Lanjutan dari "Aku Temani".
"Uti, ikut Ito, yuk!"
Uti menoleh dan menurunkan lengannya. "Ke mana?"
"Ke suatu tempat." Aku menarik tangan Uti agar ia cepat mengikuti langkahku, agar tidak tertinggal.
"Ih, Ito! Mau ke mana? Awas aja kalau macem-macem!"
"Aku ini kucing, Uti. Udah ikut aja."
Sumur yang kucari sudah ada di depan mata. Aku lepaskan tangan Uti dan mulai memeriksa sumur itu. Kondisinya sudah lapuk dan sudah ditutupi papan di lubang airnya. Sumur tua, tapi punya teknologi luar biasa.
Uti mengedarkan pandangannya. Sebuah tempat mirip hutan tapi dengan sedikit pohon. Beralaskan rerumputan yang tumbuh liar menutupi tanah. Dihiasi oleh sumur-sumur tua tiap sepuluh meter.
Uti balik melihatku yang masih sibuk dengan salah satu sumur di sana.
"Ito, mau ngapain kita di sini?"
"Uti tau enggak, ini sumur apa?"
"Sumur tua, kan? Emang mau ngapain, sih?"
"Ini bukan sumur biasa, Uti. Ini sumur memori. Sumur ini punya rekaman peristiwa yang seharusnya Uti perhatikan, tapi malah Uti abaikan."
"Maksud?" Uti tidak paham.
Aku tersenyum sebentar, lalu mulai memutar tuas yang ada di samping sumur. Sambil menunggu papan kayunya terbuka, aku coba menjelaskan cara kerja sumur memori ini ke Uti.
"Uti, saat tutupnya terbuka, nanti akan muncul hologram setelahnya. Hologram yang akan memutar sebuah rekaman kehidupan."
Uti fokus menyimak.
"Ada banyak sumur di sini. Setiap sumurnya punya satu tema hologram yang berbeda-beda."
"Kalau sumur ini punya tema apa?" tanya Uti antusias.
"Ini sumur keluarga. Nanti Ito bakal bawa Uti ke tiga sumur."
Penutup kayu sudah terbuka sepenuhnya. Cahaya hologram pun mulai menyeruak keluar. Menampilkan sebuah rekaman peristiwa di hari pengumuman hasil SBMPTN. Uti sedang duduk lesehan bersama ayah dan Kak Putra di depan televisi yang menyala. Uti diapit oleh kedua lelaki itu. Semua perhatian terpusat ke arah ponsel yang ada di tangan Uti. Laman pengumuman sudah di buka. Nomor peserta baru saja selesai di ketik. Dilanjut tanggal, bulan, dan tahun lahir. Kondisi sinyal membuat ketiga orang itu semakin dibuat penasaran. Setelah hasilnya keluar, semua terdiam. Perlahan Uti menjatuhkan ponselnya ke tanah, kemudian cepat lari masuk ke dalam kamar ditemani air mata. Uti gagal.
Aku melihat Uti begitu fokus melihat rekaman itu. Wajahnya kembali murung. Air mata pun perlahan ikut turun. Dadanya sesak oleh rasa kecewa. Wajahnya tampak ketakutan.
"Kenapa Ito bawa Uti ke sini, sih?!" seru Uti tiba-tiba dengan nada tinggi.
Aku terkejut. "Karena Ito mau Uti lihat semuanya."
"Lihat apa?! Ito mau lihat Uti nangis terus di kamar tiap malam?! Ito mau Uti lempari Ito dengan selimut lagi?! MAU ITO APA, SIH?!" Uti mulai dikuasai emosinya sendiri.
"Semuanya enggak seburuk apa yang ada di pikiran Uti. Hologram ini belum selesai, Uti." Aku mencoba tenang agar semua baik-baik saja. Agar Uti tidak bangun dengan keadaan hati yang panas.
Uti kembali diam. Amarahnya tadi perlahan menurun. Perhatiannya kembali terpusat ke arah hologram yang masih memutar rekamannya. Hologram menampilkan ayah dan Kak Putra yang terpaku di tempat. Keduanya saling beradu pandang dan tampak sedang melakukan percakapan. Hologram itu seperti kamera cctv yang hanya menampilkan gambar saja dan tanpa suara. Wajah keduanya menampilkan raut kekhawatiran akan keadaan anggota perempuan satu-satunya di keluarga itu.
Ibu Uti meninggal usai baru saja melahirkan Uti. Ibu dan anak itu sempat bertemu sebentar. Ibu pun sempat menggendong dan mengecup kening bayi kecilnya itu. Tapi siapa sangka kalau ternyata pertemuan itu adalah yang pertama sekaligus yang terakhir bagi keduanya. Ibu Uti meninggal dalam tidur dengan wajah berseri dan menyunggingkan senyuman. Bersamaan dengan tangis bayi Uti yang baru lahir, ada pula tangis seorang laki-laki dewasa dan anak laki-laki usia taman kanak-kanak yang kelak akan menjadi dua pelindung utama bayi kecil itu.
Ayah dan Kak Putra sama-sama melihat pintu kamar tempat Uti berada. Sambil tetap melihat ke sana, Ayah tampak bergumam. Gumaman yang mengundang Kak Putra tampak bersemangat. Hologram kemudian tiba-tiba melesat cepat ke sebelah kanan. Menghilangkan rekaman yang sebelumnya ada dengan sebuah rekaman baru.
Tampak dua orang remaja sekolah menengah sedang duduk berhadapan di kantin sekolah. Satu orang laki-laki dan lainnya adalah perempuan yang tampak seperti sepasang kekasih. Uti sedikit terperanjat melihat wajah si laki-laki yang mirip dengan wajah ayah, tapi dalam tampilan yang lebih muda. Uti pun seperti mengenali si perempuan juga. Tapi Uti tidak yakin pernah mengenalnya di mana.
