Aku baru saja akan pulang ke rumah usai pentas seni kampus. Sendiri, tidak seperti biasanya. Orang yang biasa pergi bersamaku, tetiba saja enggan ikut saat aku mengajaknya tadi pagi. Pentas seni itu pun jadi tidak begitu menyenangkan. Kalau saja kemarin aku bisa menahan diri lebih lama lagi, mungkin sekarang kami masih jalan bareng.
Sebelum benar sampai rumah, aku datang berkunjung ke rumah dia lebih dulu. Mencoba untuk bersikap biasa saja. Memang ini salahku, tidak seharusnya aku merusak persahabat ini hanya karena sebuah rasa cinta. Hal yang sudah diperingati olehnya agar salah satu dari kami tidak pernah jatuh cinta satu sama lain. Tapi aku malah tertangkap dan langsung hilang kendali atas tubuhku sendiri. Aku salah, aku kalah. Aku malah jatuh hati.
Aku mengetuk pintu rumah itu. Aneh rasanya. Tidak biasanya aku bersikap sopan kepada rumah ini. Seringnya aku langsung masuk begitu saja tanpa permisi. Ketidaksopanan yang terwujud sebab kedekatan kami sedari kecil. Sudah aku anggap rumah ini sebagai rumahku sendiri.
Seseorang membukakan pintu. Aku memanggilnya Bibi, seorang asisten rumah tangga di rumah ini. Dia tampak heran ketika tau kalau akulah yang mengetuk pintu.
"Eh, Den Kala, aneh banget sampai ketuk pintu. Kayak tamu aja."
"Panggil Kala saja, Bi." Sudah ribuan kali aku bilang agar ia cukup memanggil namaku saja. Tidak usah pakai "Den", sebab aku bukan seorang raden atau keturunan raja. Tapi masih saja dilakukan.
"Tidak sopan atuh, Den." kata Bibi. Masih dengan alasan yang sama.
Aku sedikit mengintip ke dalam, berharap dia ada di ruang tengah sedang menonton televisi atau bermain dengan kucing peliharaannya.
"Kila ada, Bi?"
Bibi tiba-tiba memicingkan matanya. "Lagi ada masalah, ya, Den?"
Aku terdiam.
"Wah bener, nih. Biasanya juga langsung masuk aja. Langsung cari sendiri enggak pake nanya dulu."
"Bii..."
Bibi tertawa kecil. "Pantas aja Non Kila memilih diam di rumah aja, padahal katanya ada pentas seni di kampus. Ternyata lagi ada masalah."
Gemar sekali Bibi menggodaku. "Bii..."
Sekali lagi Bibi tertawa kecil. "Non Kila ada di kamarnya."
Aku mengangguk pelan. "Boleh saya masuk, Bi?"
"Lah? Masuk aja. Enggak usah izin segala. Biasanya juga enggak."
"Berarti sekarang lagi luar biasa, Bi." Giliranku menggoda Bibi.
"Sudah, sudah. Ayo masuk. Langsung samperin aja ke kamarnya, Den."
Izin sudah dipengang. Aku pun masuk ke rumah Kila. Aneh sekali rasanya. Rumah ini tetiba saja berubah asing. Kali ini aku merasa sedang berperan sebagai tamu.
Aku mulai menaki tangga yang akan membawaku ke kamar Kila. Pintu kamar
Kila aku ketuk. Lagi-lagi bukan kebiasaanku di sini.
"Kil..." panggilku.
"Ada apa, Kal?" sahut Kila dari dalam.
"Gue masuk, ya?"
"Masuk aja kali. Biasanya juga inisiatif."
Aku tersenyum sebentar. Kemudian mulai memutar knop pintu dan membukanya. Tampak Kila sedang duduk bersandar di atas ranjang tidurnya. Matanya asyik menatap layar laptop yang ia pangku. Rekaman drama korea tampil memenuhi layar.
"Nama gue Kila. Bukan Kil." kata Kila ketika aku baru saja selesai menutup kembali pintu.
