Uti terus saja menangis di kamarnya tiap malam. Sudah jadi rutinitasnya selama satu minggu terakhir. Tiap malam juga, aku selalu menunggu di luar kamar sampai Uti tertidur. Aku tidak berani masuk sebelum Uti benar-benar terlelap di kasurnya. Aku takut jadi pelampiasannya kalau-kalau Uti lepas kontrol. Bisa saja dia malah melempariku dengan selimutnya, mungkin juga guling atau bantal.
Seperti di hari pertama. Aku ikut Uti masuk ke kamar saat Uti selesai kumpul bersama ayah dan kakaknya, melihat pengumuman hasil SBMPTN. Dia menangis sejadi-jadinya. Aku coba mendekatinya, tapi cepat Uti memelukku. Kencang sekali sampai lebih pantas disebut diremas daripada dipeluk. Aku pun memaksa lepas lalu turun dari kasur, tapi kemudian aku malah dilempari selimut olehnya, dilanjut bentakkan yang membuat kuping pengang. Aku susah payah berusaha keluar dari selimut yang menutupi seluruh tubuhku, lalu cepat keluar dan kembali lagi saat Uti sudah tertidur.
Hari ini, setelah selesai dengan buku tulisnya, Uti kembali menjalani rutinitasnya. Lagu sedih mengalun seisi kamar. Membantu Uti hanyut semakin dalam. Seperti biasa, aku sedang menunggu di luar.
Isak tangis sudah tidak terdengar, lagu sedih masih mengalun sampai waktunya nanti mati sendiri setelah Uti yang mengaturnya. Aku pun beranikan diri untuk masuk. Uti sudah tidur dengan sebuah bingkai foto di pelukannya. Sebentar aku menuju meja belajar Uti, melihat sebuah buku tulis yang tadi di bukanya. Di sana tidak ada huruf-huruf yang biasa tertulis. Apalagi angka-angka yang sudah lama tidak disentuhnya. Kertas putih itu diisi oleh tinta pulpen yang menari ke sana ke mari tadi. Membangun sebuah bentuk tidak beraturan. Coretan memenuhi halaman terakhir buku itu.
Aku turun dari meja belajar. Alih beranjak ke ranjang. Iku terlelap di samping Uti. Ikut hanyut di dalam mimpi Uti.
Uti mengajakku jalan-jalan di taman. Dia terus saja jalan, tatapannya kosong. Aku mengikutinya dari belakang.
"Miaw!" Aku mulai bersuara. Minta perhatian.
Uti tidak merespon.
"Miaw! Miaw!" Kali ini lebih heboh lagi.
Uti pun berhenti, kemudian menoleh. "Ito, ada apa?" tanyanya dilanjut dengan berlutut di depanku.
Aku diam sebentar. Menarik napas dalam, dan mulai meyakinkan diri. Ini sudah saatnya aku perbaiki semuanya.
Perlahan, aku mengangkat satu kaki depanku, kemudian kaki depan satunya lagi sampai aku berdiri tegak dengan dua kaki belakang. Aku alih fungsikan dua kaki depan menjadi dua tangan.
"I-Ito?" Uti mulai panik melihat kucing peliharaannya berdiri dengan dua kaki.
"Uti." panggilku.
Uti tambah panik lagi. Kucingnya itu tadi menyebut namanya dengan jelas.
"Uti, Uti, jangan panik. Nanti Uti bisa bangun." Aku berusaha menenangkan.
"Bangun? Apa ini mimpi?" Uti bersiap menampar pipi gembulnya, untuk mengetahui apakah benar ini mimpi atau bukan.
"Eh, Uti. Jangan tampar pipi Uti. Nanti Uti juga bisa bangun."
Uti pun mengurungkan niatnya. Mulai mengatur dirinya, melihat ke arahku, kemudian memanggilku. "I-Ito."
"Iya, Uti."
"Kenapa Ito bisa berdiri?"
"Semua kucing memang bisa berdiri, Uti."
Uti terdiam. Dia tampak Kebingungan. Seperti ada yang salah dengan pertanyaannya. Tapi kemudian Uti abai dan beralih menuju pertanyaan yang baru.
"Kenapa Ito bisa ngomong? Kucing kan enggak ngomong, Ito."
"Kata siapa? Semua kucing juga bisa ngomong Uti. Asal Uti tau, ya, tiap pagi Ito sering ngobrol bareng kucing tetangga. Terus tiap siang, kalau ada kucing yang mau maling ikan di meja makan, Ito suka Introgasi dia."
"Ih, Ito! Maksud Uti itu, kenapa Ito bisa ngomong sama Uti sekarang?"
Aku terkekeh kecil sebentar. Senang sekali bisa mengerjai Uti. Setidaknya ia bisa sejenak melupakan kesedihannya.
"Karena ini mimpi, Uti. Semua hal bisa terjadi di sini."
"Emang iya?"
Aku mengangguk. "Uti buktikan aja sendiri. Tinggal sebut aja sekarang Uti mau apa."
Uti berpikir sejenak. Ia masih merasa aneh—sampai ingin ia menyebut dirinya sendiri gila—kalau terus berdialog dengan kucing.
"Aku mau Ito jadi manusia."
Seberkas cahaya seketika muncul menutupi tubuh mungil kucing kesayangan Uti. Uti sampai melindungi matanya sebab silau. Di dalam cahaya, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Tangan yang bisa menggenggam, dua telinga semuanya pindah ke samping, sepasang sepatu di kaki, lengkap dengan celana dan jas rapih menutupi seluruh tubuh.
Uti mulai membuka mata lagi saat cahaya itu perlahan menghilang. Sudah tidak ada lagi kucing di sana. Kini tampil seorang lelaki tampan dengan setelan jas lengkap. Uti menganga lebar. Matanya ia kedipkan berkali-kali.
"Ito?!"
"Iya, Uti. Kenapa? Aneh, ya?"
Uti tidak merespon perkataanku. Ia malah bangkit berdiri dan langsung memegang seluruh wajahku. Membuka-tutup kelopak mata, mencubit hidung mancung sekali, menaik-turunkan alis mata, menggenggam erat pipi sampai ujung-ujung bibir tertarik saling menjauh. Dia merusak wajah tampanku. "Uti. Sakit, ih."
Uti menghentikan kegiatannya. Ia kembali mundur satu langkah. Dia tersenyum lebar. Senyuman paling lebar yang belum pernah terlihat di wajah manis Uti. Ia mulai mengatur diri.
"Kenapa Ito ganteng?" tanya Uti dingin yang didinginkan.
"Dulu Uti juga pernah mimpi Ito jadi manusia. Uti sendiri yang menggambarkan Ito kayak gini."
"Kapan?"
"Waktu Uti putus sama—" Perkataanku tertahan. Uti dengan cepat menaruh telunjuknya tepat di bibirku.
"Jangan sebut nama itu lagi, Ito! Uti kan udah move on." Uti tarik lagi telunjuknya. Melipat lengannya di depan dada dan berpaling ke arah lain.
Aku terkikik. Dua kali Uti berhasil aku kerjai.
Komentar
Posting Komentar