Aku memanggilnya Pak Guru. Disebut begitu sebab ia adalah guru di desaku. Setiap satu semester sekali, Desaku kerap kali kedatangan seorang guru dari kota. Namun Pak Guru bukanlah guru yang datang dari kota. Sewaktu kedatangannya ke desa, beberapa hari sebelumnya adalah kepulangan Guru Desa kami yang sebelumnya ke kota. Kepulangan yang disebabkan oleh habisnya masa mengajar di desa kami. Sedangkan untuk guru penggantinya, Kepala Desa menyebutkan kalau belum ada kabar dari kota. Pak Guru yang mengetahui hal itu pun menawarkan diri untuk menjadi guru sementara di desa kami secara sukarela.
Kedatangan Pak Guru sebenarnya bukan untuk menjadi guru. Ia datang dengan tujuan tersendiri, adalah pembuatan film dokumenter.
"Anggap saja sebagai balas Budi sebab para warga desa sudah menerima kedatangan saya ke sini." kata Pak Guru sewaktu ditanya alasannya untuk menjadi guru desa.
Meskipun Pak Guru bilang pengambilan perannya menjadi guru di desa kami adalah sebagai balas budi, perannya itu justru menumbuhkan lebih banyak balas budi untuk para warga desa. Pak Guru bukan sekadar mengajar anak-anak desa dalam pelajaran sekolah. Jasanya tidak terbilang banyak bagi desa: membantu warga dalam pertanian, mengembangkan listrik di desa dengan pembuatan kincir air, atau pengetahuan dalam mengurus hewan ternak.
Sayangnya keberadaan Pak guru tidak begitu lama. Satu bulan kemudian sejak kedatangannya, datang kabar bahwa guru pengganti akan datang dua hari lagi. Perihal film dokumenternya pun sudah selesai semua tahap pengambilan gambarnya. Untuk pengeditan Pak Guru bilang biar dilakukan di kota saja. Kabar itu pun jadi ucapan selamat tinggal sekaligus perpisahan Pak Guru dengan desa.
Lama tidak berjumpa. Lama pula namanya tidak terdengar. Desa dikejutkan dengan kabar bahwa Pak Guru merupakan calon anggota legislatif di pemilu terdekat. Kabar itu pun mengundang kegembiraan warga desa. Meskipun hanya satu bulan kami mengenal Pak Guru, tapi selama itu pula kami dapat menganggap bahwa Pak Guru adalah pribadi yang baik. Belum lagi kalau bicara soal jasa-jasa yang telah Pak Guru berikan untuk desa. Maka tanpa ragu dan tanpa bimbang, setiap warga keluar dari bilik pemilihan dengan senyum percaya diri dan yakin dengan pilihannya. Semua pilihan jatuh kepada satu nama, adalah nama Pak Guru. Walau sebenarnya ada sebuah keraguan dalam kepalaku yang membuatku berpikir dua kali untuk tidak memilih Pak Guru. Tapi aku anggap itu hanyalah prasangka buruk. Maka nama Pak Guru tetap yang jadi pilihan.
Usai pemilu berlalu dengan segala kemeriahannya. Desa kembali dikejutkan. Kali ini bukan sebab nama Pak Guru menjadi calon legislatif, atau berita kemenangan terpilihnya Pak Guru sebagai anggota legislatif. Kemenangan Pak Guru di desa kami adalah kemenangan mutlak. Tapi kemenangan itu belum menjamin bahwa dia terpilih juga di desa-desa lain. Kejutan itu adalah kembalinya Pak Guru ke desa kami.
Belum sempurna Pak Guru turun dari mobilnya, semua warga sudah berkumpul dan berdesak-desakkan menghampiri Pak Guru hanya sekadar untuk menyalami atau menyapanya. Semua warga gembira. Tapi timbul kekhawatiran dalam diriku dengan kembalinya Pak Guru ke desa. Kekhawatiran itu adalah pada dua kemungkinan. Dan keduanya adalah perihal pencalonan Pak Guru sebagai anggota legislatif di pemilu lalu. Kemungkinan pertama adalah perihal gagalnya Pak Guru di pemilu, dan kedatangannya kembali ke sini adalah untuk mengambil kembali semua apa yang sudah diberi seperti apa yang dilakukan oleh para calon legislatif lain ketika kampanye. Kemungkinan kedua adalah perihal kemenangan Pak Guru di pemilu, dan kedatangannya kemari adalah untuk mengucapkan terima kasih dan semakin gencar mencari muka.
"Lama tidak berjumpa." Pak Guru datang menghampiriku dan menyapaku lebih dulu sambil mengulurkan tangan.
Aku pun menggeleng cepat. Aku melihat Pak Guru tersenyum. Aku terima uluran tangannya dan detik itu pun semua kekhawatiran ku sebelumnya seketika hilang. Pak Guru yang kini berdiri di hadapanku adalah Pak Guru sama di kali pertama kami bertemu.
"Saya gagal." kata Pak Guru tiba-tiba. "Saya gagal di pemilu."
Seolah Pak Guru bisa membaca pikiranku atau wajahku tampak jelas menampilkan kekhawatiran. Pak Guru dengan inisiatif memberi jawaban dan penjelasan.
"Saya tidak kembali ke sini untuk mengambil apa yang sudah diberi." kata Pak Guru sambil tersenyum. "Saya sudah memperkirakan bahwa akan ada orang sepertimu."
"Maaf, Pak." Aku pun tertunduk malu.
Pak Guru menggeleng. "Kamu tidak salah. Kedatanganku waktu itu sebenarnya memang untuk kampanye. Saya juga tidak hanya datang ke sini, tapi juga ke desa-desa lain dengan tujuan yang sama, untuk kampanye tapi juga untuk membangun desa. Tapi di desa lain saya kalah telak, bahkan sampai tidak ada yang memilih. Entah sebab saya kalah pamor, atau banyaknya orang-orang dengan pemikiran seperti kamu. Saya kampanye dengan gaya sendiri." Pak Guru tertawa kecil. "Gaya kampanye yang rupanya dibenci oleh partai. Kamu tau apa kata partai setelah kegagalanku di pemilu?"
Aku pun kembali mengangkat kepala dan menggeleng.
"Mereka bilang, 'kamu hanya menghabiskan uang partai!'" Katanya dengan penuh ekspresi. "Pada akhirnya saya dikeluarkan dengan paksa."
"Saya turut prihatin, Pak."
"Ternyata melakukan perubahan itu tidak mudah, ya? Saya tau banyak orang merasa kalau ada yang salah dalam setiap wakil rakyat. Saya pun berpikir begitu. Dan saya yakin kamu juga berpikir hal yang sama. Maka saya pun memberanikan diri untuk terjun langsung. Walau pada akhirnya gagal juga."
"Tapi Pak Guru hebat sudah berani terjun langsung. Itu bukan hal yang mudah."
Pak Guru mengangguk. "Kau tau, seharusnya bagi siapa pun itu peserta pemilu, mau dari legislatif sampai presiden sekalipun, kalau nantinya terpilih, maka harus sepenuhnya menyerahkan diri pada negara dan melepaskan diri sepenuhnya dari partai pendukung. Sepenuhnya menjalankan tujuan negara, bukan untuk menjalankan tujuan partai. Partai pendukung berarti melepas tangan dari urusan negara. Sebab tujuan akhir partai politik adalah untuk memenangkan pemilu. Maka ketika sudah menang, biarkan para orang-orang terpilih itu mengabdi pada negara dengan sebenar-benarnya pengabdian."
Komentar
Posting Komentar