Mereka adalah Ayah dan Ibu Uti dalam rekaman masa lalu. Ayah dan Ibu Uti sudah saling kenal sedari sekolah menengah. Keduanya pun memutuskan untuk menjalin kasih akibat dorongan dari masing-masing temannya. Dorongan yang timbul akibat rasa gemas temen-teman ayah dan Ibu Uti terhadap sikap keduanya. Dalam mata teman-temannya itu, tampak jelas kalau ayah dan ibu Uti punya rasa suka sama suka. Tapi setiap kali bertemu, keduanya hanya menundukkan pandangan dengan sekali-kali melirik dan tersipu malu ketika kedua pandangannya bertemu. Sebab itulah mereka mendesak untuk Ayah Uti segera menyatakan cinta. Saat Ibu Uti menganggukkan kepala sebagai jawaban, respon teman-teman bukanlah bersorak gembira atau melemparkan banyak godaan. Melainkan mereka semua menghembuskan napas lega akan hal itu.
Sejak hari itu, keduanya pun tampak selalu bersama. Tidak ada lagi malu-malu satu sama lain. Mereka bahkan tampak seperti pasangan ideal yang diirikan pasangan lain. Keduanya benar-benar saling melengkapi.
Namun hubungan mereka bertemu ujian ketika menginjak tahun terakhir sekolah. Keduanya pun memutuskan untuk bertemu di kantin sekolah dan membicarakan tentang kelanjutan pendidikan mereka yang akan berpengaruh pada hubungan mereka. Ayah Uti sudah punya pilihan akan hal itu. Sedangkan Ibu Uti adalah seorang yang pesimis dan penuh dengan keraguan. Pada akhirnya mereka memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama. Ayah Uti mulai fokus mengejar jurusan pilihannya, dan Ibu Uti pun mulai menentukan dan menyakinkan diri akan pilihannya sendiri.
Saat pengumuman ujian masuk PTN, keduanya bertemu untuk melihat pengumuman hasil ujian sama-sama. Bagi Ayah Uti semuanya berjalan lancar. Hasil yang didapat pun sesuai dengan pilihannya. Sebaliknya pada sisi Ibu Uti, yang diterima adalah kabar buruk. Ibu Uti gagal dalam ujian. Setelah hari itu, Ibu Uti jadi sulit ditemui. Mengasingkan diri dari orang-orang terdekat. Sama seperti apa yang dilakukan Uti satu Minggu ini.
Detik itu pun Uti menyadari apa gumaman Ayah pada Kak Putra sebelumnya. "Uti sama seperti ibunya."
Uti pun sejenak melihat ke arahku. Aku pun tersenyum padanya. Kemudian kulirikan pandangan ke arah sumur agar Uti tetap menyimak. Sebab rekaman masa lalu itu masih belum selesai.
Sulit ditemui bukan berarti tidak bisa ditemui. Itulah apa yang ada di kepala Ayah Uti. Sejak hari itu, Ayah Uti tiada henti meminta Ibu Uti untuk keduanya bertemu. Sebab kegigihan Ayah Uti, mereka pun akhirnya bertemu kembali. Ayah Uti adalah pribadi yang penuh dengan aura positif. Baru bertemu lagi setelah lama tidak jumpa, Ibu Uti yang mulanya tidak berekspresi, wajahnya datar, tampak kalau ia malas untuk bertemu, tapi dengan kata-kata magis Ayah Uti, Ibu Uti jadi tampak bersemangat lagi.
Usai hari itu, Ibu Uti segera mendaftar ujian mandiri. Kemudian belajar dengan giat. Datang hari ujian, semua soal dijawabnya dengan lancar tanpa sedikitpun keraguan. Sampai di hari pengumuman, hari itu jadi titik balik semangat bagi Ibu Uti dan bagi hubungan kasih dengan Ayah Uti.
Rekaman hologram kemudian berubah jadi tampilan foto-foto. Foto-foto Ayah dan Ibu Uti di hari ospek, hari pertama kuliah, hari-hari kuliah, sampai hari kelulusan adalah yang paling menarik perhatian Uti. Foto yang menampilkan Ayah dan Ibu Uti dalam balutan toga kelulusan. Ibu Uti tampak tersenyum menang. Sedangkan Ayah Uti tampak cemberut sebal. Sebuah foto yang menandakan buah dari pantang menyerah. Keduanya lulus dengan nilai akhir Ibu Uti sedikit lebih unggul dari Ayah Uti. Ekspresi wajah keduanya menampilkan mereka yang teringat akan perjuangan mereka di awal kuliah. Ibu Uti berhasil membalikkan keadaan. Sebab itulah Ayah Uti menekuk wajahnya.
Foto terakhir menampilkan keduanya dalam senyuman paling lebar yang tidak pernah Uti melihat ayahnya pernah tersenyum selebar itu.
Cahaya hologram perlahan meredup. Penutup kayu pun perlahan mulai tertutup lagi. Sumu itu pun kembali tampak seperti sumur tua kebanyakan. Tidak ada yang akan menyangka kalau sumur itu punya teknologi hebat.
Uti balik melihatku lagi. Ia tersenyum dan di pipinya mengalir pelan butiran air mata. Kemudian Uti melemparkan tubuhnya dan memelukku. "Terima kasih, Ito!"
"Jangan dulu bilang terima kasih, Uti. Masih ada dua sumur lagi." Aku berbisik di telinga Uti. "Dan jangan menangis terlalu keras. Atau Uti bakal bangun."
...
Tiga sumur : Keluarga, Teman, Hewan peliharaan.
Komentar
Posting Komentar