Seorang penjual koran cilik berlari sekencang mungkin menerobos kerumunan orang. Jalanan ramai kendaraan disebranginya tanpa peduli sekitar. Sebuah mobil tetiba mengagetkannya, berhenti tepat di depannya setelah si pengemudi menginjak pedal rem sekuat tenaga. Si pengemudi mobil pun turun dan datang memarahi penjual koran cilik itu. Tidak peduli dengan perkataan si pengemudi mobil, penjual koran cilik cepat kembali berlari setelah ia lihat dua orang berseragam muncul di seberang jalan. Si pengemudi mobil sempat menahan tangannya sebentar, tapi dengan cepat ia menarik kembali tangannya dan terus berlari. Menjauh dari dua orang berseragam dan juga si pegemudi mobil. Sesekali ia menengok ke belakang. Gemuruh klakson kendaraan menggema seisi jalan. Sehabis lelah memarahi penjual koran cilik, rupanya si pengemudi balik dimarahi oleh keramaian. Jelas saja, sebab ia berhenti tepat di tengah jalan.
•••
Aku menutup keras pintu depan. Bulir air mata mulai menghujani wajahku. Aku berlari kencang ke arah jalan raya. Aku capek. Aku lelah dengan semua tuntutan yang diberikan oleh ibu sambungku. Ditambah lagi, ayah yang juga turut mendukungnya. Aku capek dikekang.
Sepeninggal ibu, aku merasa sendirian. Kala ayah meminta restuku untuk menikah lagi, aku tambah yakin kalau aku bukan benar-benar manusia. Kesendirian dan kesepian adalah dua sahabat karib yang setia menemaniku.
Aku berhenti tepat di tengah jalan. Berharap ada sebuah mobil yang datang ke arahku dengan kecepatan tinggi. Kemudian menabrakku dan menyeretku sampai berpuluh-puluh meter jauhnya. Mengantarku ke depan pintu kematian. Mengantarku kembali bertemu ibu.
"Aku kangen Ibu." Kataku, lirih.
Seorang pengendara sepeda motor berteriak ke arahku saat dia lewat. "Minggir! Mau mati, Lo?"
Aku tersenyum. Akhirnya ada orang yang mendukung pilihanku.
Setelahnya, semakin banyak pengendara motor yang lalu-lalang. Melewatiku dan meneriakkan hal yang sama. Aku pun semakin melebarkan senyuman. Senang melihat orang-orang tidak ada lagi yang peduli.
Dalam hati masih berharap kalau istri baru ayah datang menjemput dan membujukku kembali ke rumah. Tapi kemudian aku tersadar. Dari banyaknya keinginan yang aku suarakan, dan selalu ditolak olehnya, mungkin ini adalah keinginan yang bisa ia kabulkan untukku.
Sebuah mobil melaju kencang menerobos lampu merah dan datang tepat ke arahku. Segera aku tutup mata, melebarkan tangan, dan siap memeluk kematian. Dari sana, aku lihat ibu tersenyum lebar ke arahku. Manik matanya meneteskan tangis haru. Aku siap memeluk ibu lagi. Aku siap melepas rinduku pada ibu.
"Awas, Kak. Ada mobil!"
Seorang anak tetiba muncul dari seberang jalan. Berlari ke arahku, menerobos jalanan yang sedikit senggang. Seorang pengendara sepeda motor sempat membunyikan kencang klaksonnya. Anak itu terkejut dan berhenti sebentar. Tapi kemudian ia kembali berlari dan mendorong tubuhku ke pinggir jalan sesaat sebelum mobil gila itu lewat, sampai koran-koran yang dibawanya berhamburan dan berterbangan ke sembarang arah.
"Kakak enggak kenapa-kenapa, kan?" tanya anak itu sembari memunguti koran-korannya.
Aku bangkit bendiri. "Iiihh... Kamu ngapain, sih? Biar aja aku mati. Udah enggak ada gunanya lagi hidup!"
Anak itu menatapku heran. "Kakak bercanda, ya?"
"Bercanda apa? Aku mau mati. Aku mati, aku tenang!"
"Aneh."
Aku mengernyit, tidak paham. "Aneh kenapa?"
"Kakak kelihatannya orang kaya. Masa mau mati gratis? Enggak bisa lebih elite apa? Serangan jantung gitu, kanker, stroke, atau penyakit kronis lainnya. Meninggalnya di rumah sakit. Kan biasanya orang kaya meninggal di sana."
"Eh, malah doain aku penyakitan."
