Lanjutan dari "Kapsul Waktu."
Rita kembali ceria. Seorang laki-laki berhasil membuatnya tersenyum lagi. Seorang laki-laki yang selalu sabar tiap kali Rita cerita, bahkan cerita soal Rangga. Tidak mudah untuk membuat Rita jatuh cinta. Apalagi ingatan soal Rangga yang masih seringkali hadir di kepala. Tapi laki-laki itu berhasil. Rita berhasil jatuh cinta lagi. Bahkan bulan lalu mereka baru saja melangsungkan janji suci setelah dua tahun saling mengenal.
"Aku lapar, Mas. Makan, yuk?" kata Rita.
Pria di samping Rita tidak langsung menjawab. Sambil tetap fokus menyetir, dia coba untuk melihat sekitar untuk tau posisi mereka sekarang. Pria itu pun mengangguk kemudian. "Ayo. Kebetulan juga aku pernah lewat daerah ini dan makan di salah satu restoran di sini. Makanannya benar-benar enak!"
Tiga tahun sudah Rita ditinggal Rangga pergi, jadi tujuh tahun kalau ditambah waktu Rita menunggu jawaban Rangga, selama itu juga Rita tidak pernah bertemu Rangga lagi. Setelah waktu yang panjang itu Rita akhirnya bisa tersenyum lagi dan hidup bahagia bersama keluarga barunya. Rita seolah baru saja menemukan dirinya sendiri yang sudah lama hilang. Tidak ada lagi Rita yang pemurung, Rita yang lebih gemar sendiri, Rita yang selalu mendengarkan lagu galau setiap malam. Rita menjauh dari teman-temannya. Rita mengambil beasiswa S2 ke luar negeri, bukan untuk mengejar Rangga, itu terlalu menyakitkan, melainkan untuk mengasingkan diri.
Satu tahun Rita hidup susah payah. Rita seolah abai dengan pendidikan dan lupa dengan tujuan utamanya pergi ke luar negeri. Berulang kali ditegur dosen, teman juga tidak ada, pernah ada tapi hanya mereka yang mengaku teman, bahkan terancam dikeluarkan dan dicabut beasiswanya sebab nilai yang terus menurun. Masuk tahun kedua, seolah pahlawan kesiangan, pria yang kini jadi suami Rita datang menyelamatkan Rita dari kehancuran. Bukan hanya membuat Rita bertahan, tapi juga berhasil menjadikan Rita dalam versi terbaiknya. Rita memanggilnya Mas Dimas.
Mobil Dimas berbelok kanan di perempatan terakhir sebelum sampai di restoran yang dimaksud. Rita membatu saat baru turun dari mobil. Langkahnya pun tertahan. Matanya bahkan nyaris tidak berkedip. Seolah melihat hantu, mata Rita menangkap sosok yang lebih menyeramkan daripada itu. Dalam restoran itu, Rita sekilas melihat Rangga. Tapi buru-buru Rita menggelengkan kepala.
"Kamu kenapa, Sayang?" Dimas bertanya cemas. Rita dalam gandengannya, jadi ia ikut berhenti ketika Rita menahan langkahnya.
"Aku tidak apa-apa." jawab Rita. Tadinya Rita tidak mau ambil pusing perihal apa yang baru saja ia lihat. Tapi lebih baik baginya untuk menghindari masalah. "Kita makan di tempat lain aja, ya? Aku tau tempat lain yang lebih enak!"
"Memangnya kenapa kalau di sini? Apa kamu pernah ke sini juga?"
Rita menggeleng.
Dimas membawa Rita melaju lagi. "Makanan di sini itu enak semua. Tempatnya juga nyaman. Kamu harus coba, Sayang!"
Rita hanya bisa pasrah. Dua kakinya juga seolah tidak mau menurut apa kata hati. Hati Rita bilang ini adalah tempat berbahaya. Bahkan pikiran Rita punya alarm yang lebih berisik lagi. Tapi semua alarm itu seolah tidak berarti di depan suami Rita.
Lonceng berbunyi sewaktu Dimas membuka pintu resto. Ia pun segera membawa matanya berkeliling dan mencari tempat untuk mereka duduk. Rita kembali pasrah ketika dirinya ditarik lagi. Sampai ketika Rita duduk, cemas itu berhasil mencapai puncak. Rita kembali menemukan sosok Rangga dan kali ini lebih jelas lagi. Mata Rita tidak bisa lepas dari Rangga, seolah ada banyak hal yang ingin disampaikan. Tapi buru-buru Rita memejamkan matanya.
Dimas melihatnya. Rita memejamkan mata kuat-kuat sampai ada banyak kerutan di antara dua matanya. "Ada apa, Sayang?"
