Langsung ke konten utama

Perjuangan dan Penantian

 Restoran baru saja buka. Rangga sedang beristirahat sejenak usai bersiap-siap. Selagi menunggu pelanggan datang, Rangga mengambil ponselnya yang sama sekali belum ia buka lagi sedari semalam. Kemarin adalah akhir bulan, jadi Rangga sibuk membuat laporan keuangan bulanan untuk kemudian dilaporkan pada ibunya. Beruntung hasil laporannya baik. Ibu Rangga memujinya. Bahkan penghasilan restoran jauh meningkat dari bulan sebelumnya.

Ada satu kebiasaan yang sering Rangga lakukan beberapa waktu terakhir dengan ponselnya. Meskipun Rangga pernah bercerita kepada para karyawan tentang kekasihnya di Inggris dan mereka menyarankan Rangga untuk lepas dan melupa, tapi tidak mudah bagi Rangga untuk melupakannya begitu saja. Rangga masih kerap mengirim pesan meskipun ia tau bahwa tidak akan mendapatkan balasan. Bahkan ia jadikan ruang obrolan itu seolah buku harian. Rangga akan mengirim pesan setiap kali ada hal menarik yang ia alami.

Kali ini Rangga pun ingin melakukannya lagi, tapi ia dikejutkan oleh sebuah pesan yang dikirim kemarin. Dada Rangga seketika berdegup kencang. Tangannya juga bergetar sampai harus ditopang oleh tangan yang lain. Ketika akhirnya ruang obrolan itu berhasil dibuka dan membaca pesannya, Rangga menutup matanya.

"Tomorrow, I'll go to Indonesia."

Timbul sedikit penyesalan dalam diri Rangga sebab tidak membuka ponselnya sedari semalam. Rangga semakin dibuat terkejut ketika ia membuka matanya lagi dan melihat si pengirim pesan sedang mengetik pesan lanjutan. Sampai pesan itu berhasil diterima, Rangga buru-buru bangkit dan bergegas pergi.

"I just arrived. Give me your address, please."

"I'm on my way to the airport. Please wait for me."

Rangga mengambil kunci mobilnya di ruang belakang. Masuk ke ruang utama restoran, beberapa karyawan bertanya akan pergi ke mana, tapi semuanya Rangga abaikan. Sampai di pintu depan, ia bertemu ibunya yang baru tiba.

"Aku mau ke bandara, Bu."

"Untuk apa kamu ke bandara?" Ibunya bertanya heran.

Rangga hanya tersenyum, menyalami ibunya dan segera pergi mengambil mobil di parkiran. Beruntung jalanan hari ini tidak macet, hanya ramai lancar. Rangga pun bisa segera sampai di bandara tanpa hambatan.

Bandara tampak ramai seperti biasanya. Matahari belum sampai tepat di atas kepala. Panasnya pun masih nyaman menyentuh kulit. Ada banyak orang lalu-lalang keluar-masuk bandara. Ada yang menarik satu koper besar. Ada juga mereka yang membawa koper lebih dari satu dengan gerobak dorong. Ada yang bepergian sendirian, ada yang bergerombol entah bersama keluarga atau teman-teman dan sahabat. Rangga ikut membaur dengan orang-orang di sana. Membawa matanya berkeliaran sana-sini. Kepalanya juga tidak henti menengok ke segala arah, mencari orang yang dicarinya.

"Rangga!"

Satu panggilan seorang perempuan segera mengalihkan perhatian Rangga padanya. Rangga sedikit menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas sosok yang memanggilnya itu. Seorang perempuan berparas Melayu dengan hijab merah dan mantel cokelat panjang selutut melambaikan tangan pada Rangga. 

"Fatimah, apa kabarmu?" tanya Rangga usai dirinya sampai di depan wanita itu.

