Langsung ke konten utama

Sumur Memori: Sumur Hewan Peliharaan


Aku kembali jalan di depan. Menuntun Uti menuju sumur terakhir. Atau lebih tepatnya adalah mencarinya. Letak Sumur Hewan Peliharaan cukup jauh dari dua sumur sebelumnya. Mungkin sebab objek yang dibicarakan bukan lagi manusia. Jadi seolah berada di petak tanah yang berbeda.

Sumur Hewan Peliharaan adalah Sumur Memori untuk melihat rekaman masa lalu seputar tingkah hewan peliharaan pada tuannya. Rekaman masa lalu yang ditampilkan dalam sebuah hologram.

Aku bersiap di depan sumurnya. Terdapat tulisan "Hewan Peliharaan" di atas tuasnya. Sebagai identitas sekaligus pembeda bagi setiap sumur.

Aku putar tuasnya pelan-pelan. Uti berdiri tepat di depan sumurnya. Kali ini terlihat lebih santai. Tidak lagi kebingungan seperti di Sumur Keluarga. Atau dengan antusias seperti di Sumur Teman. Sedangkan aku, jauh lebih antusias ketika sampai di depan Sumur Hewan Peliharaan. Sumur Memori yang akan membahas seputar Hewan Peliharaan. Dan aku adalah seekor kucing, hewan peliharaan Uti.

Papan penutupnya terbuka perlahan, sekarang dengan putaran tuasnya. Cahaya hologram tampak memancar dari sela-sela penutupnya ketika terbuka. Sampai terbuka seluruhnya, sempurnalah hologram itu menampilkan seekor kucing yang sedang bermain dengan bola kecil dalam sebuah ruangan.

Uti tiba-tiba melihatku sambil memicingkan matanya. Aku pun sontak tertunduk malu dilihat Uti. Kudengar Uti menahan tawanya kemudian balik melihat hologram lagi.

Aku ada di sana, di dalam hologram. Aku terperanjat ketika Uti tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar, kemudian melompat ke atas ranjang dan menutup diri dalam selimut. Melihat kedatangan Uti, aku pun berhenti bermain. Kutinggalkan gulungan benang itu dan beranjak menuju Uti sambil terus mengeong memanggilnya.

Aku pun merangsek masuk ke dalam selimut. Uti menyadari keberadaan. Kemudian dipeluknya tubuh kecilku dengan pelukan super erat di dunia. Tubuhku remuk. Napasku tertahan. Aku pun memberontak. Keempat kakiku bergerak sana-sini dengan kuku tajam yang mencuat keluar. Sampai kaki kanan-depan-ku menyabet pipi Uti. Membekas di sana tiga garis panjang akibat tercakar olehku. Uti pun melepas pelukannya. Aku pun menemukan jalan keluar. Sambil mengatur napas, aku melompat turun dan bersiap keluar. Tanpa terka dan tanpa duga, tubuhku terperosok selimut lebar, amat lebar untuk ukuranku, mendarat di tasku. Menabrak tubuh kecilku dan mengurungku setelahnya seperti ikan tertangkap jaring.

"Kenapa Uti melemparku dengan selimut?" Aku bertanya tiba-tiba.

Uti membulatkan matanya. Kemudian menunjukkan pipi kanannya ke depan wajahku. "Karena Ito mencakar pipi Uti. Lihat, bahkan cakarannya masih membekas!"

Aku pun membela diri. "Karena Uti mencekik Ito!"

"Uti enggak begitu. Seingat Uti, Ito dipeluk Uti."

"Itu bukan pelukan! Tapi percobaan pembunuhan!"

Uti terkejut dan membuka mulutnya lebar. Uti memang selalu dramatis. "Kejam sekali." kata Uti. "Kalau begitu Uti minta maaf. Sama sekali Uti enggak ada maksud demikian." Uti kembali menampilkan sisi dramatisnya.

Aku pun mengangguk. "Dimaafkan."

Uti pun kembali melihat ke arah sumur. Hologramnya masih berlanjut. Aku sekali lagi berontak. Memaksa keluar dalam kurungan selimut. Sampai berhasil bebas, aku pun kabur keluar kamar. Sedangkan Uti menelungkup di atas ranjang sambil tersedu-sedu.

Pelarianku tidak jauh-jauh. Aku tidak keluar sampai memaksa Ayah atau Kak Putra untuk membuat poster kucing hilang. Aku hanya mencari napas di luar kamar. Mencari tempat minumku di dekat dapur. Kemudian kembali ke kamar Uti. Menunggu di depan pintu sampai Uti benar-benar tertidur.

