Lanjutan dari "Bersama Selamanya"
Kala menyebutnya Layar Imaji.
Kala dan Kila merebahkan diri di atas tikar di pekarangan rumah Kila. Keduanya terlentang menghadap langit. Kila menekuk wajahnya sebab ia merasa telah ditipu oleh Kala.
Kala bilang, "Sore ini kita akan pergi menonton." katanya pagi tadi.
Begitu sore tiba, Kila sudah berpakaian rapi. Ia bersemangat sekali untuk sore ini. Setelah pertengkarannya semalam dengan Kala, atau mungkin bukan bertengkar, tapi yang jelas Kila merasa jengkel tapi senang juga, tapi lebih banyak jengkelnya.
Kala tiba di pintu depan. Diketuknya pintu rumah Kila yang jaraknya bahkan tidak sejauh lomba lari sprint 100 meter. Kemudian ia mengucap salam.
Kala disambut oleh senyuman paling manis sahabatnya itu yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Kila tampil dengan selembar kaus lengan pendek yang dilapis oleh blazer lengan panjang dan memakai jins panjang. Sepatunya adalah sneakers yang dibelikan Kala tahun baru lalu.
"Gimana tampilan gue?" tanya Kila sambil berpose.
Kala hanya mengamatinya dari ujung kaki sampai kepala. Kemudian ia mengacungkan dua jempolnya.
"Bibi ada?" tanya Kala.
Kila berhenti berpose sebab bingung. "Bibi?" tanyanya. Dibalas anggukan kepala oleh Kala. "Ada di dalam. Bibi kenapa? Ada perlu sama Bibi?"
"Bisa tolong panggilkan?" tanya Kala lagi. Kali ini sambil tersenyum.
Masih dalam serangan bingung Kila pun kembali masuk untuk menjemput Bibi. Tidak lama berselang Bibi pun muncul dari balik daun pintu.
"Ada apa, Den?" tanya Bibi.
"Kala, Bi." Kala mengoreksi.
"Iya, Den Kala. Ada apa, ya?"
Kala tidak mengoreksinya lagi. Ia tidak mau hal yang sama terulang kembali, lagi, dan terus. Kala menggeleng sekali. "Bibi punya tikar?"
"Tikar? Oh, ada." jawab Bibi.
"Tikar?" tanya Kila.
"Iya, Tikar." ini Kala. "Tolong ambilkan, ya, Bi."
Bibi tidak banyak bertanya. Ia pun bergegas pergi dan segera kembali dengan segulung tikar di tangan.
"Tikar untuk apa, Kal?" tanya Kila lagi. "Bukannya kita mau pergi menonton?"
Kala mengangguk. "Kita memang mau pergi menonton."
Kila berkedip dua kali. "Terus tikar buat apa? Ngapain bawa tikar ke bioskop?"
Kala hanya tersenyum. "Gue enggak bilang kita akan menonton di bioskop."
Sekali lagi Kila berkedip dua kali. "Kalau bukan menonton di bioskop mau nonton di mana? Layar tancap?"
Kala menggeleng. "Lebih hebat dari itu."
Bibi menyodorkan tikar yang dibawanya pada Kala. Kala pun menerimanya segera.
"Terima kasih, Bi." katanya.
"Tikar buat apa, ya, Den? Bukannya kalian mau pergi menonton, ya?" tanya Bibi. Kila pun mengangguk cepat.
Kala tidak menjawab. Ia malah menaruh jari di depan bibirnya. "Sst. Bibi enggak usah kepo." katanya sambil menyeringai.
Bibi mematung. Kila jangan ditanya. Dia lebih diam daripada patung.
"Kita pamit, ya, Bi." kata Kala kemudian.
Bibi berkedip sekali dan sadar lagi. "I-iya, Den." katanya. Kemudian ia kembali masuk ke dalam rumah. Lanjut menyapu, mencuci, atau menanam jagung.
"Ayo, Kil." ajak Kala. "Kita berangkat."
