Langsung ke konten utama

Blue-Wave

 Blue-Wave

Sore menjelang malam. Dalam sebuah kafe pinggir jalan dekat taman, mengalun sebuah lagu. Dikumandangkan oleh seorang wanita cantik jelita di salah satu sudut kafe. Bersamaan dengan alunan gitar akustik ia berhasil menciptakan sebuah harmoni indah kala senja sedang tampil di panggung langit.

Satu petikan gitar terakhir jadi tanda usainya pertunjukan indah nan mempesona itu. Selanjutnya terdengar gemuruh tepuk tangan dari para pengunjung kafe di sela mereka menyantap hidangan masing-masing atau sekadar minum kopi.

Wanita itu tersenyum melihat wajah para pengunjung yang bersedia mendengar nyanyiannya. Sambil menunduk malu ia pun mengucapkan terima kasih untuk itu.

Namanya Hana. Dialah pemilik suara indah itu. Adalah seorang penyanyi amatir yang kerap kali mendapat panggilan menyanyi di beberapa kafe. Bagi Hana, itu semua ia lakukan atas dasar kesenangan. Ia pun tidak pernah terpikirkan kalau seperti hari ini, dan hari-hari lain yang serupa akan ia alami, bernyanyi untuk banyak orang. Ternyata kebiasannya bernyanyi di kamar mandi bisa berkembang jadi sebesar dan sehebat ini. Memang hanya sekadar penyanyi kafe, belum menjadi penyanyi profesional dengan menyanyikan lagu sendiri, tapi itu sudah cukup hebat dan luar biasa bagi Hana, keluarga Hana, dan teman-teman Hana.

Sudah cukup hebat dan luar biasa bukan berarti hanya berhenti sampai situ. Namanya manusia tidak akan pernah merasa puas. Begitupun Hana. Sudah jadi impian semua penyanyi untuk bisa bernyanyi dengan lagu sendiri. 

"Aku pun ingin menyanyikan laguku sendiri." kata Hana pada sahabatnya. 

"Kalau begitu buatlah lagumu sendiri." sahut sahabatnya itu bersemangat. Ditatapnya mata Hana dengan lekat. "Aku, sahabatmu, Putri Wulandari, dengan senang hati menawarkan diri untuk jadi orang pertama yang akan mendengarkan lagumu itu."

Hana berkedip dua kali. Kemudian ia tertawa kecil mendengar kalimat sahabatnya itu. Putri memang pribadi yang selalu bersemangat.

"Tapi membuat lagu itu tidak mudah, Put."

"Selama kamu bisa bernyanyi, maka segalanya masih mungkin terjadi, Na. Berbeda denganku yang punya suara sumbang bak balon kempis." Putri menggelengkan kepala. "Maka punahlah manusia sebab wabah suara sumbang."

Sekali lagi Hana tertawa kecil. "Baiklah, Tuan Putri."

"Berhentilah memanggilku begitu!" Putri geram. "Namaku memang Putri. Tapi aku bukanlah seorang putri seperti cerita dongeng." Putri berhenti sejenak. "Atau akan aku izinkan kamu memanggilku seperti itu kalau benar ada seorang pangeran berkuda putih yang datang padaku dengan Membawa kasih dan sayang."

Putri selesai dengan kalimatnya. Ia pun mengangguk dua kali sebab puas dengan apa yang baru saja ia katakan.

Itu adalah cerita sebelum Hana naik panggung hari ini. Usai pertunjukkan selesai, Putri langsung mendatangi Hana yang baru turun panggung dan memeluknya erat.

"Hebat seperti biasa." Putri mengacungkan jempol tepat di depan wajah Hana.

"Terima kasih, Put." jawab Hana.

Usai tampil, mereka tidak langsung undur diri. Sejenak keduanya sekadar duduk-duduk dan minum kopi, dan bercakap-cakap. Putri asyik bercerita soal kegiatannya hari ini. Sedangkan Hana malah tidak fokus mendengarkan. Matanya lurus menatap ponsel. Dilihatnya sekumpulan orang menari dengan semangat sekaligus bernyanyi dengan suara yang tetap indah didengar. Para penampil dari Negeri Gingseng sana.

"Put." Hana tiba-tiba berucap. Putri pun berhenti dan menutup mulut. "Kamu masih aktif menari?" tanya Hana kemudian.

Putri berkedip dua kali dengan mulut menganga. "A-aku dari tadi bercerita panjang lebar soal kegiatanku di sanggar tari, Na!" katanya jengkel.

"Iyakah?" Hana bertanya polos.

Putri menarik napas panjang sekali namun terus dibuang segera. Kalau tiupannya dapat dilihat, itu sudah seperti kawanan domba yang baru keluar kandang.

"Iya, aku masih aktif. Kenapa?"

Hana masih lurus menatap ponselnya. Ia pun tersenyum tipis. "Andai aku bisa menari juga. Sepertinya asyik kalau aku bisa melakukan keduanya, bernyanyi dan menari, seperti mereka." Hana menyodorkan ponselnya ke depan wajah Putri.

Putri mengangguk dua kali kemudian ia berdecak. "Berulang kali aku mengajakmu untuk ikut aku belajar tari, tapi kamu menolak terus. Sekarang kamu malah ingin seperti mereka? Para Idol itu?"

Hana mengangguk semangat. Ia semakin melebarkan senyuman.