"Kabarku baik!" Wanita Melayu itu membawa pandangannya menelusuri penampilan Rangga dari ujung kaki sampai kepala. "Rangga tidak banyak berubah, ya? Aku dapat kabar katanya kamu membuka restoran?"

"Itu adalah restoran ayah. Aku hanya bertugas meneruskannya." jawab Rangga. "Aku juga dapat kabar katanya kamu akan tinggal di Inggris lebih lama. Apakah sedang berlibur makanya kamu pulang?"

Fatimah mengangguk. "Betul. Sekaligus mengantar teman juga." kata Fatimah sambil menoleh ke belakang pada seorang wanita lainnya yang sama berhijab.

Rangga hanya mengangguk sekali kemudian ia membawa kembali kepalanya berkeliling. "Apa kamu tau kabar Jennifer? Katanya dia juga dalam perjalanan ke sini. Apa kalian satu pesawat, barangkali?"

Fatimah seketika tersenyum dan mengangguk. "Aku tau betul kabar dia bagaimana. Kami juga satu pesawat."

Rangga menautkan dua alisnya dan tetap melihat sekitar. "Di mana dia sekarang? Aku sudah bilang padanya kalau aku akan datang menjemput."

"Kamu sudah melihatnya dari tadi, Rangga." Fatimah bergeser satu langkah menyamping dan memberi ruang temannya di belakang untuk tampil.

Rangga tidak bisa dengan jelas melihat dia siapa. Wanita itu terus saja menunduk sedari awal ia datang. Ia terus saja bersembunyi dan menyembunyikan wajahnya di balik hijab cokelat yang menutupi kepala. Mantel yang sama dengan Fatimah juga melekat di tubuhnya. Wajahnya baru terlihat dengan jelas ketika akhirnya ia mengangkat kepala.

"How are you, Honey?"

Rangga bergeming. Dari balik hijabnya itu, terungkap sebuah lukisan indah dengan senyuman yang lebih mempesona daripada monalisa. Dada Rangga seketika berdegup kencang. Ini adalah definisi keindahan. Wajah ayu itu tampil dengan rupawan. Matanya indah bersinar, hidungnya amat terjal layaknya seluncuran di bukit es, nuansa Eropa di wajahnya itu membawa kesan baru bagi Rangga dengan balutan hijab sebagai bingkai terluar.

"Is that you, Jennifer?" tanya Rangga.

"There is no Jennifer, Rangga. Dia mengganti namanya." Fatimah yang menjawab.

"Siapa namanya?"

"Kenapa malah bertanya padaku? Tanyakan langsung ke orangnya!" Fatimah tertawa sebentar. "Kalau begitu, aku tinggal kalian berdua, ya? Biar tidak menggangu waktu kalian."

"Terima kasih."

"Jaga dia baik-baik, Rangga. Tidak mudah bagi seseorang untuk berubah, kau tau? Apalagi untuk berubah sebanyak itu." kata Fatimah, kemudian ia beralih pada wanita eropa yang datang bersamanya. "Kalau Rangga ada berbuat macam-macam padamu, langsung laporkan padaku. Biar kupukul dia habis-habisan!" Mata elang Fatimah tajam menusuk mata sayu seorang Rangga.

Wanita Eropa itu hanya mengangguk dan tetap dengan senyuman yang sama.

"Aku akan menjaganya semampuku." kata Rangga.

"Aku pegang omongan kamu, ya!" Itu adalah kalimat terakhir Fatimah sebelum ia pergi.

Kini hanya tersisa Rangga dan wanita Eropa yang sebelumnya dipanggil Jennifer oleh pria bermata sayu itu. Rangga tidak melepaskan perhatian barang sedetik pun dari keindahan pesona seorang bidadari yang dulu ia cintai, sebelum kemudian ia menghilang tanpa kabar.

