Dia adalah adikku. Namanya Dinda. Kelas 7 Sekolah Menengah Pertama sejak satu bulan lalu. Selama satu bulan itu, kulihat semuanya berjalan lancar. Dinda baik-baik saja dengan sekolah barunya. Wajah cerianya selalu ia tampilkan setiap sepulang sekolah. Ia pun gemar menceritakan kegiatan hariannya selama di sekolah padaku. Dan semua cerita yang kudapat dan kudengar darinya adalah cerita menyenangkan. Tapi tidak sampai hari ini.
Pukul dua siang adalah jam pulang sekolah Dinda. Tidak seperti biasanya yang selalu ceria, hari ini Dinda pulang dengan wajah datar.
"Lagi capek aja." katanya.
Bukan hanya wajah cerianya yang hilang, tapi juga cerita menyenangkannya pun turut hilang. Sepulang sekolah, ia langsung masuk kamarnya dan tidak keluar kamar sampai hari hampir gelap. Biasanya dia akan menemuiku untuk bercerita selepas dia ganti seragam. Tapi tidak hari ini.
Sebab tidak kunjung keluar kamar aku pun memutuskan untuk menemuinya. Menyapanya dengan riang seperti kebiasan Dinda yang juga kerap menyapaku begitu. Kudapat Dinda sedang duduk di depan meja belajarnya.
"Lagi mengerjakan tugas, Dik?" tanyaku.
Dinda menghela napas. "Iya, Kak. Banyak banget tugasnya." jawabnya.
Aku berjalan mendekat dan berdiri tepat di belakang kursi. "Sekolah hari ini capek banget, ya? Lemes banget nih kayaknya."
"Banget, Kak." kata Dinda singkat. Kemudian ia membalikkannya menghadapku. "Kakak ada perlu sama aku?" tanya Dinda.
Aku menggeleng. "Enggak ada. Cuma mau lihat kamu aja. Habisnya kamu enggak keluar kamar sedari sepulang sekolah."
"Aku enggak apa-apa, Kak. Kakak keluar, ya? Aku enggak bisa fokus mengerjakan tugas kalau ada kakak."
"Mau Kakak bantu?"
Dinda menggeleng. Kemudian ia bangkit dari kursinya dan mendorongku sampai depan pintu kamarnya. "Aku enggak apa-apa, Kak." katanya padaku sambil tersenyum sebelum ia menutup pintu kamarnya.
Tentang semua itu, aku tidak banyak bertanya pada Dinda. Sebab aku pun pernah merasa lelah sepulang sekolah. Bahkan setibanya aku di bangku kuliah, tugas jauh lebih menumpuk lagi. Menurutku, Dinda sedang butuh waktu sendiri untuk beristirahat. Aku memang merasa sedikit terusir. Tapi sudah tidak terhitung lagi bagiku berapa kali aku mengusir Dinda ketika ia sedang ingin bercerita.
Sampai waktu makan malam, ternyata memang semuanya baik-baik saja. Dinda kembali ceria ketika ia menonton kartun di televisi. Juga kembali menjadi adik paling menyebalkan di rumah. Si paling jahil kembali beraksi. Aku hanya bisa menarik napas dalam dan menghembuskannya cepat ketika dijahili.
Sebab kejahilan itu, kupikir diamnya Dinda sepulang sekolah hanya terjadi hari ini saja. Tapi rupanya ini terus berlanjut sampai empat hari berikutnya. Tepat satu Minggu waktu sekolah Dinda. Dan akhir pekan, semuanya kembali seperti biasa. Dinda kembali ceria dan bercerita.
Hari senin. Dinda memintaku untuk berangkat sekolah bersama. Aku tentu saja setuju. Sebab jalan bersama Dinda memang selalu menyenangkan. Juga cerita-cerita Dinda yang kerap kali berhasil melupakan sejenak tugas-tugas kuliah yang kian hari makin gencar meniupkan angin di kepala. Beruntung kepalaku masih bisa bertahan untuk tidak meledak.
Sampai di sekolah, Dinda disambut dua orang temannya. Dinda pun menyapa mereka dengan semangat. Ia bahkan langsung lari begitu saja tanpa pamit lebih dulu padaku. Sepertinya ia lupa kalau hari ini kita berangkat sekolah bersama. Aku hanya tersenyum melihat Dinda dan dua temannya. Sekali lagi, sepertinya Dinda memang baik-baik saja. Diamnya Dinda selama satu Minggu ini memang disebabkan menumpuknya tugas bukan sebab lain yang lebih buruk yang kerap kali muncul di kepala.
