Nada duduk dengan dagu berpangku tangan, menatap sosok laki-laki hebat di depannya. Seorang laki-laki seumuran Nada dengan pakaian bernuansa langit cerah. Celana jeans biru dan kaos putih polos dilapisi kemeja lengan pendek berwarna biru juga. Nada memerhatikan setiap gelagat laki-laki itu dengan terus tersenyum. Sedangkan yang ditatap, sibuk memainkan jemarinya di atas kibor, matanya pun fokus menatap layar laptop. Sesekali ia tersipu malu tiap kali ia beradu tatap dengan Nada.
"Berhentilah menatapku begitu. Aku jadi tidak bisa fokus menulis." kata laki-laki itu.
Nada menggeleng. "Aku mau lihat Rama terus."
Rama tidak lagi protes. Meskipun fokusnya sedikit terganggu, tapi tumbuh dalam diri semangat membara untuk menulis, menulis skripsi tentu saja.
Keduanya kini ada di dalam sebuah kafe di dekat alun-alun kota. Rama berhenti menulis sejenak ketika seorang pelayan datang ke meja mereka dengan membawa dua gelas minuman di atas nampan. Nada pun sejenak menegakkan badan dan meraih pesanannya seraya mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih, Mas." kata Rama juga tidak mau kalah.
Pelayan itu pun mengangguk kemudian ia pamit undur diri.
Dari sudut kafe terdengar petikan gitar sekali-dua kali sebelum akhirnya membentuk sebuah alunan nada yang harmonis. Selanjutnya seseorang menyambut alunan gitar itu dengan suara merdunya.
Nada kembali duduk dengan dagu berpangku tangan setelah ia minum satu sedotan sekadar untuk membasahi tenggorokan. Rama pun demikian, diminumnya sedikit kemudian ia lanjut menulis sambil tetap tersipu malu dilihat Nada. Bersamaan dengan alunan lagu dari sudut kafe, pikiran Nada terbang jauh menggapai lembaran kenangan awal pertemuannya dengan Rama.
Rama adalah seorang laki-laki keren menurut kebanyakan orang. Ia berpenampilan rapih dan bergaya, berperilaku sopan, dan hal terpenting adalah ia pandai menyanyi. Nada setuju dengan semua itu, tapi bukan sebab semua itu Nada jatuh hati pada Rama. Rama memang keren, tapi di mata Nada, Rama adalah laki-laki hebat.
Pertemuan Nada dan Rama bukan di dalam mall, atau di tengah acara pentas seni atau konser musik, atau ketika ospek, atau di pantai apalagi di Bulan. Mereka bertemu di tempat sederhana, sesuai dengan mereka berdua yang merupakan pribadi yang sederhana. Mereka bertemu di dalam Angkutan Kota (Angkot).
Kala itu Nada dalam perjalanan pulang dari kampus naik angkot. Ketika di tengah jalan, naik seorang laki-laki dengan membawa gitar. Ditatapnya semua penumpang sebelum ia mengucap salam dan sapa dan bernyanyi sambil bermain gitar. Dia adalah Rama.
"Halo, Semuanya. Saya pengamen dan izinkan saya bernyanyi."
Pada awalnya tidak ada satu pun yang memperhatikan Rama, termasuk Nada. Semua penumpang menganggap Rama sama seperti pengamen lain yang hanya mengganggu perjalanan mereka. Sopir angkot pun tidak bertindak apa-apa sebab hal seperti ini sudah banyak terjadi.
Sebelum akhirnya perhatian semua penumpang tertuju pada Rama, termasuk sopir angkot yang mengintip lewat kaca kecil di atasnya. Semuanya tertarik dengan permainan gitar Rama. Belum lagi dengan suaranya. Bukan soal seberapa jago dan seberapa merdu, tapi perihal lagu apa yang dimainkan.
"Kita nostalgia sama-sama, ya." kata Rama sebelum mulai bernyanyi yang diiringi dengan petikan gitar intro lagu pembuka Doraemon.
Begitu Rama bernyanyi, banyak senyuman melingkar di bibir-bibir para penumpang. Seorang anak bersorak gembira mendengar nyanyian Rama, ibunya pun sibuk menenangkan anaknya tapi ikut tersenyum juga. Dua orang pelajar sekolah menengah saling terkekeh satu sama lain. Seorang lelaki dewasa yang duduk di pojokan angkot pun turut mengetuk-ngetuk kan jarinya di atas paha mengikuti alunan gitar Rama. Dapat dilihat dari kaca kecil di depan, sopir pun turut menikmati suara Rama.
Dan, Nada, tokoh utama dalam cerita ini, adalah pemilik senyuman paling lebar dari seluruh penumpang di sana. Taman bunga dalam dada Nada seolah baru saja memasuki awal musim semi. Bunga-bunga bermekaran dengan indah dan menenangkan. Matanya lekat menatap Rama. Tapi begitu tatapan mereka bertemu, Nada segera mengalihkan pandangan ke luar jendela. Dalam taman bunga itu seolah baru saja ada sekumpulan gajah yang melompat kegirangan.
Sampai di petikan gitar terakhir, beberapa penumpang memberikan tepukan tangan. Anak kecil yang melompat kegirangan adalah yang memandu tepukan tangan dari para penumpang.
