Aku punya masalah dengan tidur. Benar-benar masalah. Bahkan selama kuliah, segalanya serba terbalik. Aku bisa terjaga sepanjang malam, tapi amat mengantuk di siang hari, termasuk dalam kelas. Masalah tidur ini terus ada. Terus-menerus sampai aku bersiap pergi untuk KKN.
Aku pergi bersama empat orang lainnya. Menuju sebuah desa di kaki gunung. Sebenarnya, tidak ada masalah selama kegiatan KKN. Semuanya lancar. Kalaupun bicara soal masalah, maka masalahnya masih sama. Adalah aku yang terus terjaga sepanjang malam. Memang beberapa kali aku ditemani oleh petugas ronda di desa, tapi aku masih lebih suka menyendiri.
Aku lebih suka menghabiskan waktu sendiri. Menyelusuri jalanan kampung malam-malam. Mendengar nyanyian serangga. Atau mendengar gemericik air di dekat sungai. Aku juga suka sekali melihat langit. Kadang-kadang aku juga suka merenung dan melamun melihat pepohonan.
Pada awalnya memang menyenangkan. Tapi kalau setiap malam aku habiskan waktu sendirian dengan kegiatan yang selalu sama, maka lama-lama aku merasa bosan juga. Aku pun mencoba untuk tidur. Aku rebahkan diri di atas ranjang. Dalam berbagai posisi. Terlentang. Tengkurap. Menyamping kanan. Menyamping kiri. Atau posisi duduk. Bersandar di dinding. Bahkan pernah aku coba untuk tidur di pos ronda. Tapi hasilnya masih sama. Mataku berat sekali untuk terpejam.
Sampai satu hari, kepala desa mengajakku untuk mendaki dan berkemah. Ternyata kepala desa tahu tentang masalahku. Dirinya mengaku kerap kali menangkap basah aku yang tengah termenung di tengah malam. Atau jalan-jalan di jalanan kampung sendirian menjelang pagi. Katanya pendakian itu sebagai rekreasi sejenak. Sebenarnya teman-teman yang lain juga diajak, tapi mereka semuanya dengan kompak menolak.
Aku pun pergi di sore hari. Peserta pendakian ini adalah aku, kepala desa, dan lima orang pemuda desa yang kata kepala desa juga sama-sama susah tidur. Entah sebuah kebetulan atau memang sudah direncanakan, sebab aku mulai menaruh curiga pada kepala desa ketika mendapati penolakan dari teman-teman. Aku berhasil menangkap mata ketika kepala desa mengacungkan jempol secara sembunyi-sembunyi setelah penolakan itu. Tapi aku berusaha untuk tetap ikut dalam pendakian.
Kata kepala desa, perjalanan ini tidak akan sampai puncak. Cukup sampai di tanah datar dekat tebing yang cocok untuk berkemah. Tidak terlalu tinggi, tapi juga merupakan spot yang bagus untuk melihat matahari terbit. Iya, matahari terbit. Sebab matahari terbenam sudah terlewat sewaktu kami masih dalam pendakian.
Sesampainya di tempat berkemah, masing-masing orang langsung membangun tenda masing-masing. Semuanya, kecuali kepala desa. Beliau sibuk sendiri kesana-kemari mencari kayu bakar. Saat semua tenda sudah berdiri, api unggun juga sudah menyala, agenda berikutnya adalah makan malam.
Agenda utamanya adalah usai makan malam. Kepala desa menyebutnya Pesta Sebelum Tidur. Berdasarkan keterangan Kepala Desa, katanya pesta ini dianggap sebagai ritual penyembuhan. Maksudnya adalah sebagai upaya untuk membantu mereka yang susah tidur. Mendapati hal ini, aku pun segera menyadari kenapa kepala desa malah senang sewaktu teman-teman menolak pendakian.
Maksudnya Pesta Sebelum Tidur adalah: semua orang akan duduk melingkar. Masing-masing orang akan sibuk membaca buku dalam diam. Peraturannya adalah siapa yang paling terakhir terjaga, maka ia harus membacakan sebuah cerita untuk bintang-bintang. (Walau sebenarnya pesta sudah dimulai sedari mulai makan malam).
Aku kurang mengerti kalimat terakhirnya. Tapi perihal membaca buku, bukannya aku tidak suka, hanya saja kurang terbiasa. Kalaupun aku membaca, itu karena terpaksa untuk keperluan kuliah. Dan sepertinya bukan hanya aku yang tidak terbiasa dengan buku. Beberapa pemuda desa pun ada yang begitu. Ada seorang dari mereka yang terang-terangan menolak, tapi dengan cepat mendapatkan pecutan batang rotan dari kepala desa. Ternyata kepala desa orangnya galak!