Aku beranjak masuk kembali ketika tidak terdengar lagi suara tangis sesenggukan. Aku masuk dengan waspada dan melompat naik ke atas ranjang dengan hati-hati. Kulihat Uti sudah tertidur dengan wajah sepenuhnya basah oleh air mata. Aku tepuk kepala Uti pelan dengan kaki kanan-depan-ku.

"Miaw." kataku. Kemudian kuambil posisi berbaring dan bersiap tidur di samping Uti.

Uti kembali melihatku. "Ito bilang apa waktu itu?" tanyanya.

"Miaw." jawabku sekenanya sebab pandanganku masih fokus menyimak hologram.

"Ih, bukan itu, Ito. Maksud Uti, apa artinya?"

"Lupa." jawabku singkat. Uti tidak tau kalau sedari tadi aku fokus menyimak hologram adalah sebab sedang mengingat perkataanku sendiri waktu itu.

"Lupa bagaimana, sih? Kan, Ito tinggal terjemahkan aja dari hologram tadi."

Aku berpaling cepat melihat Uti. "Cerdas."

"Cerdas? Apa hubungannya dengan menepuk kepala?"

Aku pun menggeleng dua kali. "Bukan. Bukan begitu. Artinya, hm, 'Mimpi indah, Uti.' Kira-kira begitu."

Uti pun mengangguk paham. "Terima kasih." katanya pelan.

Aku hanya mengangguk sekali dan tersenyum.

Uti kembali menyimak hologramnya. Hologram tiba-tiba berubah hitam. Kemudian berganti dengan rekaman baru. Aku kembali tampil di sana. Berdiri di depan pintu. Menunggu Uti tertidur. Setelah dipastikan Uti sudah menutup matanya, aku pun masuk, melompat ke atas ranjang, menepuk kepala Uti, dan berucap pelan, "Miaw," kemudian ikut tidur di samping Uti.

"Ito bilang apa lagi?" tanya Uti. "Jangan bilang miaw!"

Aku terkekeh pelan. "Masih sama. 'Mimpi indah, Uti.'"

Uti pun mengangguk.

Hologram kembali berubah hitam. Rekaman berganti sekali lagi menampilkan diriku di depan pintu. Selanjutnya masih sama. Itu memang jadi rutinitasku tiap malam seminggu terakhir. Uti pun terus bertanya arti ucapanku setiap kali aku mengelus kepalanya. Tapi jawabannya masih sama. Karena aku memang bilang begitu setiap malam.

Sampai dengan malam ini, Uti kembali bertanya. "Ito masih bilang hal yang sama?"

Aku menggeleng dan tersenyum. "Ito bilang, 'Sampai ketemu di mimpi.'"

"Ito bisa mengatur mimpi?"

Ingin sekali aku berteriak mendengar pertanyaan itu. Pertanyaan merepotkan. Jadilah kujawab dengan, "Hak istimewa seekor kucing."

"Keren." kata Uti terpukau. "Kalau bisa begitu, kenapa Uti baru ketemu Ito sekarang?"

Aku berdecak. "Ada banyak mimpi indah lain untuk dimimpikan, Uti."

Uti membulatkan matanya. "Jadi menurut Ito memimpikan Uti bukanlah mimpi indah?"

Aku tidak menjawab dan hanya mengulurkan dua tangan ke depan Uti. "Karena dalam mimpi, Uti sering memarahi Ito. Seperti sekarang."

Segera Uti pun undur diri. "Maaf, Ito."

Aku pun terkekeh. "Dimaafkan."

"Uti mau Ito jadi manusia." Uti tiba-tiba bergumam pelan.

"Ito, kan, udah jadi manusia. Uti lihat aja sendiri." Aku berputar di depan Uti. Menunjukkan bahwa aku sudah jadi manusia.

"Bukan di mimpi, Ito. Tapi di dunia nyata."

Aku berhenti berputar. Kulihat keyakinan dalam mata Uti. "Jadi manusia di dunia nyata? Mustahil!"

"Tapi Uti mau Ito jadi manusia di dunia nyata."

Aku menggeleng dua kali. "Gini, Uti. Kalau pun bisa, Ito enggak mau jadi manusia di dunia nyata. Jadi manusia itu merepotkan. Ada banyak aturan yang harus dipatuhi kalau mau hidup tenang. Berbeda kalau jadi kucing. Kucing bebas melakukan apapun. Ito mau tetap jadi kucing. Kucing peliharaan Uti."

"Tapi Uti mau Ito jadi manusia di dunia nyata." Sekali lagi Uti mengulang kalimatnya.

Aku pun kembali menggelengkan kepala. "Ito enggak mau." Aku terdiam sebentar. "Kalau Ito jadi manusia, Ito enggak akan punya lagi Hak Istimewa Seekor Kucing."