Rama membuka topi yang dipakainya. Kemudian ia edarkan topi itu ke setiap penumpang sebagai wadah apresiasi untuk lagu. Tapi Nada tidak menanggapi sodoran topi itu. Pandangannya masih fokus melihat keluar jendela. Ia sedang berusaha menertibkan para gajah yang bermain di taman bunga dalam dadanya. Saat sodoran topi itu sampai di depan Nada, para gajah justru semakin menjadi-jadi. Nada pun menutup mata dan berusaha mengatur diri. Rama hanya menanggapi penolakan itu dengan senyuman. Setelah angkot berhenti di lampu merah terdekat, Rama pun turun dengan tidak lupa membayar ongkosnya. Sopir angkot sedikit terkejut akan hal itu, tapi Rama tersenyum dan diterimalah uang itu kemudian. Nada beranikan diri untuk membuka mata. Para gajah perlahan kembali pulang. Nada menarik napas dalam dan dihembuskan lagi pelan-pelan.
"Rama." panggil Nada.
Rama masih fokus menulis. Ia hanya bergumam pelan sebagai jawaban. "Hm?"
"Kamu masih suka menyanyi?"
Rama mengangkat kepalanya. Sejenak ia berhenti menulis. Kemudian ia mengangguk. "Iya, masih. Kenapa? Aku, kan, memang hobi menyanyi."
Nada menegakkan badannya sebab tidak puas dengan jawaban Rama. "Bukan soal hobi. Maksudku menyanyi di jalan."
Rama tertegun sebentar. Kemudian ia kembali melihat laptopnya sejenak. Menyimpan hasil tulisannya untuk sementara, dan sepenuhnya ia berikan perhatiannya pada Nada.
"Kenapa?" Rama balik bertanya.
"Aku cuma teringat aja sama awal pertemuan kita."
Rama menghembuskan napasnya gusar sambil merebahkan diri di sandaran kursi. "Aku sudah pernah bilang untuk tidak membahas hal itu lagi, Nada."
"Aku cuma teringat aja, Rama. Lagipula, pertemuan kita memang seperti itu. Memangnya kenapa kamu tidak mau membahasnya lagi?"
Sekali lagi Rama menghembuskan napasnya gusar. "Saat itu aku sedang jadi seorang pengamen, Nada. Dan aku malu akan hal itu."
"Tidak usah malu kalau pengamen itu adalah kamu. Kamu itu hebat Rama."
Dalam satu tarikan napas panjang, Nada siap kembali berkelana ke masa lalu. "Kamu ingat apa kata supir angkot waktu itu?"
Itu terjadi di pertemuan ketiga mereka. Saat pertemuan kedua gerombolan gajah itu masih belum bisa Nada tangani dengan baik. Jadi sama seperti pertemuan sebelumnya, ia tidak begitu memerhatikan Rama.
Pertemuan ketiga jadi momen adanya dialog antara Nada dan Rama. Kala itu Rama mendapat diskriminasi oleh sopir angkot. Dianggapnya Rama sama seperti pengamen lainnya.
"Ngamen gratis." kata sopir angkot dengan ketus.
Saat itulah keajaiban terjadi. Para gajah tidak lagi melompat-lompat. Mereka duduk dengan tertib hingga Nada bisa berani berucap.
Nada yang kala itu duduk di dekat sopir segera menahan Rama agar tidak turun kembali dari angkot. "Tidak apa-apa. Dia bukan pengamen biasa." kata Nada. "Saya yang jamin." Kemudian mengangguk mantap.
Melihat keyakinan Nada, sopir itu pun tidak lagi berkata dan hanya melambaikan tangan sebagai isyarat agar Rama tetap naik. Selanjutnya adalah panggung Rama. Masih sama seperti sebelum-sebelumnya, Rama tidak disambut, tapi begitu selesai tampil, ia bahkan di antar turun. Yang berbeda adalah Nada. Ia bahkan kini berani beradu tetap dengan Rama. Ia tidak palingkan lagi wajahnya dari menatap Rama. Para gajah seolah duduk tertib menyaksikan detik-detik terbenamnya matahari. Menenangkan.
Selesai tampil, Rama tidak langsung turun. Ia baru turun ketika Nada memberi isyarat berhenti pada sopir. Rama turun lebih dulu dan tidak lupa membayar ongkosnya. Ia pun tidak langsung pergi, melainkan menunggu Nada turun dan selesai membayar ongkosnya.
"Terima kasih." kata Rama.
Seolah matahari sudah sepenuhnya terbenam, para gajah pun bangkit dan berduyun-duyun kembali pulang. Para gajah memang tidak lagi melompat-lompat, tapi getarannya masih terasa oleh Nada. "I-iya, sama-sama." kata Nada sedikit gagap.
Melihat Nada, Rama pun tersenyum. Kemudian ia ulurkan tangannya dan mulai memperkenalkan diri. "Saya Rama. Salam kenal."
Dengan ragu-ragu Nada pun menjawab tanpa menerima uluran tangan Rama. "Sa-salam kenal. Sa-saya Nada."
...
"Jadi, kenapa lagu Doraemon? Lagu Shinchan? Lagu Upin-Ipin? Soundtrack Naruto? Lagu Spongebob? Kenapa kamu memilih lagu seperti itu? Lagu-lagu kartun?"
"Karena jalanan adalah tempat yang bising, panas, dan seringkali membuat tidak nyaman. Kalau menyanyikan lagu galau, lagu sedih, atau lagi yang sering dibawakan oleh pengamen kebanyakan, kiranya kurang cocok dengan situasi jalanan. Para pengguna jalan itu butuh hiburan, sebenar-benarnya hiburan. Dan lagu-lagu kartun setidaknya berhasil membuat mereka tersenyum sebagai tanda kalau mereka terhibur."
Komentar
Posting Komentar