Sepertinya kami harus benar-benar serius membaca. Atau sebuah garis merah memanjang akan menjadi lukisan sementara di tangan kami. Sayangnya, ada banyak korban berjatuhan. Seorang pemuda desa malah sibuk memandang sekitar saat yang lain sedang serius membaca. Ada juga seorang yang lain secara sekilas memang terlihat sedang membaca, tapi begitu kepala desa datang mendekat, ia ternyata sedang melamun. Ia pun langsung mendapat hadiah pecutan. Aku sebenarnya juga sama seperti itu; tidak benar-benar membaca. Hanya sibuk membolak-balikan halaman mengikuti ritme bacaan yang lain, tapi aku masih beruntung.
Tidak ada yang selamat dari pecutan kepala desa. Setidaknya aku hanya mengalaminya sekali. Dan setelah itu aku tidak mau lagi. Amat perih dan menyakitkan. Makanya setelah itu aku mulai benar-benar membaca.
Yang mengejutkan adalah, kepala desa justru bergeming ketika salah seorang pemuda menguap. Atau ketika pemuda lain malah merebahkan diri. Bahkan kepala desa malah tersenyum. Melihat itu, aku pun baru paham apa maksudnya ritual penyembuhan. Mulai detik itu pun, aku berharap untuk bisa segera tidur. Aku malas sekali membaca. Tapi satu-satunya cara untuk terbebas dari pecutan kepala desa adalah dengan tidur. Tapi aku susah sekali untuk tidur!
Satu per satu pemuda-pemuda desa mulai mengantuk. Melihat itu, Kepala Desa mempersilakan masing-masing dari mereka untuk masuk ke dalam tenda dan tidur di tenda masing-masing. Sampai hanya tersisa aku yang masih terjaga, juga kepala desa yang sedang berjaga.
"Apakah kamu tidak mengantuk?" Kepala desa tiba-tiba bertanya.
Aku masih fokus membaca. "Tidak sama sekali." jawabku.
Kemudian kepala desa bangkit berdiri. Berjalan sampai di belakangku dan masuk ke dalam tendaku. Mendapati hal itu, aku pun spontan mengikuti arah perginya kepala desa.
"Kamu adalah orang terakhir yang masih terjaga. Sesuai peraturan, tolong bacakan cerita untuk bintang-bintang." kata Kepala Desa sebelum menutup pintu tenda. Ia juga sempat meninggalkan sebuah matras untukku.
Suasana berubah seketika. Masih sama sepinya seperti ketika kami sedang membaca tadi. Tapi kali ini aku merasa lebih tenang. Mungkin sebab tidak ada lagi ancaman pecutan kepala desa. Satu-satunya temanku sekarnag adalah api unggun yang masih menyala.
Aku pun segera menutup bacaanku. Kemudian sedikit melakukan peregangan. Aku melihat tiap pintu tenda satu per satu. Pada akhirnya aku kembali menyendiri. Semua orang sudah tertidur, tapi aku bahkan mengantuk saja tidak. Aku ambil matras yang diberikan kepada desa dan merebahkan diri di atasnya. Dengan harap kalau aku rebahan akan lebih mudah mataku untuk terpejam.
Perkataan kepala desa seketika melintas dalam kepala. Perihal peraturan pesta. Aku adalah orang terakhir yang masih terjaga. Katanya, aku harus membacakan cerita untuk bintang-bintang. Aku sedang merebahkan diri, dalam posisi terlentang, menatap langsung ke arah langit. Langit hitam penuh awan. Malam ini bintang tidak ada bintang.
Mendapati diriku yang sedang berbaring di luar tenda, tiba-tiba aku terpikirkan satu kesimpulan. Membacakan cerita untuk bintang-bintang boleh jadi maksudnya adalah tidur di luar. Apalagi kepala desa yang sepertinya sengaja untuk tidak membawa tenda sendiri. Dan kenapa kami diberi perintah untuk satu tenda satu orang. Padahal satu tenda bisa memuat lebih dari satu. Dan perihal matras yang diberikan kepala desa sebelum beliau menutup pintu tenda. Itu membuat semuanya semakin jelas.
Menyadari hal ini, aku pun memejamkan mata. Bukan untuk tidur, tapi sebagai bentuk kecewa. Aku sebenarnya ingin sekali berteriak. Sebab tidak bisa, makanya aku menutup mata. CURANG SEKALI!
