Hari ini cukup menyenangkan. Aku teringat saat Ayah bertanya padaku di hari lebaran tentang uang tunjangan hari raya.
"Mau dipakai untuk apa?" kata Ayah.
Dengan lancar aku menjawab, "Mau kubelikan sepeda!"
Satu keluarga seketika bereaksi hebat. Aku tidak terlalu mengerti apa alasannya. Tapi memang uangku masih belum cukup untuk dibelikan sepeda. Alhasil hampir semua anggota ikut menyumbang. Katanya sebab sepeda itu juga akan dipakai bersama.
Beberapa hari setelah lebaran, sepeda pun datang. Tapi bukan aku yang pergi membeli. Satu hal yang aku tidak mengerti dengan diriku sendiri di hari lebaran adalah kenapa selalu saja tumbang. Hidung berubah merah, tenggorokan serasa ada yang menyumbat, begitu juga dengan kepala yang amat berat.
Semuanya dimulai lebaran tahun lalu. Selesai Sholat Id aku berada di tengah kerumunan sedang mencari sendal. Di tengah kerumunan itu aku sempat menahan bersin yang akhirnya tidak bisa ditahan lagi. Aku pun bersin di tengah kerumunan. Dalam maskerku menggenang cairan hijau kental menjijikan. Aku tidak bisa bilang apakah itu keberuntungan sebab menggunakan masker atau bukan. Tapi kalau tidak dalam masker, akau tidak tau apa yang akan terjadi. Pakai masker pun aku tidak nyaman sepanjang jalan pulang. Bodohnya, kenapa aku tidak menyekanya saja dengan masker di tengah jalan pulang?
Lebaran tahun ini beda lagi. Perasaan tidak enak itu muncul setelah lebaran. Aku tidak berdaya selama beberapa hari dan tidak keluar rumah sekalipun itu pintu depan.
Sampai mendekati hari masuk kampus lagi, aku tidak sekalipun menyentuh sepeda itu. Baru di dua hari terakhir libur, saat tubuhku sudah membaik, aku baru bisa menjajalnya. Sore hari aku berencana membawanya sampai Lapang Supratman kemudian balik lagi. Tapi sialnya hujan malah turun.
Satu hari terakhir sebelum masuk kuliah barulah aku bersiap menempuh jarak yang lebih jauh lagi. Tepatnya hari ini. Hari ini untuk kesekian kalinya aku pergi jauh seorang diri. Benar-benar sendiri tanpa kenalan atau mengenal org baru di tengah jalan. Aku bersepeda jauh. Rencananya itu adalah latihan sebelum masuk kampus besok. Sebab aku belum terbiasa bersepeda jauh. Terbukti ketika sampai rumah lagi, tubuhku dari tengah ke bawah terasa nyeri. Bahkan berhasil menyebabkan luka juga. Tapi yang namanya luka adalah hadiah dari petualangan. Jadi kuterima saja nyerinya.
Itu adalah pengalaman hebat. Berhari-hari aku berdiskusi dengan diri sendiri apakah aku mampu atau tidak. Tapi kalau belum dicoba memang tidak akan pernah tau jawabannya, ya? Terbukti bahwa aku mampu. Meskipun selama perjalanan menemukan berbagai hambatan. Seperti teguran dari pengguna jalan lain, atau menyebrang jalan saat ada motor lain sedang melaju kencang sambil membunyikan klakson nyaring. Beruntung tidak terjadi apa-apa. Bahkan aku menyebabkan tabrakan kecil dengan pengendara lain sebab tidak benar menarik pedal rem.
Uniknya, yang menegurku adalah pengendara vespa, begitu juga dengan yang kutabrak. Aku benturkan ban depanku dengan bagian belakang vespa itu. Beda lagi dengan yang membunyikan klakson nyaring, itu adalah motor sport.
Hambatan berat datang di perjalanan pulang. Sepertinya sepedaku mengalami masalah. Aku rasakan ada yang tidak benar sewaktu menggayuh pedalnya. Atau terdengar suara samar dari ban belakang. Dan sepertinya ada masalah pada rem-nya juga. Sebab beberapa kali tidak berhenti seperti yang diharapkan.
Tapi tanpa adanya perjalanan itu, aku tidak akan tau kalau sepeda itu masih butuh perbaikan. Bagi Ayah yang merupakan orang awam, saat melihat tampilan sepeda yang baik-baik saja, tentu ia tidak tau soal itu. Langsung beli saja. Beruntung harganya tidak begitu mahal.
Komentar
Posting Komentar