Rangga tidak pernah benar-benar menaruh kebencian. Ia juga tidak pernah menganggap menghilangnya sosok yang ia cintai sebagai sebuah kepergian. Apa yang Rangga pegang selama ini adalah bahwa dirinya sedang melakukan petak umpet. Rangga menjadikan dirinya sebagai penjaga, dan wanita eropa yang kini berdiri tepat di depannya adalah pemeran utama yang sibuk mencari tempat sembunyi. Rangga tidak pernah berhenti mencari. Ia juga tidak pernah menganggap permainan ini sudah berakhir. Apalagi mengatakan kalau dirinya sudah menyerah. Mengatakan menyerah pun agaknya akan percuma. Permainan ini tentu tidak sesederhana permainan anak-anak, di mana permainan akan berakhir setelah penjaga berhasil menemukan semua pemain, atau dirinya menyerah untuk mencari. Dalam permainan ini, kata menyerah justru melahirkan sebuah makna baru. Hanya ada dua hasil akhir: ditemukan atau hilang selamanya. Kata menyerah hanya akan menjadikan permainan ini tidak bisa dianggap lagi sebagai permainan.

Rangga memang menganggap kehilangan ini sebagai sebuah persembunyian, alih-alih kepergian. Sayangnya ia lupa bahwa ada irisan di antara kata hilang, pergi, dan sembunyi. Rangga ditinggal hilang. Rangga ditinggal pergi. Rangga ditinggal sembunyi. Rangga ditinggal sendirian.

"Siapa namamu?"

Pertanyaan itu seolah mengulang kembali apa yang pernah terjadi. Bagi Rangga, ini memang akan menjadi sebuah petualangan baru dalam mengenal sosok yang dicinta.

"Bilqis Alexander. Aku hanya mengganti nama depanku. Nama belakangnya tetap sama." Wanita Eropa itu tiba-tiba tertawa getir. "Aku tidak mungkin mengganti nama keluargaku, kan?"

Rangga hanya tersenyum.  "Nama yang indah. Begitu juga pemiliknya."

Tawa getir itu kini berubah jadi tertawa malu. "Kamu masih sama saja seperti dulu!"

Rangga pun ikut tertawa. "Ayo kita segera pulang. Kamu pasti lelah setelah perjalanan jauh."

"Sangat melelahkan!"

"Biar aku saja yang membawakan kopermu."

"Terima kasih."

Rangga mempersilakan Bilqis untuk jalan lebih dulu. Wanita Eropa itu tampak lebih anggun lagi dan mempesona dengan hijabnya. Kalau ada yang bertanya hari ini hari apa, maka Rangga akan menjawabnya dengan Hari Paling Bahagia. Pencarian itu tidak berakhir sia-sia. Penantian itu akhirnya berbalas jua. Ruang obrolan yang sempat kelabu dan semu, bahkan Rangga menjadikannya sebagai buku harian sebab hanya ada monolog, kini perlahan kembali berwarna, jadi nyata, dan sayup-sayup akan tercipta kembali dialog-dialog manis yang pernah hilang.

Dalam perjalanan keduanya menuju mobil, Rangga berkata dengan penuh senyuman. "Kamu cantik sekali dalam tampilan barumu, Jenn--Bilqis."

"Aku anggap itu sebagai pujian, walau akhir kalimatnya sedikit menyebalkan."

"Maaf, Jenn--Bilqis." Rangga bahkan sampai melepeh akibat terus terpeleset lidah. "Aku hanya belum terbiasa."

"Aku tidak menyalahkanmu. Aku pun terkadang masih memanggil diriku sendiri dengan nama lama."

Rangga hanya mengangguk. Keduanya pun terus melangkah sampai di depan mobil. Bilqis tidak perlu susah payah untuk masuk ke dalam mobil ketika Rangga datang dan membantunya membukakan pintu. Usai pintu kembali tertutup, Rangga beralih menggapai bagasi, menaruh koper Bilqis di sana, dan segera masuk ke bangku pengemudi.