Uti menunduk. Detik selanjutnya Uti bergumam pelan. Pelan sekali. Tapi aku masih bisa mendengarnya. "Aku cinta Ito."

Aku terdiam dan tidak menjawab. Sebaliknya, kulihat ke arah sumur. Cahaya hologram perlahan memudar. Penutup kayunya pun perlahan menutup.

"Hologramnya sudah selesai, Uti." kataku.

Uti pun beralih melihat sumur. Penutup kayunya sudah sempurna tertutup. Kemudian kembali berpaling melihatku. Tapi Uti  tidak mendapatiku ada di sana. Ia pun mengedarkan pandangannya ke segala sisi. Sambil berputar agar tidak ada sisi yang terlewat. Tapi Uti tidak bisa menemukan kucing peliharaannya.

Dari kejauhan, tampak seseorang datang mendekat. Seorang wanita dewasa dalam balutan gaun putih yang teramat indah dan berkilau. Uti pun dibuat terpana. Keindahan tidak sampai di gaunnya saja, tapi sampai Uti melihat wajah wanita itu, Uti jauh lebih terpana. Wajah wanita itu amat rupawan, cantik jelita.

Uti memicingkan matanya. Sedikit memastikan wajah wanita itu. Sebab bagi Uti, bentuk wajahnya seperti ada dalam ingatan. Sampai wanita itu tampil sempurna di depan Uti, mulutnya terbuka lebar.

"I-ibu?"

Wanita itu mengangguk. Senyumannya amat menenangkan. Ia rentangkan tangannya lebar, siap menangkap Uti ke dalam pelukan. Uti pun melemparkan dirinya ke dalam pelukan Ibu. Sebuah dekapan yang amat Uti rindukan. Tanpa sadar, air mata terjun bebas membasahi pipi Uti.

"Jangan menangis." Ibu berucap pelan. Bukan sebuah nyanyian, atau sedang bersenandung, tapi bagi Uti suara itu terdengar merdu tiada tara.

Sayangnya, suara yang lain tiba-tiba terdengar. Amat nyaring dan memanjang. Uti pun perlahan membuka matanya. Diambilnya ponsel di atas dekat bantal dan dimatikannya alarm. Uti terbangun. Petualangannya di alam mimpi terhenti sampai di situ.

Dalam pelukan Uti, dilihatnya sebuah bingkai foto. Dengan seorang wanita tampil di dalam foto itu dengan senyuman manis melebihi lukisan Monalisa. "Aku kangen Ibu." Uti berucap pelan.

Aku muncul dari balik pintu kamar. Datang mendekati Uti dan ikut melihat ke dalam bingkai foto. Aku pun bergumam pelan. "Miaw."

Menyadari kedatanganku, Uti tiba-tiba tertawa kecil. "Itu apa artinya, Ito?"

"Miaw, miaw!" jawabku.

"Sudah Uti bilang biar Ito jadi manusia aja. Jadi Uti bisa mengerti apa yang Ito bicarakan. Kalau begini, Ito cuma seperti meteran listrik habis pulsa!"

Aku hanya bisa mengeong. "Miaw!"

Uti terkekeh melihatku. "Terima kasih, Ito."

Sekali lagi aku mengeong. "Miaw!"

Ponsel Uti tiba-tiba terdengar ramai. Menampilkan banyak notifikasi dari teman-teman Uti. Uti pun mengambil ponselnya, dan membuka semua pesan yang belum sempat Uti lihat.

Aku pun beranjak dari atas ranjang. Beralih menuju meja belajar Uti. Terdapat sebuah kalender di atas sana. Sebuah tanggal tampak dikelilingi lingkaran merah. Ada tulisan kecil di atasnya, "Hari Ulang Tahun Uti".

Uti segera bangkit dari kasur usai sibuk dengan ponselnya. Bergegas membuka pintu, dan rupanya ia malah mendapati kejutan. Satu ember penuh tepung terjun bebas menimpa Uti ketika Uti membuka pintu. Tubuh Uti pun seketika diselimuti bubuk putih tepung terigu. Rupanya kejutan tidak berhenti sampai di sana. Kak Putra tiba-tiba muncul dari balik tembok dan langsung menceplokkan sebuah telur di atas kepala Uti. Sambil tertawa puas, Kak Putra pun segera undur diri dengan jurus langkah seribu.

Aku tertawa bukan main melihat semua kejutan itu. Aku dibuat terpingkal bahkan sampai berguling ke kanan ke kiri.

"Kak Putra!" Uti berteriak lantang. Ia pun segera mengejar Kak Putra bagai polisi mengejar pencuri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...