Aku pun bangkit duduk lagi. Duduk menghadap api unggun dan menghangatkan diri. Malam itu ingin aku habiskan untuk merenungkan banyak hal. Tadinya. Itu rencananya. Hanya berlangsung beberapa menit, tiba-tiba meluncur jatuh ke bawah beberapa titik cahaya dari langit. Melesat cepat menembus awan. Dan titik jatuhnya adalah di depanku. Di samping kanan. Di samping kiri. Ada juga yang di belakang. Bahkan ada yang mendarat di atas kepalaku.
Semuanya adalah cahaya. Setidaknya itu yang kulihat sebelum mereka meredupkan sedikit cahaya mereka agar aku bisa membuka mata lagi. Aku menganga melihat mereka semua. Aku tidak tau bagaimana harus menyebutnya. Tapi mereka tampak seperti bintang; keluarga bintang.
"Bintang kecil! Redupkan sedikit lagi cahayamu. Jangan sampai kau buat kakak ini buta kesilauan." kata... Bapak bintang? Iya. Dia adalah yang paling besar dari yang lain. Suaranya juga berat. Dia menegur sebuah bintang kecil yang mendarat di atas kepalaku.
"Baik, Ayah." jawab Bintang kecil. Ternyata benar Ayah Bintang.
Terhitung ada total empat bintang kecil. Satu di sebelah kiri, satu di atas kepala, dan dua lain baru aku sadari ketika aku membalikkan badan, mereka ada di belakangku.
"Ayo, Kak, cepat bacakan cerita untuk kami!" pinta Bintang Kecil yang ada di atas kepala. Dia bahkan sampai bergelantungan di depan wajahku.
Belum selesai dengan satu Bintang Kecil, Bintang Kecil yang lain pun turut merengek dan meminta-minta. Bahkan sampai Ayah Bintang pun ikut memohon, "Ayolah, Nak, bacakan cerita untuk kami!"
Keadaannya benar-benar tidak kondusif. Bintang-bintang kecil terus merengek-rengek sedari tadi. Ayah Bintang pun tampak tidak sabar. Beruntung ada Ibu Bintang yang membantu dan meminta Bintang-bintang kecil untuk duduk manis. Dan meminta Ayah Bintang untuk sedikit bersabar. Ayah Bintang pun tidak lagi memaksa. Bintang-bintang kecil pun menurut. Mereka duduk manis di samping kanan-kiriku. Dua di kanan. Dua di kiri.
Aku tersenyum melihat Ibu Bintang. Walau sebenarnya kepalaku masih terus bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Atau mungkin bisa dibilang tidak percaya. Aku tidak percaya kalau kesimpulanku salah. Aku tidak percaya kalau maksud dari membacakan cerita untuk bintang-bintang adalah benar-benar bintang! Keluar bintang!
Aku pun mencoba untuk bersuara. "Ha-halo semua." Bohong kalau aku bilang aku tidak gugup.
"Kami akan senang mendengar ceritamu, Nak." Ibu Bintang tersenyum hangat.
Melihat senyuman itu, aku jadi sedikit tenang. Sejujurnya aku masih belum mengerti. Dan belum siap. Aku tidak punya cerita untuk diceritakan.
"Ayolah, Kak! Bacakan kami cerita!"
"Iya, Kak. Aku sudah tidak sabar!"
"Kakak akan bercerita apa?"
"Aku tidak bisa tidur kalau belum dengar cerita!"
Bintang-bintang kecil kembali merengek. Tapi ucapan Bintang Kecil terakhir membuatku teringat sesuatu. Kenangan lama bersama Ibu. Cerita sebelum tidur. Aku pun baru sadar kembali kalau ternyata masalah tidurku sudah ada sejak aku kecil. Saat aku mengaku pada ibu kalau aku susah tidur, mulai hari itu ibu jadi rajin membacakan aku cerita sebelum tidur. Setiap hari. Setiap malam. Tidak pernah absen. Tapi hanya sampai akhir sekolah dasar. Aku masih ingat kalau aku menolak untuk mendengar cerita ibu lagi setelah masuk sekolah menengah. Karena memalukan. Tidak ada seorang pun anak seusiaku yang masih minta dibacakan cerita sebelum tidur. Walau dampaknya adalah, aku jadi susah tidur lagi. Sejak hari itu. Sampai sekarang. Sampai hari ini. Ibu bahkan sempat menanyakan perihal tidurku sebelum melepasku ke perantauan. Tapi masih dengan perasaanku saat sekolah menengah, aku berbohong pada ibu kalau tidurku baik-baik saja.
