Berawal dari puisi dan curahan hati, aku jadi menjelajah lebih jauh dalam menuliskan cerita, bahkan beralih dengan lebih sering membuat imajinasi jadi lebih nyata dengan membaca.
Menjadi penulis cerita fiksi bukanlah satu hal yang mudah. Apalagi hidup di tengah-tengah lingkungan yang asing dan tidak mau tau dan mengenal sendiri apa itu fiksi dan imajinasi. Mereka pikir semuanya pakai logika, padahal logika mereka sendiri tidak pernah sampai.
"Cerita fiksi adalah sebuah kebohongan."
Aku setuju dan tidak menolak. Bagiku selama tidak merugikan dan membawa ketenangan dan kedamaian, maka tidak apa-apa untuk membuat cerita bohong. Seperti halnya Ibu yang bilang tidak lapar saat anaknya makan. Atau seorang ayah yang bilang tidak lelah sewaktu diajak bermain oleh anak sepulang kerja. Mungkin juga seorang kakak yang mengaku salah untuk menutupi kesalahan adiknya agar tidak kena marah ayah-ibu. Aku tidak bilang ini baik, tapi bukan merupakan masalah besar.
Lingkungan yang tidak mendukung menjadikan diri kehilangan dukungannya sendiri. Menjadi pesimis, mudah menyerah, tidak percaya diri, bahkan menyalahkan diri sendiri sebab dianggap melakukan sebuah kesia-siaan.
Katanya ilmu pengetahuan hanya bisa didapat dalam buku pelajaran. Padahal pernah membaca bukunya saja tidak. Atau mungkin pernah, tapi akhirnya mengeluh sendiri sebab tidak mengerti. Fiksi adalah omong kosong. Imajinasi adalah ketidakwarasan.
Bagaimana orang-orang dulu bisa berpikir bahwa komunikasi jarak jauh sangat bisa terjadi, atau bahkan disertai gambar dan bergerak serta berwarna. Apa sebabnya manusia berpikir bisa terbang seperti burung? Atau berlayar mengarungi lautan seperti ikan-ikan? Apa yang bisa dilakukan manusia tanpa adanya imajinasi?
Semua teknologi yang ada di masa kini semuanya berawal dari imajinasi; pengandaian, yang kemudian berkerja sama dengan data dan daya pikir. Sayangnya imajinasi seringkali tidak dianggap.
Makanya aku masih tetap menulis walau berat dan penuh kekhawatiran.
Komentar
Posting Komentar