Rita ragu-ragu. Kecuali hati dan pikirannya, seolah seluruh tubuh Rita tidak mau menurut. Lidah dengan mudahnya menerjemahkan apa yang ada di kepala Rita. "Ada Rangga!" kata Rita sambil membuka mata dan menatap wajah suaminya.
Dimas segera mengikuti arah pandangan Rita sebelumnya sampai ia menemukan seorang pria yang sama yang pernah ia temui dulu di sini. Bahkan dulu keduanya sempat bicara banyak perihal pengalaman masing-masing selama kuliah di luar negeri. Tapi Dimas segera mengerti. "Apa kita pindah resto--"
Kalimat Dimas terpotong ketika seorang pelayan datang ke mejanya untuk mendapatkan pesanan.
"Tidak apa-apa, Mas. Di sini saja." kata Rita. Kemudian ia bangkit berdiri sambil tersenyum ke arah pelayan. "Aku mau ke toilet dulu, ya?" ijin Rita pada suaminya.
Dimas pun mengangguk dan menerima daftar menu yang disodorkan pelayan. Selesai dengan pesanannya, Dimas sejenak menawarkan perbincangan. "Apakah orang itu adalah pemilik resto ini?" tanya Dimas sambil mengarahkan pandangan pada seorang pria berkemeja yang sedang berbicara dengan beberapa karyawan.
Pelayan itu mengangguk. "Apakah masnya ada perlu dengan Pak Rangga?"
"Rangga, ya?" Dimas bergumam pelan kemudian tersenyum. "Iya. Boleh tolong panggilkan?"
"Baik, Mas. Ditunggu pesanannya, ya."
Pelayan itu pamit dengan ramah. Dimas tidak melepas perhatiannya dari pelayan itu sampai ia berhenti menghadap Rangga dan bercakap sebentar sebelum beralih ke meja lain. Kini perhatian Dimas sepenuhnya ada pada Rangga ketika pria itu datang mendekat.
"Sepertinya wajah anda tidak asing. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Rangga.
"Dulu saya pernah makan di sini. Kita juga pernah bertukar pengalaman kuliah di luar negeri."
"Oh, saya ingat itu. Senang bertemu denganmu lagi."
"Saya tidak mengira bahwa anda adalah orang yang bernama Rangga."
"Oh, maaf saya lupa memperkenalkan diri. Betul sekali, saya adalah Rangga. Anda siapa?"
"Saya adalah suaminya Rita."
Rangga bergeming. Mulutnya seketika kaku.
"Rita sering sekali bercerita tentang anda, bagaimana anda pergi meninggalkannya untuk cinta seorang gadis Inggris."
Rangga baru saja ingin membuka mulutnya, tapi Dimas tidak memberinya celah sama sekali. Kalimat Dimas terus berlanjut.
"Apakah anda tau bagaimana kacaunya Rita setelah anda pergi? Saya benar-benar tidak mengira bahwa pria yang saya temui sebelumnya ada orang yang pernah membuat istri saya menderita."
"Sa-saya--" Sekali lagi Rangga ingin berucap, tapi kembali patah ketika Dimas memutus kalimatnya.
"Lalu mengapa anda kembali? Di mana gadis Inggris yang anda cintai itu?" Dimas selesai dengan kalimatnya sambil memainkan dua jarinya saat menyebutkan kata 'cintai.'
Kali ini Rangga menutup mulutnya rapat-rapat. Wajah ramahnya sebagai penerima tamu kini berubah masam. Dia bahkan tidak menanggapi sama sekali apa yang diucapkan Dimas dan segera beranjak pergi. "Silakan ditunggu makanannya."
Selagi dua pria bersitegang di ruangan resto, Rita mendapatkan kejutan ketika dirinya sampai di muka toilet. Seorang wanita paruh baya sedang bercermin di depan wastafel. Wanita itu segera mengalihkan perhatiannya ketika seseorang datang lewat pantulan cermin.
"Apakah itu kamu, Rita?" tanyanya sambil berbalik dan menatap langsung seorang wanita muda yang cantik nan rupawan.
Rita berusaha untuk tersenyum. Tapi yang mampu ia tampilkan hanya senyum getir. "I-iya, Tante. Saya Rita."
Sejak dirinya turun dari mobil, sampai Rita duduk di meja resto, dan kini pertemuan tidak terduga di toilet, kepala Rita tidak pernah berhenti berisik. Bukan hanya sebab kehadiran Rangga, tapi juga Ibu Rangga yang kini ada tepat di depannya.
"Kamu tampak cantik sekali, Nak. Apa kamu datang sendirian?"
"Saya datang bareng suami, Tante."
"Oh, kamu sudah menikah? Sejak kapan?"
"Satu bulan lalu."