Ada satu cerita dari sekian banyak cerita yang pernah ibu bacakan, yang masih amat membekas di kepala. Dan kalau aku mencoba untuk mengingat di beberapa waktu, aku bisa tidur dengan mudah ketika teringat cerita itu. Aku pun segera tersenyum. Di hadapan keluarga bintang, aku akan membacakan kembali cerita itu pada mereka.
Ini adalah kisah seorang gadis kecil. Tentang kehidupan yang bebas dan menyenangkan di pondok kecil di puncak gunung bersama kakeknya. Semuanya bahagia. Semuanya menyenangkan. Semuanya tersenyum dan tertawa. Melihat Padang rumput, kebun bunga, kambing-kambing dan matahari terbenam.
Suatu hari, gadis kecil dipaksa untuk pindah. Meninggalkan kehidupan bebas dan menyenangkan untuk tinggal di kota. Dalam sebuah rumah mewah dan megah serta banyak sekali pelayan. Gadis kecil mulai mengenal yang namanya aturan dan sekolah.
Aku benar-benar senang sekali bisa membacakan cerita ini. Keluarga Bintang menyimak ceritaku dengan baik. Mereka ikut tertawa dan tersenyum ketika hal menyenangkan terjadi pada gadis kecil. Mereka juga turut bersedih kecil hal buruk terjadi pada gadis kecil. Marah. Kecewa. Ketakutan. Mereka adalah pendengar yang baik. Sampai di akhir cerita, sebenarnya yang bertahan hanyalah Ayah dan Ibu Bintang. Bintang-bintang kecil sudah tertidur pulas entah sejak kapan.
"Cerita yang bagus, Nak." kata Ayah Bintang.
"Tadi itu indah sekali." kata Ibu Bintang.
Ayah dan Ibu Bintang sama-sama menguap. Kemudian keduanya segera mengambil posisi berbaring. Di atas tanah. Beralaskan rumput. Langsung di bawah langit malam berawan. Mereka saling berhadap-hadapan dan keduanya tertidur dengan senyuman paling indah yang pernah kulihat. Api unggun sudah lama padam selagi aku bercerita. Maka Ayah Bintang sedikit menambah terang cahayanya.
Aku ternyum melihat mereka semua. Lebar sekali. Mungkin sama lebarnya ketika ibu membacakan cerita ini padaku. Sama seperti dulu, aku tiba-tiba menguap, mengantuk, dan ingin sekali tidur. Maka di sini, bersama Bintang-bintang Kecil yang tidur di sampingku, di pangkuanku, aku ikut membersamai mereka untuk ikut dalam petualangan selanjutnya. Dalam mimpi indah Bintang-bintang kecil. Aku tertidur.
Itu adalah tidur paling nyenyak yang pernah aku rasakan sejak aku pergi ke perantauan. Aku pun mengerjap-ngerjap. Kulihat kepala desa sedang bermain dengan sisa-sisa api unggun.
"Bagaimana tidurmu?" tanya kepala desa.
Aku berusaha bangkit terduduk, masih sedikit terpejam, aku pun menjawab, "Nyenyak sekali, Pak. Paling nyenyak dalam beberapa tahun terakhir!"
Aku tidak begitu jelas melihat bagaimana raut wajah kepala desa setelah mendengar jawabanku itu. Tapi kemudian ia bangkit berdiri.
"Cuci mukamu. Kita akan bergabung dengan yang lain." katanya memberi perintah sambil menaruh sebuah botol berisi air di sampingku. "Bergegaslah atau kita akan ketinggalan matahari terbit." katanya lagi, kemudian berlalu lebih dulu menuju pinggir tebing.
Aku pun segera mengusap wajahku. Di kejauhan kulihat lima pemuda desa ada di kejauhan, di pinggir tebing. Aku pun mengambil botol air yang diberikan kepala desa. Membasahi tanganku lebih dulu sebelum kemudian membasuhnya ke wajah. Aku pun kembali segar.
"Hei, cepatlah kemari! Matahari sudah mulai terbit!" teriak kepala desa dari pinggir tebing.
Aku pun segera bangkit. Berdiri dengan amat segar bugar. Aku merasa baik sekali pagi ini. Bahkan tanpa sadar aku sudah tersenyum entah sejak kapan. Aku berani bertaruh kalau senyumanku selalu lebih indah ketimbang matahari terbit di mata ibu.
"Iya, Pak. Aku segera ke sana!" Aku balas teriak. Teriakan balas dendamku yang semalam karena sudah membiarkanku tidur di luar. Aku kedinginan!
.
Cerita yang aku bacakan untuk bintang-bintang adalah sebuah cerita menyenangkan dan penuh hangat: Heidi karya Johanna Spyri.
Komentar
Posting Komentar