Kila bergeming. Ia masih lebih dari sekadar mematung. Sebab tidak direspon, Kala pun menarik pelan tangan Kila. Segera Kila pun kembali sadar. Ia melihat tangannya ditarik oleh Kala. Bersamaan dengan itu, tanpa ada bukti ilmiah, ia seperti merasakan seseorang bermain bola beklen di dalam dadanya. Entah kenapa ia pun jadi gugup.
Kala tidak mengajak Kila pergi jauh. Bahkan pagar rumah pun tidak dilewati. Hanya sampai pekarangan rumah. Rumah Kila punya pekarangan yang cukup luas. Jadi cukup untuk Kala bisa menggelar tikar di sana. Ia pun melepas sepatunya dan duduk di sana kemudian berbaring menghadap langit.
"Bukan bioskop. Apalagi layar tancap. Lebih hebat daripada itu. Layar Imaji." kata Kala.
Kila kembali mematung. Pemain beklen di dadanya sudah lama pergi. Gugupnya pun seketika menghilang.
Kala hanya melirik Kila. Ia tidak ada niat untuk kembali menyadarkan sahabatnya itu. Akhirnya Kila pun harus menyadarkan dirinya sendirinya. Kila menggeleng cepat.
"Ih, Kala!Lo nipu gue?" Kila berkata lantang.
"Bukan sahabatnya kalau enggak suka tipu-menipu." Kala berkata santai. "Eh, tapi gua enggak sepenuhnya menipu, kan? Enggak ada yang bilang kita akan pergi menonton di bioskop."
"Tapi biasanya orang menonton itu di bioskop, Kala!"
Kala menarik napas dalam dan mengembuskannya lagi. Kemudian ia bangkit terduduk. "Kita ini cuma sahabat, Kil. Enggak usah lah sampai pergi ke bioskop. Biasanya juga nonton Drakor di laptop." kata Kala. Pandangannya lurus menatap langit.
Kila ikut duduk di sebelah Kala. "Memangnya sahabat enggak boleh menonton bersama di bioskop, Kal?"
Kala beralih menatap Kila. "Nonton sama lo di bioskop?" Kala memicingkan matanya. "Gue, sih, ogah. Mending gue nonton sama tukang cilok sekeluarga."
"Ih, Kala!" sekali lagi Kila berseru lantang. Ia mendorong Kala sekuat tenaga sampai sahabatnya itu jatuh terjengkang. Pipi Kila menggelembung.
Meskipun dirinya jatuh terjengkang, tapi Kala justru tertawa puas. "Bercanda, Kil." katanya. "Sudah. Jangan ngambek. Lihat ke atas. Ini ada layar paling lebar di bumi." Kala menunjuk langit. "Lo pernah lihat awan mirip kucing, kelinci, atau mungkin masbro?"
Pelan-pelan Kila tidak kesal lagi. Ia bahkan hampir tertawa mendengar nama hewan paling santai di dunia. "Kenapa harus masbro, sih?" katanya sambil tertawa pelan.
Kala pun ikut tertawa melihat sahabatnya itu ceria lagi. "Ya, kan, siapa tau, Kil. Jadi, pernah?"
Kila menggeleng. "Enggak pernah. Tapi gue pernah lihat awan jadi kancil."
Kala tersenyum remeh. "Imajinasi Lo kurang liar, Kil." Kala menatap langit. "Lo mau atau apa yang gue lihat sekarang, Kil?"
"Jadi apa awannya?" tanya Kila.
Sambil menahan tawa, Kala balik melihat Kila. Kila tampak antusias. Wajah penasarannya itu terpampang jelas di depan muka. "Enggak jadi." kata Kala. Tawanya pun lepas sejadi-jadinya.
"Ih, Kala!" Pipi Kila menggelembung lagi. Menggelembung lagi. Menggelembung lagi. Kalau Kala tidak segera menarik tangannya, mungkin Kila sudah jauh terbang sampai Cappadocia.
...
"Gue lihat kepiting adu tinju yang lebih mirip adu pedang!"
"Lo tau di mana mereka tanding?"
"Di mana?"
"Isekai."
Komentar
Posting Komentar