Sebagian orang bilang, kalau dunia itu sempit. Alasannya, karena mereka bisa tiba-tiba bertemu orang yang selama ini punya sedikit peluang untuk ditemukan. Tapi bagiku, dunia ini masih terlalu luas. Aku belum bertemu siapa pun seperti yang mereka temukan.
Perihal pertemuan tidak terduga, aku masih tidak percaya itu. Sebab selama ini, segala pertemuan yang aku alami, semuanya sudah dalam rencana dan selalu dalam duga. Apalagi pertemuan tidak terduga yang sampai terjadi berkali-kali. Terlihat sangat mustahil hanya untuk aku seorang.
Sedikitnya peluang akan terjadinya pertemuan itu, tentu buat hidup jadi monoton. Kehilangan kejutan yang dunia kasih. Atau mungkin, aku masih menunggu giliran kapan hal itu akan terjadi padaku. Kalau memang akan terjadi, semoga tidak terjadi untuk waktu yang lama. Biar aku tidak hilang percaya lagi.
"Ha-halo. Andi, ya?"
Aku mengangkat kepalaku yang sedang sibuk menatap laptop tadinya. Duduk di dalam kafe, di pojok ruangan dekat jendela yang langsung menghadap ke jalan.
"Ini Andi, kan?"
"I-iya, saya Andi."
Seorang perempuan tetiba datang. Pakaiannya sangat sopan. Gamis panjang dengan kerudung pashmina hijau toska yang dia kenakan. Menarik kursi yang ada di depanku dan langsung duduk di sana setelah aku menjawab pertanyaannya tadi.
"Eh, Andi. Inget aku, ga?"
"Si-siapa, ya?"
Tampangnya memang tidak asing, tapi aku tidak tau dia siapa. Mungkin aku pernah melihatnya di suatu tempat. Atau mungkin pernah terlibat percakapan dalam sebuah acara. Atau mungkin lagi, kita memang pernah kenal sebelumnya.
"Hih, lupa. Ini aku, Gita."
"Gita... siapa, ya?"
Dia mendengus napas kesal. Aku masih belum tau, atau masih belum ingat kalau pernah tau dia siapa. Tapi satu kesimpulan sudah kutarik. Dia bukan teman kuliahku, sebab Gita yang satu kampus denganku bukan perempuan muslimah seperti perempuan yang ada di depanku sekarang, dia tidak berkerudung. Bukan juga Gita yang tinggal satu komplek denganku, sebab dia adalah anak tetangga yang masih duduk dibangku kelas tiga sekolah dasar.
"Mas!" Dia tetiba saja memanggil pelayan kafe untuk meminta pesanan. Padahal aku masih belum tau dia siapa.
"Iya, Mbak. Mau pesan apa?"
"Coffee Latte satu, ya, Mas."
"Baik. Ada lagi?"
Dia melihat ke arahku. "Di, mau pesan apa?"
"Aku baru aja pesan tadi. Ini lagi nunggu."
"Oh, oke." Pandangannya kembali beralih ke arah pelayan kafe yang masih menunggu apakah ada pesanan lagi atau tidak.
"Sudah itu saja, Mas."
"Baik. Terima kasih, Mbak. Silakan ditunggu."
"Iya."
Sudah selesai urusan dengan pelayan, dia kembali mengajakku bicara.
"Lagi apa, Di?" tanyanya setelah melihat laptop yang cukup memenuhi meja.
"Lagi nulis." Aku kembali terlibat obrolan. Bahkan untuk obrolan yang lebih panjang. Dan aku masih belum tau dia siapa.
"Nulis, apa?"
"Yaa, nulis aja. Cerpen, puisi, senandika, dan sebagainya."
"Kamu masih sama, ya, kayak dulu. Enggak berubah. Masih suka nulis, suka menyendiri, dan—"
Seorang pelayan kafe datang dengan sebuah nampan dan dua gelas minuman dengan dua jenis berbeda di atasnya. Pesananku sudah sampai, tapi kenapa berberbarengan dengan pesanan Gita?