"Oh baru satu bulan. Tapi kenapa kamu tidak mengundang Tante?"
Sekali lagi Rita tersenyum getir. "Ada banyak sekali undangan, Tante. Maaf saya lupa mengundang. Lagipula saya tidak tau alamat tante di mana." kata Rita sambil memaksakan tertawa di akhir kalimatnya.
Ibu Rangga pun ikut tertawa. "Iya, tidak apa-apa kalau begitu keadaannya. Salah Tante juga memang sering berpindah-pindah sebab banyak hal yang terjadi."
Rita hanya mengangguk kecil. "Tante sendiri apa kabar?"
"Kabar Tante baik. Apa kamu sudah bertemu Rangga? Sekarang dia jadi pemilik resto ini setelah ayahnya Rangga, suami tante juga, meninggal dunia setahun lalu."
"Om meninggal, Tante? Maaf Rita tidak tahu."
"Tidak apa-apa. Kamu doakan saja agar Om tenang di alam sana, ya?"
"Baik, Tante."
Pada akhirnya Rita hanya mencuci tangan dan bercermin sebentar sebelum kembali ke ruang resto bersama Ibu Rangga. Sewaktu mereka kembali saat itu juga Rangga baru beranjak dari meja Dimas. Rita dan Ibu Rangga pun segera menuju meja Dimas dan bercakap satu sama lain.
"Ini suami Rita, Tante." kata Rita memperkenalkan Dimas pada Ibu Rangga.
Dimas pun mengulurkan tangannya lebih dulu dengan sopan. "Saya Dimas. Suami Rita."
"Pandai sekali kamu memilih suami, Rita. Bukan hanya tampan tapi juga tau sopan santun." kata Ibu Rangga. "Saya Ibunya Rangga pemilik resto ini."
Dimas pun mempersilakan keduanya duduk. Ada empat kursi di meja itu dengan dua kursi saling berhadapan satu sama lain. Rita duduk di samping Dimas dan Ibu Rangga di sisi yang lain.
"Tadi Tante sempat melihat kamu sedang bercakap dengan anak saya."
"Iya, Tante. Tadi kami memang sempat berdialog sedikit."
"Apa yang kalian bicarakan, Mas?" tanya Rita.
"Tidak banyak. Hanya bicara soal menu-menu di sini." Dimas beralih pada Ibu Rangga. "Saya pernah makan di sini sebelumnya, Tante. Makanya saya ajak Rita untuk makan di sini sebab makanannya yang enak."
"Wah, terima kasih sudah mau makan di sini lagi."
"Setahu saya dulu pemilik resto ini adalah seorang pria paruh baya, tapi katanya waktu itu sedang sakit. Sekarang bagaimana kabarnya, Tante?"
"Iya betul. Dulu resto ini adalah milik suami saya. Sempat sakit juga sebelum akhirnya meninggal dunia setahun lalu."
Dimas mengangguk sekali. "Semoga beliau tenang di alam sana, ya, Tante."
"Amin. Terima kasih, ya."
"Iya, Tante, sama-sama."
Ibu Rangga sejenak berbalik, melihat anaknya yang sibuk bekerja mengatur para pelayan dan memberi arahan dari balik meja kasir. Sebelum kemudian kembali pada Dimas. "Tadi saya sepertinya melihat kalian sedang bersitegang. Apa ada hal lain yang kalian bicarakan?"
Dimas tidak bisa berbohong lagi. Ia melihat Rita yang hanya menundukkan kepala sedari tadi. "Tidak apa-apa, Tante. Saya hanya bertanya beberapa hal. Saya sedikit-banyak tau tentang anak ibu dari Rita, jadi saya bertanya perihal hubungannya dengan Rita dulu, juga kepergiannya ke Inggris dan hubungannya dengan gadis lokal di sana."
Ibu Rangga pun menarik napasnya. "Ternyata itu sebabnya. Pantas saja dia seperti sedang emosi."
"Memangnya kenapa, Tante? Apa saya ada salah bertanya?"
"Tidak sama sekali, tapi pertanyaan terakhir memang sensitif sekali untuk Rangga." Dalam satu tarikan napas, Ibu Rangga memulai ceritanya.
Rangga memang sempat jatuh cinta dengan seorang gadis Inggris. Sewaktu ia kembali setelah lulus S1 dan bercerita pada ibunya tentang kekasihnya itu, kabar itu menjadi kejutan besar. Rangga adalah anak yang pendiam, payah sekali dalam bergaul, mendengarnya mendapatkan kekasih, benar-benar membuat ibunya terkejut sekaligus senang. Seperti sewaktu Rangga membawa Rita ke rumah dan berkenalan dengan ibunya, Ibu Rangga seolah tidak percaya.