Dinda senang aku pun ikut senang. Tapi kesenangan itu tidak bertahan lama ketika aku teringat kembali perihal tugas-tugas kuliah. Aku pun bergegas menuju kampus dengan kecepatan cahaya.
"Namanya Satpol PP. Satuan Polisi Perundungan Pelajar." kata Dinda sepulang sekolah.
Aku tidak menyangka kalau ternyata apa yang ada di kepalaku itu benar. Katanya Dinda jadi korban perundungan hanya karena ia selalu mampu menjawab pertanyaan guru dengan benar.
Aku terbangun dari tidur ketika Dinda masuk ke kamarku dengan rusuh. Kulihat wajahnya baik-baik. Hari ini ia pulang dengan ceria. Ia pun sudah siap dengan ceritanya.
Satu minggu kemarin, Dinda jadi korban perundungan teman-temannya. Ia diminta untuk memberi jawaban pada para perundungnya sewaktu ujian. Dinda tentu saja menolak keras akan hal itu. Sebab Ibu mendidik kami untuk senantiasa berlaku jujur. Dengan memberi mereka jawaban, itu sama saja kalau Dinda membantu mereka untuk mencontek. Tapi penolakan Dinda justru jadi penyebab ia dirundung. Dinda jadi sering dijahili. Disandung kakinya ketika sedang berjalan, ditarik kursinya ketika hendak duduk, dan alat-alat tulisnya pun kerap kali disembunyikan sampai ia kena marah guru. Itulah alasan kenapa Dinda jadi pendiam setiap sepulang sekolah dan mengurung diri dalam kamar seharian dengan alasan banyak tugas.
"Kenapa baru cerita sama Kakak sekarang, sih?" Aku benar-benar geram. Kulihat Dinda menunduk dalam ketika aku bertanya demikian. "Kakak tau kalau kamu takut buat cerita ke Ibu, tapi harusnya kamu bisa cerita ke kakak, kan?"
"Aku enggak berani." kata Dinda pelan. "Katanya kalau aku cerita ke siapa pun nanti mereka akan mengadukanku pada guru."
"Mengadu apa? Seharusnya kamu yang mengadukan mereka pada guru."
"Karena aku sempat mendorong mereka sampai jatuh sebab kesal."
"Kamu emang harus begitu! Kamu enggak salah. Kamu enggak usah takut. Mereka memang pantas menerimanya."
"Tapi aku jadi kena marah guru, Kak." Dinda mengangkat kepalanya. "Hampir setiap hari aku dipanggil guru BK sebab dikira tidak mengerjakan PR dengan alasan bukunya tertinggal. Padahal mereka yang menyembunyikan-nya."
Aku menggeleng dua kali. "Besok Kakak akan datang ke sekolah. Enggak apa-apa. Ibu enggak perlu tau tentang ini. Kakak akan menyelesaikannya besok." Aku berseru semangat dan bangkit berdiri.
Dinda menahanku. "Enggak usah, Kak. Hari Jum'at kemarin aku didatangi dua kakak kelas dan mereka tanya-tanya tentang mereka. Mereka bilang katanya anak-anak yang merundungku akan segera ditangkap. Dan hari ini, mereka semua enggak ada di kelas. Kayaknya mereka beneran sudah ditangkap."
"Ditangkap?"
Dinda mengangguk mantap. "Mereka sudah ditangkap Satuan Polisi Perundungan Pelajar."
...
Aku sudah memasuki tahun terakhir perkuliahan. Selain penulisan skripsi, aku juga harus melakukan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Aku akan melakukan magang di sekolah yang kupilih, dan sekolah itu adalah sekolah Dinda. Alasan pertama tentu sebab adanya Dinda. Meskipun sudah satu bulan lewat sejak pengakuan Dinda bahwa dia dirundung teman-teman, dan katanya para pelaku sudah ditangkap, tapi aku tetap khawatir. Alasan kedua adalah pertanyaan seputar Satuan Polisi Perundungan Pelajar. Aku ingin mencari tau lebih. Sebab Dinda tidak banyak bercerita tentang itu.
"Eh, aduh, harusnya aku enggak cerita soal ini ke Kakak." kata Dinda.
"Loh, kenapa?"
"Emmm... gini, ya, Kak. Ini tuh semacam agen rahasia yang bergerak sembunyi-sembunyi gitu." terang Dinda. "Walaupun sebenarnya rumor tentang Satuan Polisi Perundungan Pelajar ini udah kudengar sedari hari pertama sekolah."
