Sumur kedua adalah Sumur Teman. Jaraknya tidak jauh dari sumur sebelumnya. Aku berjalan di depan. Memandu Uti yang jalan di belakang mengikuti. Sumur Teman atau pun Sumur Keluarga sebenarnya tidak ada bedanya secara penampilan. Tapi Sumur Memori memang ada banyak jenisnya. Perbedaannya hanya terletak pada fungsinya saja, atau hologram apa yang akan ditampilkan sumur itu.
Aku berdiri di pinggir sumur. Siap memutar tuas agar tutup papannya terbuka dan mulai menampilkan hologram rekaman masa lalu. Uti sudah ada di depan sumur. Wajahnya jauh lebih antusias dari sebelumnya. Apalagi di Sumur Keluarga, Uti kembali menemukan kebahagiaan. Kembali menemukan lukisan senyuman yang sempat hilang kemarin.
Papan penutupnya perlahan terbuka. Cahaya hologram secara berebut mulai merangsek melalui celah-celah papan yang terbuka. Sampai akhirnya terbuka sempurna dan hologram pun sudah tampil sepenuhnya.
Sumur Teman adalah Sumur Memori yang menampilkan rekaman memori perihal pertemanan maupun persahabatan.
Hologram tidak menampilkan gambar sekumpulan remaja sedang makan di kantin sekolah, atau jalan-jalan di mall, atau sedang mengerjakan tugas bersama-sama. Hologram di sana hanya menampilkan sebuah tampilan ruang obrolan di ponsel. Ruang obrolan yang dihuni oleh Uti dan sahabat-sahabat Uti.
Lily: Jadi bagaimana hasilnya, Teman-teman?
Mona: dududududumm...
Cantika: Duh deg-degan!
Lily: Baiklah biar kumulai. Hasilnya sesuai harapan. UI di sini...
Mona: Keren. Aku meleset dikit. Tapi masih lulus, dong. ITB masih terlalu sulit digapai. Maba UNPAD, nih!
Cantika: Aku juga sedikit meleset. Alhamdulillah dapat UPI.
Mona: Cie, ada anak rantau, nih?
Cantika: Keren, Lily. Nanti aku titip oleh-oleh kerak telor, ya?
Lily: Aw, malu.
Uti memainkan matanya ke sana kemari melihat semua percakapan di hologram itu. Tapi Uti tampak geram. Ia palingkan pandangan secepat kilat. Menatapku dengan tatapan elang siap menyantap mangsa.
"Ke-kenapa, Uti?" tanyaku gagap. Cepat sekali Uti berubah. Padahal baru tadi ada pelangi di wajah Uti. Sekarang awannya sudah berubah hitam lagi. Hujan belum turun tapi petir sudah menyambar sana-sini.
"Kenapa Ito kasih lihat aku percakapan itu lagi, sih?! Mereka semua itu menyebalkan. Orang-orang besar kepala. Sombong! Tukang Pamer!"
"Kenapa Uti bilang gitu? Mereka, kan, teman-teman Uti. Sahabat-Sahabat Uti."
Entah kenapa napas Uti tersengal. Seperti habis lari marathon sepuluh kilometer. Padahal sebenarnya mungkin tubuhnya bergerak pun tidak sekarang ini. Uti sedang tidur dan bermain di alam mimpi. Bersamaku. Mengunjungi Sumur Memori.
Hologram masih terus berjalan. Kali ini mulai memasuki tampilan yang belum pernah Uti lihat. Sebab usai melihat pesan-pesan sebelumnya, Uti tidak pernah membuka lagi ruang obrolan itu. Sebab Uti menganggap mereka orang-orang sombong dan tukang pamer. Padahal sebenarnya anggapan itu ada sebab Uti merasa malu pada dirinya sendiri yang telah gagal ujian.
"Aku mau pulang!" Uti berteriak lantang.
Aku menggeleng cepat. "Belum waktunya Uti. Uti harus terus melihat. Hologramnya belum selesai."
"Buat apa aku terus melihatnya, Ito? Mereka hanya akan mengejekku. Mengatakan aku ini bodoh, payah, dan pecundang!"
Aku menggeleng lagi. "Mereka enggak mengatakan itu semua. Diri Uti sendiri yang menyatakannya. Berhentilah menghina diri sendiri, Uti." Aku sedikit menaikkan nada suaraku. "Lanjutkan saja lihat hologramnya!"
Uti sedikit tersentak melihatku membentaknya. Ia pun tidak lagi melawan dan kembali melihat hologramnya sambil mendengus sebal.
Mona: Uti kemana, nih?
Lily: Dapat berita buruk, kah?
Cantika: Moga tidak begitu.
Mona: Begitu juga enggak apa-apa kali. Tinggal dicoba lagi aja.
Cantika: Ish, Mona!
Mona: Apa, Cantika? Aku betul, kan? Coba lagi aja di Ujian Mandiri.
Lily: Betul sekali.
Cantika: Bukan begitu, Mona.
Mona: Kalau bukan begitu memangnya apa? Menangis? Meratap? Putus asa? Depresi? Buat apa? Yang betul itu belajar lagi buat persiapan Ujian Mandiri. Itu pun kalau masih ada keinginan untuk kuliah. Kalau kerjaannya cuma menangis terus di kamar, nikah aja langsung.
Lily: Keren banget, Mona. Maba UNPAD memang beda.
Mona: Terima kasih, Saudari Lily.
Cantika: Hm, kamu enggak gitu, kan, Uti? Depresi? Kamu belum gila, kan?!
Mona: Ckckck... Depresi bukan berarti gila, Cantika.
Lily: Sekali lagi Mona betul. Cantika payah.
Cantika: Ish, aku enggak payah! Tapi kalau bukan gila, terus apa? Kan sama aja.
Mona: Cantika payah.
Uti bergeming. Matanya masih menari-nari di depan hologram. Mungkin ia sedang membaca ulang perkataan Mona. Baca lagi, ulang lagi, sampai dia benar-benar paham. Semoga memang benar begitu.
"Benar kata Ayah. Uti mirip Ibu."
Uti tiba-tiba memalingkan wajahnya padaku. "Ito tau soal Ibu?"
Aku menggeleng. "Aku dibeli ayah sebagai hadiah ulang tahun Uti yang ke sepuluh. Jadi Ito enggak tau apa-apa soal Ibu. Setelah melihat hologram di Sumur Keluarga, Ito baru tau kalau Uti mirip sekali dengan ibu. Bukan hanya mirip wajah, tapi juga sikap, sifat dan kebiasaan."
Uti tidak menjawab. Ia kembali palingkan wajahnya ke arah sumur. Tapi cahaya hologram perlahan mulai memudar. Papan penutupnya pun pelan-pelan tertutup kembali.
"Sudah selesai begitu saja?" tanya Uti.
"Sepertinya begitu." jawabku. "Atau sebaiknya nanti Uti lihat saja sendiri di ponsel Uti.
Uti mengangguk mantap. "Oke, aku harus bangun."
Aku dibuat kalap saat Uti bersiap menepuk pipinya sendiri. "Nanti dulu! Masih ada satu sumur lagi yang akan kita kunjungi, Uti. Jangan bangun dulu."
Aku kuat-kuat menahan Uti untuk bangun. Sebab selanjutnya adalah Sumur Hewan Peliharaan. Tentangku. Aku adalah hewan peliharaan Uti. Jadi aku sangat menantikannya.
Sumur Memori: Keluarga, Teman, Hewan Peliharaan.
Komentar
Posting Komentar