti Pohon Kelapa adalah menara alam.
Selanjutnya di Ranca Upas.
Komentar
Posting Komentar