Aku menyimak dengan baik. Aku anggukan kepala untuk setiap kalimat Dinda. Penjelasannya itu membuatku semakin penasaran sekaligus takjub. Ada banyak pertanyaan dalam kepala yang sebenarnya ingin aku tanyakan lebih jauh lagi. Tapi kalau Dinda sudah berkata begitu, rahasia katanya, berarti aku harus mencari narasumber lain untuk mendapat jawaban.
Kegiatan belajar mengajar di sekolah Dinda ternyata biasa saja sama seperti kebanyakan sekolah lain. Padahal aku mengira kalau akan ada sedikit perbedaan. Aku mengajar matematika di kelas 8. Sama seperti kebanyakan siswa di mana pun, matematika juga masih jadi salah satu musuh terbesar kebanyakan siswa di sini. Aku memang sudah menyiapkan diri untuk itu.
Perihal Satuan Polisi Perundungan Pelajar, aku tidak tau harus bertanya pada siapa. Bukannya aku berharap adanya perundungan agar aku bisa dapat petunjuk, tapi kalau ternyata memang terjadi perundungan sekiranya petunjuk akan lebih mudah ditemukan.
Aku bukannya ingin mengucap syukur atau mengatakannya sebagai sebuah keberuntungan, tapi seminggu lalu aku melihat seorang siswi sedang dirundung oleh teman-temannya. Begitu aku mendatangi mereka, para perundungnya itu sontak lari kocar-kacir menjauh dan meninggalkan siswi itu. Namanya Tiwi.
Sejak hari itu, setiap jam istirahat, aku jadi sering menghabiskan waktu bersama Tiwi. Makan batagor bersama di kantin. Besoknya ganti menu jadi gorengan dan es teh. Hari berikutnya lagi adalah nasi goreng. Setiap hari di kantin sekolah sampai habis satu Minggu kegiatan sekolah. Aku melakukannya tentu agar dia tidak dirundung lagi. Tapi rupanya Tiwi tetap dirundung juga oleh teman-teman selagi sendirian. Aku sedikit menyayangkan akan hal itu, tapi alasan lainnya adalah agar aku mendapatkan petunjuk perihal Satuan Polisi Perundungan Pelajar. Tiwi sebenarnya tau perihal Satuan Polisi Perundungan Pelajar, tapi hanya sekadar tau. Bahkan ia kecewa kenapa Satuan Polisi itu tidak cepat bergerak membantu dirinya yang mendapat perundungan.
Hari terakhir kegiatan sekolah dalam satu Minggu, Hari Jum'at. Saat aku dan Tiwi sedang makan bersama di Kantin seperti biasa, dua orang siswa dan siswi datang menghadap kami. Katanya mereka ingin berbicara dengan Tiwi. Sedangkan yang ingin diajak bicara tampak kebingungan.
"Aku tidak kenal siapa mereka. Tapi sepertinya mereka kakak kelas." kata Tiwi. Aku sebenarnya tau siapa mereka. Mereka memang kakak kelas. Aku pernah melihat mereka ada di barisan kelas 9 sewaktu Upacara. Tapi aku tidak mengenal lebih detail siapa mereka.
"Permisi, Bu. Maaf bolehkah kami meminta waktunya sebentar untuk berbicara dengannya?" kata salah satu dari Kakak kelas itu.
Perkataan yang sangat sopan sekali. Padahal aku tau bahwa arti sebenarnya adalah sebuah pengusiran. Tapi aku bergeming sebentar kemudian bangkit dan berdiri di belakang mereka.
Aku berkata pelan, "Apakah kalian dari Satuan Polisi Perundungan Pelajar?"
Keduanya tampak sedikit tersentak dan saling beradu pandangan.
"Tidak apa-apa." Kataku cepat. "Kalian kenal Dinda? Dia adalah adikku. Kalau kalian mengingatnya, Dinda adalah salah satu korban perundungan sebulan lalu."
Mereka masih tidak merespon apa-apa.
"Kalian akan melakukan interogasi, kan? Hari Senin lalu saya sempat melihat Tiwi dirundung oleh teman-temannya. Apakah saya boleh ikut?"
Sekali lagi mereka beradu pandang. Satunya menggeleng satunya lagi mengangguk. Kemudian dalam satu embusan napas, keduanya pun mengangguk ke arahku.
Aku pun bersorak ria, berputar-putar, dan melompat kegirangan. Tentu itu semua hanya terjadi di dalam kepala. Sedangkan yang orang lihat hanyalah aku yang tersenyum lebar. Aku seperti baru saja melakukan selebrasi untuk kemenangan besar. Karena bagiku memang begitu. Aku sudah menunggunya hampir sejak seminggu lalu. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan Satuan Polisi Perundungan Pelajar.