Suasana dalam mobil berubah hening. Sejak pertama kali mobil itu melaju, tidak ada percakapan lagi sampai mobil Rangga keluar dari bandara. Bilqis duduk nyaman di bangkunya sambil melihat-lihat sekeliling. Rangga pula fokus ke jalanan yang ramai lancar dan tidak bersuara sama sekali kecuali hembusan napas. Sampai ketika mobil berhenti di lampu merah, dialog di antara keduanya baru berputar lagi.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku." Bilqis yang memulai.

"Aku tidak ingat pertanyaan yang mana."

"Apa kabarmu..., Sayang?"

Pipi Rangga seketika memerah dan berubah kikuk. "Ka-kabarku baik!"

Bilqis tertawa sebentar. Kemudian ia menundukkan kepala dan berkata lemah. "Maaf sebab aku tiba-tiba menghilang."

"Aku tidak pernah membencimu. Hanya saja ... tidak mudah menahan rindu, kau tau? Apalagi tanpa kabar sama sekali."

"Maaf." Sekali lagi Bilqis berkata lemah.

 Rangga tidak lagi menanggapi. Lampu sudah berubah hijau. Ia kembali fokus mengemudi.

"Apa kamu tidak mau bertanya kenapa aku menghilang?" Bilqis mengangkat kepala lagi dan membawa pandangannya pada manik mata kekasihnya.

"Apa kamu mau menceritakannya?"

"Aku... tidak tau." Wanita Eropa itu kembali menundukkan kepala.

"Kalau begitu nanti saja sewaktu kamu mau." 

Bilqis hanya bergumam pelan.

"Sewaktu aku melihatmu lagi, Jenn--Bilqis. Aku ingin sekali memelukmu, sungguh. Sebagai upaya melepas kerinduan."

"Ra-rangga?!" Bilqis berseru terkejut. Dari ekor matanya Rangga bisa melihat wajah lucu kekasihnya itu.

Rangga tertawa kecil. "Aku tidak akan melakukannya." Ia pun menarik napas sejenak. "Ini lucu sekali, ya? Padahal dulu aku selalu menolak tiap kali kamu meminta peluk, atau sekadar bergandengan tangan, bahkan hanya untuk bersalaman."

"Tolong jangan ceritakan hal itu. Aku malu mengingatnya."

Sekali lagi Rangga tertawa. "Terima kasih sudah mau berubah, Bilqis."

Bilqis hanya mampu bergumam. Pipinya berubah merah merona.

...

Mobil Rangga sampai di halaman restoran. Restoran tampak masih belum ramai. Halaman resto pun masih lengang. Masih banyak ruang bagi mobil Rangga untuk parkir. Selama perjalanan tadi tidak ada percakapan lagi. Rangga fokus menyetir dan Bilqis hanya melihat-lihat sekeliling. Saat mobil sudah terparkir, Rangga buru-buru turun lebih dulu dan membukakan pintu untuk kekasihnya.

"Terima kasih." Kata Bilqis sambil tersenyum.

Senyuman manis itu pun membuat Rangga turut menyunggingkan senyum.

"Ini restoran ayahku."

Rangga dan Bilqis pun jalan berdampingan menuju restoran. Sekali lagi Rangga membukakan pintu resto untuk seorang wanita Inggris yang ia rindukan selama ini. Kedatangan mereka langsung menarik perhatian para karyawan, juga beberapa pengunjung resto yang hadir. Rangga dengan sigap mencari meja terbaik, menarik kursi untuk Bilqis duduk dan menyalami ibunya ketika wanita paruh baya itu menghampiri mereka.

"Ini siapa?" tanya Ibu Rangga pada anaknya.

Rangga hanya tersenyum.

Bilqis bangkit dari duduknya dan ikut menyalami ibu dari lelaki yang ia cinta. "Saya Bilqis, Bu." katanya dengan suara selembut sutra.

Rangga juga turut menarik kursi untuk ibunya duduk. Barulah ia sendiri duduk di samping Bilqis yang berseberangan dengan ibunya.

