Langsung ke konten utama

Dear Diary: Perpustakaan

 Salah satu impianku adalah untuk membangun sebuah perpustakaan. Impian itu didorong atas kegemaranku dalam membaca dan menulis. Atau juga sebab hari kelahiranku yang bertepatan dengan Hari Literasi Internasional. Walau sebenarnya minat baca juga tidak sepenuhnya disebabkan oleh itu.



Kalau perpustakaan berarti sebuah bangunan yang menyimpan banyak buku, atau tempat orang-orang untuk berkumpul dan membaca, maka untuk membangunnya masih membutuhkan waktu yang lama. Tapi kalau perpustakaan adalah sebuah tempat untuk pinjam-meminjam buku, maka impian itu perlahan mulai terwujud.

Kebiasaan membaca tidak hanya aku lakukan di rumah, tapi juga kubawa sampai ke kampus. Sudah terhitung banyak buku telah kubawa untuk dibaca di kampus. Selagi aku membaca, kerap kali ada seorang teman kelas yang bertanya perihal apa yang kubaca, buku apa itu. Sampai satu judul menarik minat baca salah seorang teman. Kemudian teman yang lain juga turut berminat untuk membaca judul yang sama. Datang lagi satu orang ikut mengantre kemudian.

Hal itu kemudian berkembang merambah ke buku-buku lain. Minat baca teman-teman tidak lagi terpaut dengan buku apa yang dibaca, bukan lagi soal judul atau penulisnya. Melainkan minat baca terhadap"buku" itu sendiri.

Ada seorang teman bilang padaku untuk meminjam satu buku. Dia memang menjelaskan buku-buku apa saja yang ia minat. Tapi keterbatasan buku yang kumiliki menjadikan ia membebaskan judul buku yang akan ia pilih. Hanya terbatas pada buku-buku yang kupunya saja.

"Kalau ada waktu luang, atau sedang bosan, maka aku akan membaca." kata seorang teman membeberkan alasannya meminjam buku.

"Terbatas hanya sampai satu Minggu. Setelah itu segera kembalikan." kataku sambil sedikit bergurau. "Kalau lebih akan dikenai denda."

"Memangnya perpustakaan?" 

Aku tertawa dalam hati. Memang itulah tujuanku. Tapi sekarang ini, aku biarkan mereka para peminjam buku bebas membaca semampu mereka. Lagipula benar apa yang dikatakan salah satu temanku itu. Ini hanyalah kegiatan pinjam-meminjam buku, bukan benar-benar perpustakaan.

Aku hanya tersenyum saja. Setidaknya kebiasaanku itu rupanya jadi pemicu kecil dalam meningkatnya minat baca di negeri ini, khususnya orang-orang di sekelilingku. Maka untuk impian membangun perpustakaan, biarlah terus menjadi angan untuk sementara. Sampai waktunya tiba, aku tidak tau akan jadi seperti apa kalau benar-benar impian itu jadi nyata. Yang membuatku penasaran adalah, bagaimana mimpi itu akan terwujud nantinya.

Kalau itu benar terjadi, itu akan sangat membahagiakan. Sebab akhirnya, aku tidak lagi membaca sendirian. Aku tidak lagi menyimpan cerita-cerita yang masih membekas dalam ingatan terkurung selalu di kepala. Kalau ada seorang lain yang membaca buku yang sama, maka pembahasan ulang, memberi komentar, atau sekadar berbagi cerita, adalah hal yang belum aku dapatkan sekarang ini.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Buku: Getting To Yes

 Resensi buku non-fiksi: Getting To Yes Identitas Buku:  Getting To Yes: Trik Mencapai Kata Sepakat untuk Setiap Perbedaan Pendapat Oleh Roger Fisher, William Ury, dan Bruce Patton Penerjemah: Mila Hidajat Penerbit Gramedia Pustaka Utama Cetakan kelima (edisi ketiga): Maret 2020 Jumlah Halaman: 314 Pendahuluan: Secara umum, Getting To Yes menawarkan sebuah metode negosiasi yang dikenal sebagai Negosiasi Berprinsip. Seringkali perbedaan pendapat menjadikan dua pihak ingin saling mengalahkan satu sama lain, hanya berfokus pada apa yang mau dan tidak mau dilakukan oleh masing-masing pihak. Dengan Negosiasi Berprinsip perbedaan pendapat diharapkan dapat diselesaikan dengan kesepakatan yang menekankan pada keuntungan bersama bila memungkinkan, dan ketika kepentingan kedua pihak bertentangan, maka harus didasarkan pada standar yang adil dan terbebas dari keinginan masing-masing. Para penulis merupakan mereka yang tergabung dalam Harvard Negotiation Project sekaligus menjadi tempat d...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...