Dua orang berseragam tetiba muncul di seberang jalan. Mereka semakin menancap gas ketika melihat target kejarannya. Sampai tepat di hadapan mereka, di seberang jalan. Mereka mulai jalan cepat, menyebrang jalan asal-asalan. Tidak ada satu pun orang yang mau menabrak mereka, atau meneriaki mereka, apalagi membunyikan klakson panjang sampai membuat kuping pengang.
Saat mereka sampai, tangan anak kecil itu langsung dipengangnya erat. Aku cukup waswas melihatnya. Aku pun spontan bertanya.
"A-ada apa ini, Pak?" tanyaku.
"Dia ini jualan di lampu merah. Keberadaan orang-orang kayak dia hanya akan mengganggu para pengendara." Salah satu dari mereka menjawab.
Aku terdiam sejenak. Melihat ekspresi anak ini membuat hatiku terenyuh. Wajahnya seakan meminta pertolonganku. Jika aku ingat lagi perkatanyaannya, sehina itukah aku kalau soal mati saja masih gratis.
"Apa Bapak pernah melakukan survei atas perkataan Bapak tadi?"
Dua orang berseragam itu terdiam.
"Lagian, Pak. Dia bukan penjual koran jalanan, kok." Aku melihat anak itu sebentar. "Dia itu anak pembantuku. Tadi aku memang menyuruhnya membelikan koran sebanyak ini untuk kebutuhan kerja. Mungkin kebetulan saja dia lewat."
Aku sedikit turun untuk menyesuaikan tinggiku dengan anak ini. Lutut jadi tumpuan.
"Mana korannya?"
Anak itu tampak ragu. Aku berusaha meyakinkan. Perlahan, ia pun memberikan koran yang dibawanya.
"I-ini, Kak."
"Terima kasih, ya." Kataku.
Dua orang berseragam itu saling tatap. Kemudian menatapku dan juga anak itu bergantian.
"Oh, maaf, Mbak. Saya kira dia anak jalanan." Kata salah seorang dari mereka.
Kamu gimana, sih. Jadi malu, kan. Bisik orang berseragam satunya.
Ya, mana saya tau.
Aku berdiri lagi. "Iya tidak apa, Pak."
"Kalau begitu kami pamit, Mbak."
"Sekali lagi maaf, ya, Mbak."
Anak itu pun dilepas begitu saja. Aku menatap manik matanya. Aku baru hendak mengembalikan korannya, tapi tetiba saja ia memelukku erat. Wajahnya masih saja tampak ketakutan.
Dua orang berseragam sudah pergi jauh. Kembali berkumpul bersama timnya. Melanjutkan patroli, dan mencari 'mangsa' baru.
"Terima kasih, Kak."
Aku melepas pelukannya sebentar dan kembali berlutut di depan anak itu. "Kakak yang seharusnya bilang terima kasih. Karena kamu, kakak enggak jadi mati gratis."
Aku tertawa kecil. Anak itu pun perlahan tersenyum dan ikut tertawa juga. Disela tawa, ia memeluku lagi. Aku pun membalas pelukannya dengan hangat.
Dari banyaknya orang lalu-lalang di sekitarku. Dari banyaknya orang mampu dengan segala kesibukan dan hartanya, tidak ada satu pun dari mereka yang peduli. Tapi anak ini, walau dia sedang dalam kejaran aparat, tapi ia sempatkan waktu untuk menyelamatkan nyawa orang. Meski hidupnya yang jadi taruhan.
"Kakak jangan mati gratis, ya. Tunggu waktunya aja." kata anak itu berbisik pelan.
Aku tersenyum. Tidak sadar, mataku mulai berair dan bulir air pun jatuh beriringan membasahi pipi.
"Terima kasih, ya. Kamu anak baik. Tidak seharusnya kamu hidup seperti ini." kataku.
"Tidak apa, Kak. Kalau aku tidak jadi anak jalanan, mungkin kakak tidak bisa aku peluk sekarang."
Anak yang baik. Pandai sekali ia merangkai kata. Padahal mudahnya, kalau dia tidak jadi anak jalanan berarti aku sudah mati ditabrak mobil tadi.
Seorang penjual koran cilik. Hidup di jalanan. Mudah dimaki orang. Sering dikejar orang berseragam. Hidup banyak di bawah tekanan. Darinya aku belajar. Seharusnya aku lebih bersyukur lagi. Bersyukur karena tekanan hidupku hanya datang dari kedua orang tua dan mungkin datang dari diri sendiri juga. Tapi dia, ditekan oleh aparat, dikekang oleh masyarakat, dipaksa bertahan oleh kenyataan.
Komentar
Posting Komentar