Ibu Rangga masih menunggu jawaban dari anaknya. Sedangkan Rangga malah senyum-senyum sendiri. Baru setelah dirinya duduk, ia pun menjawab dengan malu-malu, "Pacar Rangga sewaktu di Inggris, Bu."

Mendapati jawaban itu, barulah Ibu Rangga tersenyum. "Pacarmu cantik sekali, Nak."

Bilqis terus menundukkan kepala usai dirinya menyalami Ibu Rangga. Ia benar-benar gugup, sekaligus tegang. Pertemuan ini sudah seperti persidangan baginya. Ada yang harus ia jelaskan. Ada kerinduan yang harus dibalas tuntas.

"Maaf, Bu." Bilqi bersuara pelan. "Aku tidak tau apakah ibu sudah tau tentangku atau belum, tapi aku ingin sekali meminta maaf sebab sudah meninggalkan Rangga sendirian."

Ibu Rangga menanggapi seruan tulus dari seorang perempuan yang sedang jatuh cinta itu dengan senyuman. "Ibu sudah tau. Rangga sudah menceritakan semua. Ibu harap kamu mau menceritakan semuanya dari sudut pandang kamu dengan baik."

"Tidak perlu dipaksakan, Bu." Rangga berusaha mengurangi ketegangan.

Bilqis mengangkat tangannya setengah dada, sebagai pesan darinya untuk Rangga agar tidak perlu menyangkal apa yang dikatakan ibunya. Melihat itu pun Rangga segera mengerti dan terdiam. Pesan itu pun disampaikan dengan senyuman memenangkan. Seolah apa yang akan terjadi, semuanya dalam kendali dan baik-baik saja.

"Aku tidak tau harus mulai dari mana. Aku harap penampilan aku sekarang bisa memberi ibu sedikit gambaran."

Sekali lagi Ibu Rangga tersenyum. "Kamu tidak perlu takut. Ceritakan saja." katanya dengan suara seolah pelukan yang menghangatkan dan menenangkan.

Bilqis pun jadi berani mengangkat kepalanya dan melihat langsung dengan lebih jelas wajah seorang Ibu yang tersenyum hangat kepadanya.

Ada yang bilang cinta Rangga dan Bilqis adalah sebuah cinta terlarang. Sebabnya adalah perbedaan keyakinan di antara keduanya. Hidup di tanah Eropa tidak lantas menjadikan Rangga lupa dengan agama. Ia selalu ingat pesan ayahnya untuk tidak lupa beribadah, tidak mabuk-mabukan, apalagi sampai terjun ke bergaul and bebas. Pesan utamanya adalah untuk menetapkan batasan sendiri. Seperti ketika harus mengikuti budaya di sana. Maka batasan itu akan berlaku. Bergaul dengan rekan senegara adalah hal yang paling dianjurkan. Kalau bisa bergaul dengan rekan seagama, ibu malah lebih bagus. Batasan itu bukan berarti menjadikan dirinya menutup diri, bahkan tanpa harus menutup diri, sebenarnya sudah lama melakukannya. Rangga adalah seorang pendiam dan pemalu. Sewaktu di negeri sendiri saja ia tidak punya banyak teman. Jangankan untuk bicara soal cinta, dekat dengan perempuan saja ia takut. Termasuk dengan Rita. Makanya dulu ia lebih banyak diam.