"Kamu pernah datang ke rumahnya, Sayang?" tanya Dimas memotong cerita Ibu Rangga.
"Aku datang untuk tugas kelompok, Mas. Lagipula waktu itu ada banyak teman yang lain, kok."
"Tapi kalian datang berboncengan." Ibu Rangga ikut ke dalam dialog pengantin baru di depannya. Ini jelas hanya sebuah godaan.
"Benar begitu, Sayang?" Dimas segera meminta keterangan.
"Tante, ih!" Rita berusaha membela diri. "Itu hanya cerita lama, Mas."
Ibu Rangga tertawa. Dimas hanya membulatkan mulutnya seolah ikut bergabung ke dalam siasat Ibu Rangga untuk menggoda Rita. Wajah istrinya itu pun berubah masam.
"Maaf memotong ceritanya, Tante. Silakan dilanjut lagi."
Rangga hanya pulang beberapa waktu sebelum kembali lagi ke Inggris untuk melanjutkan S2 di sana. Sayangnya belum sampai satu tahun Rangga pergi, ia terpaksa pulang setelah mendapat kabar kalau ayahnya sakit. Kepulangan Rangga pun bukan hanya untuk menjaga dan merawat ayahnya yang sakit, tapi juga ikut mengurus restoran milik ayahnya yang kehilangan komando.
Sejak Rangga pulang, ia tidak lagi sempat untuk kembali ke Inggris. Rangga juga sudah melepas pendidikannya di sana dan fokus menjaga ayahnya. Walau sebenarnya bukan keputusan mudah bagi Rangga untuk pulang. Bukan hanya soal pendidikan, tapi juga soal kekasihnya. Bahkan ia sempat berdebat hebat dengan kekasihnya sebab tidak bisa menjawab kapan akan kembali. Selama perjalanan pulang, Rangga terus mencoba untuk bertukar kabar, tapi pesannya sama sekali tidak mendapat balasan, bahkan dibaca pun tidak oleh kekasihnya itu.
Selama beberapa waktu Rangga tetap memberi kabar pada kekasihnya walau hasilnya tetap sama. Sampai akhirnya ia berusaha untuk melupa setelah curhat dengan para karyawan. "Tidak ada jawaban sebenarnya adalah sebuah jawaban. Sudah tinggalkan saja dan lupakan." Nasehat dari para karyawan itulah yang menjadikan Rangga untuk memutuskan demikian.
Pernah ada satu kesempatan Rangga untuk kembali ke Inggris dan mencari kekasihnya yang hilang kabar. Tapi pencariannya nihil. Rangga pun kembali ke tanah air dengan tangan kosong dan putus asa.
Rangga semakin terpuruk ketika kondisi ayahnya semakin kritis dan akhirnya meninggal dunia. Tidak ada yang bisa menolongnya saat itu sebab semua keluarga sedang berduka. Restoran juga tutup sebab pemimpin tertingginya telah pergi. Para karyawan jadi cemas sebab tidak lagi bekerja. Mereka pun datang membujuk Rangga untuk mengambil alih singgasana yang kosong. Mereka juga sempat datang pada Ibu Rangga, tapi dirinya menolak sebab hak waris posisi tertinggi di restoran adalah milik Rangga. Ibu Rangga akan mengambil peran sebagai penasehat raja.
Apakah Rangga sudah lupa soal Rita? Rangga sama sekali tidak lupa. Tapi Rangga sadar diri. Dialah yang meninggalkan Rita, pantang baginya untuk meminta Rita kembali. Pertemuannya dengan Dimas hari itu tidak pernah ada membahas soal Rita. Hanya ada percakapan antara pelanggan dan pemilik resto, dan dua pelajar diaspora.
"Beruntung Rangga masih bisa bangkit berkat dorongan dan desakan dari para karyawan. Makanya resto ini masih bisa beroperasi sampai sekarang." Ibu Rangga mengakhiri ceritanya.
Seorang pelayan datang membawa pesanan Dimas. Dua piring makanan dan dua gelas minuman disajikan di atas meja sambil menyebutkan nama hidangannya.
"Kalau begitu Tante ingin menemui Rangga dulu. Kalian selamat menikmati makanannya, ya!"
Wow.. cerpen ini relate sama kisahku, apalagi di kalimat yang "Tidak ada jawaban juga sebenernya adalah jawaban" bener-bener nampar sih biar ga usah kepikiran lagi 🧍🏻♀️ Terus pas tiba-tiba dia ketemu Rangga lagi aku kerasa deg-degan juga wkwkw. Keren cerpennya, aku suka! 😆
BalasHapusHmmmmm jadi si Rangga pernah suka sama Rita, tapi udah terlambat gitu?? Atau emang dari awal si Rangga emang ga ada perasaan sama si rita??
BalasHapus