Langsung ke konten utama

Aku Temani

 Uti terus saja menangis di kamarnya tiap malam. Sudah jadi rutinitasnya selama satu minggu terakhir. Tiap malam juga, aku selalu menunggu di luar kamar sampai Uti tertidur. Aku tidak berani masuk sebelum Uti benar-benar terlelap di kasurnya. Aku takut jadi pelampiasannya kalau-kalau Uti lepas kontrol. Bisa saja dia malah melempariku dengan selimutnya, mungkin juga guling atau bantal.

Seperti di hari pertama. Aku ikut Uti masuk ke kamar saat Uti selesai kumpul bersama ayah dan kakaknya, melihat pengumuman hasil SBMPTN. Dia menangis sejadi-jadinya. Aku coba mendekatinya, tapi cepat Uti memelukku. Kencang sekali sampai lebih pantas disebut diremas daripada dipeluk. Aku pun memaksa lepas lalu turun dari kasur, tapi kemudian aku malah dilempari selimut olehnya, dilanjut bentakkan yang membuat kuping pengang. Aku susah payah berusaha keluar dari selimut yang menutupi seluruh tubuhku, lalu cepat keluar dan kembali lagi saat Uti sudah tertidur.

Hari ini, setelah selesai dengan buku tulisnya, Uti kembali menjalani rutinitasnya. Lagu sedih mengalun seisi kamar. Membantu Uti hanyut semakin dalam. Seperti biasa, aku sedang menunggu di luar.

Isak tangis sudah tidak terdengar, lagu sedih masih mengalun sampai waktunya nanti mati sendiri setelah Uti yang mengaturnya. Aku pun beranikan diri untuk masuk. Uti sudah tidur dengan sebuah bingkai foto di pelukannya. Sebentar aku menuju meja belajar Uti, melihat sebuah buku tulis yang tadi di bukanya. Di sana tidak ada huruf-huruf yang biasa tertulis. Apalagi angka-angka yang sudah lama tidak disentuhnya. Kertas putih itu diisi oleh tinta pulpen yang menari ke sana ke mari tadi. Membangun sebuah bentuk tidak beraturan. Coretan memenuhi halaman terakhir buku itu.

Aku turun dari meja belajar. Alih beranjak ke ranjang. Iku terlelap di samping Uti. Ikut hanyut di dalam mimpi Uti.

Uti mengajakku jalan-jalan di taman. Dia terus saja jalan, tatapannya kosong. Aku mengikutinya dari belakang.

"Miaw!" Aku mulai bersuara. Minta perhatian.

Uti tidak merespon.

"Miaw! Miaw!" Kali ini lebih heboh lagi.

Uti pun berhenti, kemudian menoleh. "Ito, ada apa?" tanyanya dilanjut dengan berlutut di depanku.

Aku diam sebentar. Menarik napas dalam, dan mulai meyakinkan diri. Ini sudah saatnya aku perbaiki semuanya.

Perlahan, aku mengangkat satu kaki depanku, kemudian kaki depan satunya lagi sampai aku berdiri tegak dengan dua kaki belakang. Aku alih fungsikan dua kaki depan menjadi dua tangan.

"I-Ito?" Uti mulai panik melihat kucing peliharaannya berdiri dengan dua kaki.

"Uti." panggilku.

Uti tambah panik lagi. Kucingnya itu tadi menyebut namanya dengan jelas.

"Uti, Uti, jangan panik. Nanti Uti bisa bangun." Aku berusaha menenangkan.

"Bangun? Apa ini mimpi?" Uti bersiap menampar pipi gembulnya, untuk mengetahui apakah benar ini mimpi atau bukan.

"Eh, Uti. Jangan tampar pipi Uti. Nanti Uti juga bisa bangun."

Uti pun mengurungkan niatnya. Mulai mengatur dirinya, melihat ke arahku, kemudian memanggilku. "I-Ito."

"Iya, Uti."

"Kenapa Ito bisa berdiri?"

"Semua kucing memang bisa berdiri, Uti."

Uti terdiam. Dia tampak Kebingungan. Seperti ada yang salah dengan pertanyaannya. Tapi kemudian Uti abai dan beralih menuju pertanyaan yang baru.

"Kenapa Ito bisa ngomong? Kucing kan enggak ngomong, Ito."

"Kata siapa? Semua kucing juga bisa ngomong Uti. Asal Uti tau, ya, tiap pagi Ito sering ngobrol bareng kucing tetangga. Terus tiap siang, kalau ada kucing yang mau maling ikan di meja makan, Ito suka Introgasi dia."

"Ih, Ito! Maksud Uti itu, kenapa Ito bisa ngomong sama Uti sekarang?"

Aku terkekeh kecil sebentar. Senang sekali bisa mengerjai Uti. Setidaknya ia bisa sejenak melupakan kesedihannya.

"Karena ini mimpi, Uti. Semua hal bisa terjadi di sini."

"Emang iya?"

Aku mengangguk. "Uti buktikan aja sendiri. Tinggal sebut aja sekarang Uti mau apa."

Uti berpikir sejenak. Ia masih merasa aneh—sampai ingin ia menyebut dirinya sendiri gila—kalau terus berdialog dengan kucing.

"Aku mau Ito jadi manusia."

Seberkas cahaya seketika muncul menutupi tubuh mungil kucing kesayangan Uti. Uti sampai melindungi matanya sebab silau. Di dalam cahaya, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Tangan yang bisa menggenggam, dua telinga semuanya pindah ke samping, sepasang sepatu di kaki, lengkap dengan celana dan jas rapih menutupi seluruh tubuh.

Uti mulai membuka mata lagi saat cahaya itu perlahan menghilang. Sudah tidak ada lagi kucing di sana. Kini tampil seorang lelaki tampan dengan setelan jas lengkap. Uti menganga lebar. Matanya ia kedipkan berkali-kali.

"Ito?!"

"Iya, Uti. Kenapa? Aneh, ya?"

Uti tidak merespon perkataanku. Ia malah bangkit berdiri dan langsung memegang seluruh wajahku. Membuka-tutup kelopak mata, mencubit hidung mancung sekali, menaik-turunkan alis mata, menggenggam erat pipi sampai ujung-ujung bibir tertarik saling menjauh. Dia merusak wajah tampanku. "Uti. Sakit, ih."

Uti menghentikan kegiatannya. Ia kembali mundur satu langkah. Dia tersenyum lebar. Senyuman paling lebar yang belum pernah terlihat di wajah manis Uti. Ia mulai mengatur diri.

"Kenapa Ito ganteng?" tanya Uti dingin yang didinginkan.

"Dulu Uti juga pernah mimpi Ito jadi manusia. Uti sendiri yang menggambarkan Ito kayak gini."

"Kapan?"

"Waktu Uti putus sama—" Perkataanku tertahan. Uti dengan cepat menaruh telunjuknya tepat di bibirku.

"Jangan sebut nama itu lagi, Ito! Uti kan udah move on." Uti tarik lagi telunjuknya. Melipat lengannya di depan dada dan berpaling ke arah lain.

Aku terkikik. Dua kali Uti berhasil aku kerjai.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...