Bilqis adalah warga lokal. Lahir dan besar di Inggris. Ia adalah pribadi yang menyenangkan dan gemar bergaul. Apa yang membuat Rangga jatuh cinta adalah sikap Bilqis kepadanya. Bilqis mengingatkan Rangga pada Rita. Semakin lama keduanya saling mengenal, ada perdebatan hebat dalam diri Rangga. Perihal janjinya pada Rita, dan kedekatan dirinya dengan Bilqis saat ini. Sampai akhirnya keputusan itu diambil. Rangga memilih Bilqis. Di antara Rita dan Bilqis memang terdapat kemiripan dalam sikap, tapi Bilqis punya satu keunggulan yang tidak dimiliki oleh Rita. Adalah kejujuran dan keberanian Bilqis dalam mengutarakan isi hatinya. Bilqis tidak segan untuk mengatakan cinta. Berulang kali mencoba lebih dekat dengan Rangga. Mengambil tangan Rangga untuk digandeng walau seringkali ditolak. Atau tiba-tiba memeluk walau dengan cepat Rangga melepaskan diri. Bilqis selalu ingin mengenal Rangga lebih dalam. Selalu membersamai Rangga ke mana pun ia pergi. Makan siang bersama, baca buku di perpustakaan, mengerjakan tugas kuliah, bahkan sampai ikut ke dalam pergaulan Rangga bersama rekan senegara. Di sana lah dirinya mendapatkan banyak kenalan baru, Fatimah adalah salah satunya yang kemudian jadi teman teman dekat bahkan sahabat. Lambat-laun Bilqis mulai mengenal. Ia juga perlahan mulai mengerti. Ada dinding yang amat tinggi dan kokoh bukan main untuk dirinya bisa bersama Rangga. Bukannya menyerah apalagi berontak, Bilqis perlahan mulai belajar.

"Apakah aku adalah alasan kamu untuk berubah?" tanya Rangga.

Bilqis terdiam sebentar. "Pada awalnya iya. Tapi Fatimah bilang, agama itu harus datang dari hati. Bukan sebab orang lain, atau pengaruh orang lain."

Ada pergolakkan besar dalam diri Bilqis perihal keimanan. Lama bergaul dengan Rangga dan kawan-kawan senegara menimbulkan sebuah perasaan menenangkan dan menyenangkan. Rangga dan kawan senegara selalu bersikap ramah, tidak pernah membedakan, atau memaksakan dirinya untuk turut serta. Pernah kali pertama ia ingin ikut berpuasa, Rangga justru bertanya berulang kali dan bilang tidak usah dipaksakan. Begitu juga dengan yang lain. Tapi Bilqis menjawabnya dengan keyakinan penuh. Ia akan ikut berpuasa sehari penuh. Petualangan itu dimulai dengan dirinya menginap di tempat Fatimah. Dalam rangkaian ibadah puasa, seseorang biasanya akan makan sahur sebelum fajar. Makanya Fatimah mengajak Bilqis untuk menginap di tempatnya agar dirinya tidak kesiangan makan sahur. Atau Bilqis akan merasa lapar sehari penuh sebab sedang puasa, apalagi puasa pertama dalam hidupnya.

Keramahan Rangga dan rekan-rekan senegara terus diterima oleh Bilqis. Mereka selalu bertanya padanya apakah masih kuat atau ingin berhenti. Meski dengan tenggorakan kering dan perut keroncongan, Bilqis tetap menjawabnya dengan semangat penuh. "Aku masih kuat! Aku tidak akan menyerah!" Hal itu pun sontak mengundang sorak sorai Rangga dan rekan-rekan senegara bahkan disertai tepuk tangan meriah.

Puncak petualangan itu adalah ketika matahari sempurna tenggelam di cakrawala. Rangga dan rekan-rekan senegara semuanya berkumpul di masjid. Ini bukanlah kali pertama Bilqis datang ke sini. Ia sudah cukup sering datang dan makan bersama. Tapi kali ini adalah spesial. Makanan yang dibagikan untuk orang-orang berpuasa jadi terasa begitu nikmat. Air putih yang sama yang selalu diminum Bilqis sebelumnya hari itu berubah jadi minuman paling menyegarkan sejagat raya. Sorak-sorai kegembiraan itu kembali. Bilqis berhasil melewati semuanya dengan susah payah. Petualangan itu berakhir menyenangkan. Hati Bilqis merasakan ketenangan.