"Kalau begitu, besok ikut aku ke sanggar tari."

Kali ini Hana menggeleng. "Tidak mau. Aku tidak pandai menari, Put."

Hana teringat akan pengalaman menarinya di masa sekolah menengah. Hana dan Putri adalah sepasang sahabat kecil. Orang tua mereka dekat, rumah mereka pun berdekatan, di mana Hana bersekolah di situ pula Putri ada.

Pengalaman pertama Hana menari adalah saat ujian kesenian di sekolah menengah. Adalah ujian menari kelompok. Baginya itu bukanlah pengalaman yang cukup indah untuk dikenang. Pasalnya dia memang tidak pandai menari. Sering lupa gerakan. Tidak pandai mengatur tempo. Dan tidak selaras dengan gerakan teman yang lain. Selama latihan ia memang begitu payah. Begitu ujian tiba, para guru kesenian menyaksikan mereka menari, Hana gugup, demam panggung. Ia bahkan lebih payah lagi di atas sana.

Putri mengangguk sekali. Ia paham akan keputusan Hana.

"Na," panggil Putri lagi.

Hana masih fokus dengan ponselnya. Ia pun hanya bergumam. "Hm?"

"Aku bisa menari, tapi suara tidak merdu--"

"Bilang aja jelek." potong Hana.

Putri membuka matanya lebar. Sedikit terkejut dengan kalimat singkat tiga kata yang amat sangat menyentuh hati. Bagai disentuh oleh tentakel ubur-ubur kotak.

"Tidak usah diperjelas bisa, kan?!" Putri geram.

"Iya maaf. Kamu mau ngomong apa, sih, Put?"

Sejenak Putri mengambil cangkir kopinya. Isinya hampir habis. Ia pun buat tandas dalam satu tegukan. Ditaruhnya lagi cangkir itu ke atas meja.

"Aku coba per singkat, ya. Aku bisa menari, tapi tidak bisa bernyanyi." Dilihatnya sejenak Hana yang sedang fokus menyimak. "Kalau ditanya apakah aku mau menjadi idol, ya mau lah. Apalagi kalau bisa seperti mereka di Korea sana."

"Tapi suaramu jelek." Hana berkata singkat.

Sekali lagi perkataannya dipotong. Kali ini Putri hanya terdiam sebentar. "Iya, suaraku jelek. Suaramu bagus, tapi kamu tidak bisa menari." Dalam satu tarikan napas panjang, Putri siap melayangkan serangan balik. "Kalau kulihat kamu menari, itu sudah seperti senam SKJ!" Putri tersenyum menang.

•••

Perihal masa depan itu tidak ada yang tau. Apa yang akan terjadi satu tahun ke depan, seminggu ke depan, bahkan untuk hitungan detik di masa depan pun tidak ada yang tau. Semuanya hanya ada dalam bentuk kemungkinan-kemungkinan.

Satu tahun sejak cerita hari itu. Pada percakapan ringan antara sepasang sahabat kecil di sebuah kafe menjelang tenggelamnya matahari. Hana menangis haru di atas panggung besar di hadapan ribuan penonton. Putri pun turut menangis dalam pelukan Hana. Ada juga Melisa, Fani, Bagas, David, dan Agus turut berlinang air mata di atas panggung. Begitupun sekumpulan orang di belakang panggung yang telah membantu penampilan mereka. Tidak lupa juga para penonton yang bertepuk tangan gemuruh dengan sederet air mata turun sampai ke pipi. Semuanya menangis. Tapi bersamaan dengan tangis itu terukir lengkungan indah bulan sabit di masing wajah mereka. Mereka tersenyum dalam sekumpulan tangis bahagia.

Hana, dan Putri, Melisa, Fani, Bagas, David, dan Agus, mereka tergabung dalam sebuah kelompok seni bernama BlueWave. Ombak biru artinya. Sebab mereka adalah seperti ombak di laut. Bukan hanya indah dipandang, tapi juga nyaman di dengar. Seperti deru ombak yang menyenangkan.

BlueWave adalah sebuah kelompok seni yang memadukan antara musik dan tari. Sekilas memang terdengar seperti "Idol". Tapi mereka bukan Idol. Sebab Hana tidak pandai menari, Putri dan lima anggota lainnya pun sumbang dalam bernyanyi. Kelompok itu hanya punya satu vokal, yaitu Hana. Sisanya adalah para penari. Disebut sebagai penari latar, itu bukan mereka. Sebab mereka dan Hana adalah satu kesatuan.

Tangis para penonton adalah sebab haru menyaksikan penampilan Hana dan kawan-kawan, BlueWave. Bukan hanya sebab lagu yang dinyanyikan Hana, tapi juga visualisasi lagu yang ditampilkan oleh para penari BlueWave. Tarian kontemporer yang penuh akan cerita dan rasa dari para penari itu diiringi langsung oleh suara indah merdu satu-satunya vokalis BlueWave, Hana.

Adapun sekumpulan tangis yang lain adalah bentuk bangga bagi Hana, dan Putri, Melisa, Fani, Bagas, David, dan Agus, dan segelintir orang di belakang panggung atas apa yang telah mereka lalui untuk bisa sampai di titik ini, di panggung ini, sebuah panggung besar yang hanya diperuntukkan bagi mereka. Mereka menyebutnya Debut Showcase.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...