Kami semua berjalan menuju ruang BK. Dalam ruangan sudah menunggu dua orang guru di sana. Aku mengenali keduanya. Mereka adalah guru pembimbingku di sini selama masa PPL. Suasana di sana sudah seperti dalam persidangan. Hal itu didukung ketika salah satu guru bertanya dan dijawab oleh salah satu petugas Satuan Polisi Perundungan Pelajar yang datang bersama kami.
"Kenapa guru magang ikut kemari?"
"Kami membawanya ke sini dan menganggapnya sebagai saksi. Dia mengaku kalau hari Senin lalu dirinya melihat Tiwi dirundung oleh teman-temannya."
"Katanya dia juga merupakan kakaknya Dinda, korban Perundungan sebulan lalu."
Guru itu melihatku sekilas dan mengangguk paham. Kemudian ia menyuruhku dan Tiwi untuk duduk menghadapnya di depan meja. Serikat berikutnya kami pun diberi banyak pertanyaan, persis seperti interogasi, serupa dengan apa yang sering aku lihat di televisi. Siapa, kapan, di mana, kenapa, semua itu ditanya dengan wajah serius selayaknya polisi menanyai korban dan saksi.
Bermodalkan pertanyaan-pertanyaan itu dan diriku yang mereka anggap jadi saksi, aku jadi tau sedikit banyak tentang Satuan Perundungan Pelajar:
Satuan Polisi Perundungan Pelajar adalah satuan polisi internal dalam sekolah yang tidak ada menampilkan diri sebagai polisi. Satuan itu hanya beranggotakan beberapa siswa terpilih. Awalnya aku mengira kalau ini adalah kerjasama antara OSIS dan guru. Tapi ternyata OSIS tidak ada sangkut pautnya dengan Satuan Polisi Perundungan Pelajar, setidaknya di tahun ini.
Satuan Polisi Perundungan Pelajar pertama kali dibentuk dua tahun lalu. Hasil dari pemikiran seorang ketua OSIS di tahun itu yang merasa resah akan maraknya Perundungan di sekolah. Ia menganggap kalau Perundungan adalah sebuah tindak pidana di kalangan para siswa. Ia berpendapat kalau yang demikian seharusnya bisa berurusan dengan polisi. Tapi tentu orang-orang akan menganggap kalau hal itu hanyalah sebuah pemikiran yang berlebihan. Membawa kasus perundungan di sekolah untuk sampai ke ranah hukum dianggap sebagai suatu tindakan yang berlebihan. Alasan utamanya adalah kalau sampai hal itu terjadi tentu akan mencoreng nama baik sekolah. Sebab itulah gagasan pembentukan satuan polisi sendiri di lingkungan sekolah dan berkerja secara diam-diam diharapkan dapat mengatasi masalah perundungan sekaligus tanpa mencoreng nama baik sekolah di mata orang.
Tahun pertama jalannya operasi Satuan Polisi Perundungan Pelajar sejak awal pembentukannya seringkali bertemu kesulitan, kebingungan, dan perdebatan. Kesulitan untuk memulai, kebingungan perihal biaya, dan debat antara guru dan para wali murid. Satuan Polisi Perundungan Pelajar berarti satuan polisi yang bergerak di lingkungan sekolah. Sebagaimana kebanyakan polisi yang menangkap orang yang bersalah dan memasukkannya ke dalam penjara. Satuan Polisi Perundungan Pelajar punya sel penjara sendiri. Tentunya tidak didesain seperti penjara sebenarnya. Lagipula orang-orang yang akan menghuni sel itu hanyalah mereka dari kalangan pelajar sekolah menengah pertama. Sel itu serupa asrama, tertutup. Para pelaku akan diisolasi dari lingkungan luar untuk diberi bimbingan terkait berlaku baik terhadap sesama, dan memberitahu sekaligus menegaskan bahwa perundungan, ejekan, perkelahian, mencemooh, itu semua adalah perbuatan tidak baik dan perbuatan salah. Mereka yang masuk ke dalam sel penjara Satuan Polisi Perundungan Pelajar tidak akan disebut sebagai penjahat, tapi para petugas dan guru menganggapnya sebagai seorang anak yang melakukan kesalahan besar. Sebab kesalahan itulah ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara.