Semakin banyak Bilqis bergaul dengan Rangga dan rekan senegara, semakin sering juga dirinya ikut terlibat dengan semua kegiatan mereka. Saat itu, Bilqis masih belum memilih, tapi mereka semua selalu menerima Bilqis dengan tangan terbuka dan tanpa paksaan. Keikutsertaan Bilqis juga selalu atas keinginan sendiri. Sampai satu hari dirinya iseng bertanya pada Rangga perihal pilihannya. Rangga hanya tersenyum dan berucap senang. Respon berbeda ketika Bilqis mengakui pilihannya pada Fatimah. Fatimah juga turut senang, tapi disertai nasehat agar Bilqis meluruskan kembali niatnya, bukan karena Rangga, tapi harus atas nama agama.

"Sewaktu kamu terpaksa kembali ke tanah air, dari sana lah aku mulai belajar lebih dalam. Meluruskan niat seperti apa yang dikatakan Fatimah."

"Kenapa tidak memberi kabar?"

"Aku takut niatku tidak benar-benar lurus sebab selalu terbayang tentangmu. Aku minta maaf untuk itu."

Proses Bilqis meluruskan niat berhasil menemukan titik terang. Fatimah membawa Bilqis ke tempatnya untuk memberinya hijab dan di sanalah kali pertama Bilqis tampil dengan wajah baru. Keduanya kemudian beralih menuju masjid. Selanjutnya adalah prosesi paling sakral. Bilqis perlahan mengikuti apa yang diucapkan oleh ustad di sana. Ucapan syukur menguar di sekeliling mereka setelah Bilqis habis mengucapkan kalimatnya. Di hari yang sama, Bilqis juga berganti nama. Bilqis adalah nama yang diusulkan oleh Fatimah. Kali pertama Bilqis mendengar nama itu, ia pun langsung jatuh cinta. Fatimah membawanya ke dalam pelukan. Tangis haru merasuki tubuh wanita Melayu itu. Bilqis hanya mampu tersenyum. Titik air juga perlahan menetes sampai ke pipi. Ia juga tidak lupa untuk mengucap syukur atas pilihannya.

"Aku pikir semuanya akan baik-baik saja. Tidak sampai aku pulang ke rumah, bertemu orang tua dan keluar dalam tampilan baru." Bilqis berkata lemah. "Mereka ternyata tidak terima dengan pilihanku. Aku dihardik, dimaki, dan diusir dari rumah."

"Itu pasti berat sekali untukmu." Ibu Rangga ikut menanggapi.

"Tidak apa-apa, Bu. Aku sudah yakin dengan apa yang aku pilih. Aku tidak akan pernah berubah pikiran. Sebenarnya Fatimah terkadang mengingatkan perihal keluarga, tapi aku selalu menjawabnya dengan tenang. Aku benar-benar tidak mengira kalau respon keluargaku akan seperti itu."

"Terima kasih sudah mau berubah, Bilqis."

Tembok tinggi itu, kini sudah tidak ada lagi. Satu penghalang paling menyulitkan kini berhasil dilewati; Bilqis yang melewatinya. Tidak ada lagi cinta terlarang. Ini juga buah dari kesabaran Rangga dalam menahan rindu. Wanita yang dicintainya, kini hadir kembali di hadapannya. Dalam senyum yang sama, sorot mata yang sama, tapi dalam tampilan yang berbeda.

"Kalau sudah begini, apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?" tanya Ibu Rangga.

Rangga tersenyum lebar. Matanya juga berbinar. Ia mengalihkan pandangan pada Bilqis yang juga ikut melihat ke arahnya usai mendapatkan pertanyaan itu. "Aku ingin kami menikah." kata Rangga. "Maukah kamu menikah denganku, Bilqis Alexander?"

Pipi Bilqis berubah merah merona. Dari sudut matanya menetes air mata bahagia. Ia pun menjawabnya dengan anggukan kepala.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...