"Dan... masih setia sama Macha Latte."
Si pelayan menaruh dua gelas di meja kami—mejaku—sembari menyebutkan nama minumannya. Pertama, Macha Latte pesananku. Kedua, Coffee Latte pesanan perempuan yang masih belum aku tau dia siapa.
Aku mengambil gelasku, meminumnya sedikit, lalu melanjutkan obrolan.
"Kamu Gita siapa, sih? Aku masih belum tau kamu siapa. Gita teman kampusku tidak berkerudung dan Gita yang tinggal satu komplek denganku itu masih SD. Jadi, Gita siapa?"
"Ini penyebabnya."
"Penyebab apa? Tolong jangan buat aku semakin bingung."
"Andi, kamu lupa satu Gita. Teman satu ekskul mading waktu SMA."
Aku mencoba mengingat lagi. Sudah lama sekali tidak terikat kontak dengan teman-teman SMA. Ketika teman-teman kelas mengadakan reuni saja aku tidak tau. Apalagi teman ekskul entah sudah kemana-mana. Hanya ada nama dan wajah saja yang diingat. Termasuk nama Gita.
"Iya. Memang ada Gita teman ekskul mading di SMA-"
"Nah, itu!" Gita memotong.
"Belum selesai!"
"Oh, maaf."
Aku kembali melanjutkan. "Aku ingat, kabar terakhir kalau dia pindah ke Suraba-"
"Emang sempat pindah ke Surabaya, tapi-"
Aku menarik napas panjang. "Bisa, ga, jangan potong perkataanku terus? Tunggu selesai dulu, bisa, kan? Aku lagi proses mengingat."
"Eh, iya, maaf."
"Sudah dua kali maaf. Satu kali lagi kamu bakal dapat piring cantik."
Gita terpaku. "Eee, silakan dilanjut."
Aku menarik napas lagi. "Dulu Gita pindah ke Surabaya, dan... dulu Gita masih di kuncir kuda. Kalau digerai rambutnya sedikit bergelombang-"
"Iya, itu aku." Gita kembali memotong.
Kali ini aku diam. Tidak protes lagi. Pandanganku langsung terpusat ke wajah Gita. Mengingat lagi apa yang perlu diingat.
"Tapi Gita dulu enggak dikerudung."
"Semua orang, kan, bisa berubah, Di."
"Tapi Gita ada di Surabaya."
"Pernah di Surabaya. Tapi sekarang udah balik lagi ke Bandung."
"Jadi?"
"Jadi, aku Gita. Teman ekskul mading SMA. Sempat pindah ke Surabaya satu tahun dan kuliah di sana. Tapi semester tiga aku keluar dan pindah lagi ke sini karena satu-dua alasan yang enggak bisa aku sebutkan."
Aku mematung. Mencoba mengatur diri. "Gita?"
"Iya, Andi."
"Kamu ke Surabaya itu masuk pesantren?"
Gita berdecak kesal. "Hidayah bisa datang kapan aja, kan? Emang kamu enggak suka aku dikerudung?"
Aku diam.
"Ya, udah aku buka sekarang."
"Eh, jangan!"
"Canda kali, Di."
Aku tertawa kecil dan diakhiri napas lega. "Huh, i-iya. Gapapa. Aku cuma kaget aja."
Aku melihat Gita sebentar, kemudian melipat laptop yang memenuhi meja dan memasukkannya ke dalam tas. Gita benar-benar berubah seratus delapan puluh derajat. Tiga puluh derajat lagi untuk nekatnya yang masih sama.
"Kenapa, Di? Santai aja kali. Gapapa, lanjut aja nulisnya."
"Eh, gapapa. Nanti juga bisa. Sekarang kita ngobrol aja." Aku kembali meminum Matcha latte pesananku.
Baru saja aku berharap giliranku bisa datang tidak untuk waktu yang lama. Menuliskan perihal pertemuan tidak terduga di laptopku tadi. Berbicara soal dunia sempit dan luas. Sekarang, giliranku sudah tiba. Tapi tidak usah secepat ini juga.
Komentar
Posting Komentar