Aku ingat saat kita sama-sama bertanya, apakah akan tetap bersama atau justru harus mengakhiri kebersamaan.
Waktu pengumuman masuk SMA. Aku diberi dua pilihan, kamu juga begitu. Sayangnya, aku punya pilihan yang berbeda di tempat pertama. Baru di tempat kedua, aku punya pilihan yang sama dengan tempat pertamamu. Aku bukannya tidak mau langsung memilih pilihan yang sama di tempat pertama. Tapi, aku juga perlu memikirkan jarak tempuhnya. Akan dapat masalah besar jika aku jadi murid paling rajin nantinya. Rajin telat.
Satu hari menjelang pengumuman itu, malamnya aku coba buka halaman resmi penerimaan peserta didik baru dan melihat daftar sementara siapa saja yang akan diterima. Aku lihat dulu di tempat pertama, sudah kucoba gulir sampai bawah, namaku hilang. Sepertinya gelar murid paling rajin akan segera aku terima, pikirku. Aku rasa, aku tidak perlu memastikan lagi dengan melihat tempat kedua. Cukup lihat saja apa yang akan terjadi besok. Segera aku tutup halaman itu dan segera pergi tidur.
Besoknya, aku pergi ke sekolah yang aku pilih sebagai tempat pertama. Hasilnya, mungkin berbeda. Namaku yang sudah hilang dalam daftar sementara di halaman itu, rupanya sudah ditemukan. Aku diterima di sekolah ini. Sedangkan kamu, tempat kedua yang aku pilih malah menerima kamu. Artinya, kita tidak bisa lagi sama-sama.
Untungnya ada teknologi yang masih bisa mendekatkan untuk sementara waktu. Tapi yang namanya perpisahan, tetap perpisahan. Kita sama-sama hilang begitu memasuki tahun kedua usai pengumuman itu. Aku yang mulai sibuk dengan hidupku sendiri, begitu juga denganmu. Kita sama-sama mulai menjalani hidup kita masing-masing.
Tidak ada lagi percakapan panjang. Apalagi percakapan tidak jelas yang membahas banyak hal. Percakapan kembali ada hanya ketika aku ataupun kamu punya suatu hal penting yang ingin dibicarakan. Ucapan hari ulang tahun misalnya. Sudah tidak ada lagi cerita.
Hari ini, pikiranku mengajakku untuk berani. Menyuruhku untuk kembali memulai. Menyentakku untuk mengesampingkan ego. Mendorongku untuk mengalahkan gengsi. Biar tidak ada lagi canggung. Biar tidak ada lagi asing. Kalaupun tidak bisa melanjutkan, cobalah untuk berani mengulang semuanya dari awal. Sudah telanjur hilang, telanjur asing. Melemparku untuk mau kenalan lagi.
Tapi, aku tidak tau. Mungkin aku takut. Takut respon yang kuterima nanti justru membuatmu semakin jauh. Sampai aku menulis tulisan ini, keberanian itu belum juga datang.
Relate banget sama keadaanku sekarang yang udah jauh banget sama bestie aku dulu waktu jaman SMA :v mau berusaha chat lagi, tapi kitanya udah sibuk dan perlahan jadi asing
BalasHapus