Langsung ke konten utama

Takut Berani

 Aku ingat saat kita sama-sama bertanya, apakah akan tetap bersama atau justru harus mengakhiri kebersamaan.

Waktu pengumuman masuk SMA. Aku diberi dua pilihan, kamu juga begitu. Sayangnya, aku punya pilihan yang berbeda di tempat pertama. Baru di tempat kedua, aku punya pilihan yang sama dengan tempat pertamamu. Aku bukannya tidak mau langsung memilih pilihan yang sama di tempat pertama. Tapi, aku juga perlu memikirkan jarak tempuhnya. Akan dapat masalah besar jika aku jadi murid paling rajin nantinya. Rajin telat.

Satu hari menjelang pengumuman itu, malamnya aku coba buka halaman resmi penerimaan peserta didik baru dan melihat daftar sementara siapa saja yang akan diterima. Aku lihat dulu di tempat pertama, sudah kucoba gulir sampai bawah, namaku hilang. Sepertinya gelar murid paling rajin akan segera aku terima, pikirku. Aku rasa, aku tidak perlu memastikan lagi dengan melihat tempat kedua. Cukup lihat saja apa yang akan terjadi besok. Segera aku tutup halaman itu dan segera pergi tidur.

Besoknya, aku pergi ke sekolah yang aku pilih sebagai tempat pertama. Hasilnya, mungkin berbeda. Namaku yang sudah hilang dalam daftar sementara di halaman itu, rupanya sudah ditemukan. Aku diterima di sekolah ini. Sedangkan kamu, tempat kedua yang aku pilih malah menerima kamu. Artinya, kita tidak bisa lagi sama-sama.

Untungnya ada teknologi yang masih bisa mendekatkan untuk sementara waktu. Tapi yang namanya perpisahan, tetap perpisahan. Kita sama-sama hilang begitu memasuki tahun kedua usai pengumuman itu. Aku yang mulai sibuk dengan hidupku sendiri, begitu juga denganmu. Kita sama-sama mulai menjalani hidup kita masing-masing.

Tidak ada lagi percakapan panjang. Apalagi percakapan tidak jelas yang membahas banyak hal. Percakapan kembali ada hanya ketika aku ataupun kamu punya suatu hal penting yang ingin dibicarakan. Ucapan hari ulang tahun misalnya. Sudah tidak ada lagi cerita.

Hari ini, pikiranku mengajakku untuk berani. Menyuruhku untuk kembali memulai. Menyentakku untuk mengesampingkan ego. Mendorongku untuk mengalahkan gengsi. Biar tidak ada lagi canggung. Biar tidak ada lagi asing. Kalaupun tidak bisa melanjutkan, cobalah untuk berani mengulang semuanya dari awal. Sudah telanjur hilang, telanjur asing. Melemparku untuk mau kenalan lagi.

Tapi, aku tidak tau. Mungkin aku takut. Takut respon yang kuterima nanti justru membuatmu semakin jauh. Sampai aku menulis tulisan ini, keberanian itu belum juga datang.

Komentar

  1. Relate banget sama keadaanku sekarang yang udah jauh banget sama bestie aku dulu waktu jaman SMA :v mau berusaha chat lagi, tapi kitanya udah sibuk dan perlahan jadi asing

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...