"Sama aja kali. Itu kan panggilan." Aku menarik kursi di depan meja belajar Kila lalu duduk di sana.
Kila menjeda sebentar tontonannya. "Lagian panggilan lo serem amat. Lo kira gue pembunuh? Temen-temen gue aja manggilnya Lala."
"Tapi kan nama lo Kila."
Kila tidak menanggapi. Ia lanjut menonton.
"Eh, iya. Tadi pagi pentas seni enggak seru. Engga ada lo. Gue jadi enggak ada temen." Aku mulai bercerita. Daripada diam saja dan melihat Kila sibuk sendiri.
"Temen lo kan banyak." Sahut Kila. Matanya masih fokus menatap layar.
"Banyak emang, tapi semuanya bareng pacarnya masing-masing. Gue jadi sendirian."
"Terus?" Kila malah mengajukan pertanyaan.
"Ya, gitu. Kalau ada lo, kan gue jadi enggak sendirian."
"Makanya cari pacar sana. Biar kalau temen-temen lo lagi bareng pacarnya, lo jadi enggak sendiri lagi, kan? Simpel."
"Udah. Kemarin baru gue tembak. Tapi malah ditolak."
Kila menghentikan aktivitas menontonnya. Laptopnya ia tutup lalu mengubah posisi duduknya agar langsung menghadap ke arahku. Upacara penembakan tadi malam kembali memenuhi pikirannya.
"Kala, udah gue bilang enggak usah ada cinta di antara kita. Kita ini sahabat dari kecil, Kala."
"Perasaan, kan enggak bisa diatur, Kil."
Kila menarik napas dalam. Mengubah posisi duduknya lagi dan kembali membuka laptopnya. Lagi-lagi aku diabaikan.
"Emangnya kenapa, Kil?" tanyaku setelah beberapa saat kami saling diam.
"Karena gue takut." Kila masih sibuk dengan laptopnya
"Takut apa?"
Kila sejenak memberhentikan aktivitasnya. Matanya masih enggan melihat ke arahku. "Takut kita enggak bisa sama-sama lagi."
Aku tertawa kecil mendengar lelucon itu. "Yang kayak gitu cuma ada di film-film, Kil."
"Kalau gitu, berarti sekarang kita lagi main film, Kal."
Aku terdiam.
Kila melanjutkan perkataanya. "Kita pernah sama-sama janji kalau kita akan jadi sahabat selamanya, kan?"
"Iya." jawabku singkat.
"Dan lo udah ingkari janji itu."
Aku menangkupkan kedua telapak tanganku ke wajah dan mengusapnya dua kali. Kemudian menariknya memutari kepala sampai rambutku terangkat dan menampilkan betapa luasnya dahiku. "Maaf."
"Cinta emang indah, Kal. Tapi bersama keindahan juga ada keburukan, kan?"
Sekarang Kila sudah mau menatapku lagi. Ia kembali mengubah posisi duduknya.
"Dan bersama keburukan juga ada keindahan, kan?" Aku balik bertanya.
Kila terdiam sebentar. "Simpan hati lo, Kal. Gue enggak mau kecewa, enggak mau ambil risiko, enggak mau patah hati karena lo."
"Gue usahakan."
"Gue butuh bukti."
Aku bungkam.
Kila tersenyum menatapku. "Sahabat selamanya?" tanya dia tiba-tiba. Ia juga mengacungkan jari kelingkingnya dan mendekatkannya ke arahku.
Aku bergantian menatap wajah Kila dan kelingking itu. Aku tatap manik mata Kila dan mulai tersenyum juga.
"Gimana kalau, bersama selamanya?" Aku mengajukan penawaran.
Kila berpikir sebentar. "Hm, kayaknya lebih baik."
"Emang." Gumamku pelan.
"Bersama selamanya?" kata Kila
Aku menyambut kelingking kecil itu. Kini, dua kelingking sudah bertaut. "Bersama selamanya." kataku, Kala.
•••
Komentar
Posting Komentar