Dear Diary,
Aku ingin menyebut tulisan ini sebagai diary. Walau kebanyakan orang menulis diary untuk disimpan sendiri. Tapi bagiku, aku ingin tulisan ini dibaca orang lain. Setidaknya oleh mereka yang nanti aku sebutkan namanya dalam tulisan ini.
Sebagian besar tulisan ini akan diisi oleh sebuah nama, MadmaX, sebuah tempat yang pernah aku huni 3 tahun lalu, yang kudatangi lagi setahun lalu, dan aku datangi lagi-lagi beberapa waktu lalu. Orang bilang mereka yang sudah keluar itu disebut alumni. Dan aku adalah alumni yang payah.
Aku meninggalkan MadmaX saat kondisinya sedang tidak baik-baik saja. Saat itu terjadi pandemi, jumlah anggota yang hanya terhitung jari, juga purna baktinya seorang pembina, seorang ayah, yang sangat loyal terhadap tempat ini.
Beberapa waktu lalu aku kembali berkunjung. Sama seperti tahun lalu saat sekolah sedang dalam suasana penerimaan siswa baru. Aku datang dengan niat untuk membantu persiapan demo ekskul yang biasa diadakan di akhir kegiatan penerimaan siswa baru itu.
Iya, aku berniat membantu. Bukan hanya untuk hari itu, tapi juga untuk ke depannya. Aku ingin memperbaiki apa yang aku tinggalkan dalam kondisi kurang baik. Bukan berarti orang yang ada setelahku tidak bekerja dengan baik, tapi kinerja mereka tentu ada pengaruhnya dengan kinerjaku sebelumnya.
Ada banyak ide berkeliaran di kepala. Aku ingin membawa MadmaX lebih maju. Aku ingin membuat MadmaX berkembang pesat. Aku ingin menjadi MadmaX sebagai wadah belajar jurnalistik. Aku ingin menjadikan MadmaX sebagai pusat informasi sekolah. Aku ingin menjadikan MadmaX pusat perhatian sekolah. Aku ingin menjadikan MadmaX sebagai kebanggaan sekolah.
Dalam pandanganku, MadmaX tidak punya arah tujuan. Entah sebab kehilangan peta sebagai pegangan, atau justru peta itu memang tidak pernah dibuat.
MadmaX adalah singkatan dari Mading Masyarakat X (dengan Mading adalah akronim dari majalah dinding, dan X adalah angka romawi dari sepuluh). Mulanya MadmaX bergerak di dunia majalah dinding. Tapi seiring berjalannya waktu, tentu itu sudah jauh tertinggal dan ditinggalkan orang-orang.
Saat terjadi pandemi, kupikir itu bisa jadi momentum bagi MadmaX untuk bangkit. Keluar dari zona nyaman dan mencoba hal baru. Mencoba untuk berpindah media dari kertas yang ditulis manual menjadi tulisan digital dan modern. Berubah dari majalah dinding menjadi majalah digital.
Tapi hal itu tidak pernah terjadi. Aku memang sudah memikirkannya. Tapi ak ini adalah orang payah yang tidak berani untuk menumpahkan isi kepala dan mengutarakan pendapat.
Aku ingin menjadikan MadmaX sebagai tempat yang dihuni oleh para jurnalis hebat. Menjadikan ruang sekretariat sebagai studio berita. Bukan hanya sekedar melakukan wawancara tapi juga mampu melakukan laporan langsung di tempat.
Aku ingin MadmaX keluar zona nyaman atau tetap berada di sana tapi dengan menambahkan inovasi baru. MadmaX tetap giat membuat mading seperti biasa. Namun minat baca yang tidak banyak sering kali jadi masalah. Kalau orang-orang malas membaca, mungkin mereka akan senang kalau ada yang membacakannya. Para anggota yang akan mengambil peran. Menyampaikan apa yang ditulisnya sendiri dengan percaya diri. Dalam rekaman video yang kreatif dan disampaikan dengan penuh keceriaan. Videonya disebarkan di media sosial MadmaX dan menjadi viral setidaknya di kalangan warga sekolah.
Satu lagi, aku ingin mengadakan simulasi lomba Mading yang entak bagaimana dan kenapa aku berhasil menyampaikannya pada dua alumni lain yang datang hari itu. Hanya sekadar untuk memberikan pengalaman dan bersenang-senang. Walau sebenarnya pengalamanku pun tidak banyak. Aku baru sekali mengikuti lomba Mading. Dan hebatnya bisa menyabet gelar juara kedua.
Beruntung MadmaX masih di huni oleh orang-orang yang bersemangat. Khayla seorang koordinator yang masih menyempatkan diri untuk hadir di segala kesibukannya. Vani yang pendiam namun masih setia di tempat. Celine yang kreatif dan inovatif. Dan, Riska, meski aku punya kesan pertama yang kurang baik sebab dibilang melakukan bombastic side eye, tapi dia punya jiwa jurnalistik yang ulung dan keberanian. Dan satu lagi yang hari itu tidak datang, kuyakin dia juga punya semangat yang sama.
Sebelum hari itu, tadinya aku mengira kalau MadmaX sudah tidak dihuni sesiapa pun lagi. Aku memang tidak pergi berkunjung, tapi jejak media sosial yang terkadang kupantau kalau teringat, juga tidak ada. Sampai aku berkunjung kembali, rupanya hal itu dibenarkan oleh mereka. Mereka bilang memang tidak pernah berkumpul dan membuat MadmaX hidup. Tapi entah kenapa untuk hari itu, mereka bisa saling bahu membahu mencari penghuni baru dengan semangat yang mungkin sudah mereka timbun selama ketidakaktifan mereka.
Mereka punya semangat, sebenarnya aku juga punya. Hanya saja mereka juga punya keberanian, sedangkan aku tidak. Aku alumni yang payah. Perasaan itu pun didukung ketika aku melihat tempat lain, LensX jadi tempat keren dan profesional setelah mendapat pembina baru. Seni Rupa yang terakhir kali kulihat hanya melukis kini sudah menunjukkan rupa-rupa warnanya. Dan tempat lain yang masih sama, masih semangat, masih berprestasi sebab dukungan para alumninya.
Terakhir kali usai acara selesai dan sebelum pulang, Khayla mengucapkan terima kasih, tanpa ragu dan tanpa canggung. Aku hanya bisa mengangguk pelan dan tersenyum tipis kemudian pamit undur diri. Ingin sekali aku balas ucapan terima kasih itu dengan, "maaf sebab aku tidak bisa melakukan apa-apa."
"Maaf sebab tidak bisa menyampaikan semua ini secara lisan."
"Tolong jaga MadmaX tetap hidup. Sebab hanya kalianlah satu-satunya alasan untuk aku kembali ke sekolah."
Komentar
Posting Komentar