Pembangunan atau penentuan sebuah tempat sebagai sel penjara jadi salah satu masalah besar pada awal berjalannya operasi Satuan Polisi Perundungan Pelajar. Lebih tepatnya adalah dalam masalah biaya. Untuk melakukan pembangunan tentu akan memakan banyak biaya. Lagipula harapan semua orang adalah agar tidak ada satu pun anak yang ditangkap dan dimasukkan ke dalam sana. Maka ditentukan sebuah tempat untuk dijadikan sel penjara. Penentuan tempat itu juga bukanlah hal mudah. Sebab harus ada tempat yang dikorbankan untuk dialih-fungsikan sebagai sel penjara. Dan tempat terpilihnya adalah sebuah kamar di asrama pelajar. Ketua OSIS yang menyarankan gagasan Satuan Polisi Perundungan Pelajar bersedia untuk memberikan tempatnya untuk dijadikan sel tahanan. Sebagai gantinya ia pun diharuskan mengungsi dan beruntung ia punya sahabat yang baik yang juga tinggal di asrama dan membuka pintu kamarnya untuk ditinggali bersama. Sebab katanya, gagasan yang ia ciptakan adalah gagasan besar yang membutuhkan pengorbanan dan bantuan dari banyak orang. Sebab terpilihnya asrama sebagai sel tahanan, sedangkan Satuan Polisi Perundungan Pelajar direncanakan sebagai satuan polisi yang bergerak secara diam-diam, maka dilantiklah semua penghuni asrama sebagai anggota Satuan Polisi Perundungan Pelajar. Pihak sekolah pun bekerja sama dengan satuan polisi setempat untuk melakukan pelantikan, pengarahan, dan pengawasan perihal pengoperasian satuan polisi di dalam sekolah. Beruntung satuan polisi terdekat menyetujui bahkan terkesan dengan gagasan itu dan bersedia membantu dengan senang hati.
Satu masalah terselesaikan maka timbullah masalah baru. Sel tahanan sudah siap. Perlengkapan di dalamnya sudah ditata rapih. Para sipir pun sudah terpilih dari golongan murid dan guru. Sebab nantinya, para tahanan akan menetap di asrama dan tidak diperkenankan pulang. Setidaknya itu adalah hukuman paling tidak menyenangkan untuk anak-anak zaman sekarang. Jauh dari rumah dan keluarga, dan ponsel juga tentunya. Sebab harus tinggal di asrama maka inilah yang menimbulkan perdebatan di kalangan wali murid. Sebagian dari mereka setuju dengan hukuman tersebut, sebagian lain masih ada keraguan. Keraguan perihal pola makan, kesehatan, dan keceriaan si anak selama masa tahanan. Perdebatan itu pun kerap kali terjadi tiap tahun ajaran baru saat pihak sekolah mengumumkan keberadaan Satuan Polisi Perundungan Pelajar kepada para wali murid. Tapi perdebatan itu segera mereda ketika pihak sekolah, lebih tepatnya pihak Satuan Polisi Perundungan Pelajar menjamin kesehatan anak selama masa tahanan. Sebab meski dinamakan sel tahanan, namun sejatinya di sana adalah asrama. Para tahanan hanya akan melakukan kehidupan baru di asrama, selayaknya para siswa tinggal di asrama. Hal ini juga bisa membuat pelaku perundungan mendapat lingkungan yang baik dan teman-teman baru. Masa tahanan pun tidak berlangsung lama. Setidaknya sampai pelaku mengaku bersalah dan sadar akan perbuatan. Masa tahanan paling lama adalah satu Minggu masa sekolah. Itu artinya di akhir pekan mereka sudah bisa pulang ke rumah masing-masing.
Sudah dua tahun beroperasi, keberadaan Satuan Polisi Perundungan Pelajar masih terjaga dengan baik. Hanya terdengar sayup rumor tentangnya, tapi hanya sebatas rumor yang tidak benar diketahui pasti. Sebab kebanyakan para korban dan juga pelaku setelah menjalani hukuman justru jadi bagian Satuan Polisi Perundungan Pelajar ini. Mereka dipilih sebab sudah tau bagaimana cara kerja Satuan Polisi Perundungan Pelajar bergerak, jadi tidak perlu dijelaskan secara rinci. Hal ini juga tentu bisa jadi bukti kalau gagasan pembentukan Satuan Polisi Perundungan Pelajar ini berhasil dengan perubahan sikap para pelaku. Walaupun mereka masih kerap kali berbuat onar dan malas mengerjakan tugas, tapi sikap mereka tidak lagi merujuk pada perundungan. Mereka pun jadi cepat sadar dan segera meminta maaf ketika berbuat salah.
Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...
Komentar
Posting Komentar