"Aku ingin jadi Ultraman." jawabku saat Bu guru menanyakan perihal cita-cita pada setiap murid di kelas.
Kelas berubah hening selama satu detik setelah aku mengatakan ingin jadi apa aku nanti. Detik selanjutnya suansa kelas langsung berubah riuh. Gelak tawa teman-teman memenuhi ruang kelas dalam sekejap. Kulihat Bu guru hanya diam saja kemudian tersenyum.
"Haha, jadi Ultraman katanya." Kata anak yang duduk di sudut kanan paling belakang memberi komentar.
"Ultraman itu hanya ada di televisi!" Sahut yang lain.
"Mudah sekali kamu dibohongi oleh acara televisi, haha." Satu orang lagi yang duduk di baris kedua sebelah kiri melemparkan komentarnya.
"Dia bodoh sekali, haha." kata anak paling menyebalkan di kelas.
Komentar teman-teman pedas sekali. Apalagi bagiku yang tidak suka pedas, komentar itu benar-benar menggangguku. Aku berkeringat, mataku pun mulai berair, tapi aku tahan semampuku untuk tidak menangis dalam kelas atau di sekolah. Aku menunduk dalam sekali.
Aku ingin jadi Ultraman karena ia adalah pahlawan yang hebat. Aku pun ingin jadi Ultraman supaya bisa jadi hebat dan buat bangga semua orang. Ternyata ibu salah, ia berbohong.
Ibu terlihat panik ketika melihat jagoan kecilnya keluar gerbang sekolah dengan lemas dan wajah yang ditekuk hampir menangis saat waktu pulang sekolah. Aku pun langsung jatuh dalam pelukan Ibu dan ibu menangkapku dengan lembut.
"Anak ibu kenapa?" tanya ibu. "Kok, nangis?" tanyanya lagi sambil mengelus kepalaku pelan.
"Ibu bohong!" kataku dengan suara parau. Air mata yang sudah kubendung selama sekolah tadi akhirnya tumpah juga.
Melihatku menangis dalam pelukannya, Ibu tidak bertanya lagi atau meminta alasan kenapa aku menyebutnya berbohong. Ibu memenangkanku dengan mengelus kepalaku pelan. Kemudian melepas pelukan dan menghapus air mataku.
"Jagoan enggak boleh nangis." kata Ibu sambil menghapus air mataku dengan tangan lembut dan ia tersenyum hangat padaku. Tangis pun mulai mereda, tapi itu masih belum cukup untuk membuatnya berhenti, sebab aku masih tersedu-sedu.
"Tadinya ibu mau membelikan anak jagoan ini es krim, loh." kata ibu sambil mencubit pipiku kemudian ia bangkit berdiri. "Tapi enggak jadi. Soalnya anak jagoannya nangis." Ibu pergi menjauh setelah mengucapkan itu dengan maksud menggoda agar anaknya segera berhenti menangis.
Mendengar itu aku pun cepat-cepat menghentikan tangisku dan mengahapus air mata sampai kering kembali. Aku pun mengejarnya dengan niat negosiasi agar Ibu tetap mau membelikanku es krim. Aku sudah tidak menangis lagi.
"Ibu!!!" teriakku sambil meraih tangan ibu. "Aku mau es krim!"
"Terlambat." Sahutnya dengan terus berjalan dan tidak memperdulikanku.
"Aku itu enggak nangis, tau. Tadi itu aku habis cuci muka." kataku negosiasi. "Aku kan jagoan!"
Perkataanku itu berhasil menghentikan langkah Ibu. Ia pun balik melihatku dan menatapku tajam. "Ibu makin enggak mau kasih kamu es krim."
"Loh, kok, gitu?" kataku protes. "Kenapa, Bu?"
"Karena jagoannya berbohong."
Aku pun bungkam dan menunduk dalam-dalam. Kulihat Ibu turun berlutut di depanku dan menyejajarkan tingginya denganku.
"Maaf." kataku. Ibu tidak menanggapi. "Iya, aku berbohong. Aku juga tadi menangis." Setelah mengakui semuanya, aku pun berani mengangkat kepala lagi. "Tapi aku tetap mau es krim, Bu." kataku merengek.
Ibu tersenyum sebentar setelah itu kembali berdiri. "Jujur adalah sikap seorang jagoan. Ibu akan belikan es krim di warung dekat rumah, ya."
Ibu mengulurkan tangannya untuk menggandengku. Aku pun menerimanya dengan baik lalu kupegang erat-erat dan tersenyum selalu selama jalan pulang. "Yeaaay! Makasih, Bu."
Cara kami untuk sampai rumah adalah dengan menaiki angkot. Tapi sebelum itu, kami harus jalan dulu untuk sampai ke sana, sebab sekolahku berada di samping jalan dengan jalur satu arah.
Ibu terus menggandengku selama perjalanan ke tempat angkot. Saat sampai di sana, tidak kami temui satu pun angkot ada di sana. Jadi kami harus menunggu beberapa saat sampai angkot yang akan membawa kami kembali ke rumah datang menjemput. Selagi menunggu, kulihat seorang pengendara motor melaju di atas trotoar tempat kami berdiri. Aku melepaskan tangan ibu kemudian lari mendekat dan merentangkan tangan untuk menghentikan motor itu.
"Berhenti!" kataku berteriak. "Paman, trotoar itu tempat pejalan kaki! Motor itu tempatnya di jalan!" Aku bertolak pingganng. "Nanti kalau aku sama ibu ketabrak, gimana?"
Pengendara motor itu rupanya tidak menghiraukan peringatanku. Ia malah membunyikan klaksonnya nyaring sekali. Jalanan memang sedang ramai dan terhenti sebab lampu merah, mungkin sebab itulah ia nekat naik ke atas trotoar sebagai jalan alternatif.
"Minggir!" katanya sambil terus membunyikan klakson. "Ini anak siapa, sih?"
Ibu datang menghampiriku. Ia menghelus kepalaku dan saat kulihat wajah ibu, ia mengacungkan jempolnya padaku sambil tersenyum. Lihat senyuman ibu, aku jadi senang. Karena tadinya aku kira nanti akan dimarahi sebab lari menjauh dan membahayakan diri dengan menghentikan motor dengan tiba-tiba.
"Ini anak saya." kata ibu pada pengendara itu.
"Oh, jadi anda ibunya? Ajari anakmu, tuh. Berhenti di tengah jalan." Pengendara itu malah menegur ibu.
"Ini trotoar, bukan jalan." kata Ibu dengan penuh penekanan. "Udah tau salah malah ngomong yang bukan-bukan. Seharusnya anda malu!"
Suara klakson menggema dari para pengendara motor di jalan saat lampu lalu lintas sudah kembali hijau. Melihat jalanan sudah kembali bergerat, pengendara motor menyebalkan itu pun turun kembali ke jalan sambil berdecak lidah. "Buang-buang waktu aja!" katanya.
Setelah pengendara itu pergi, ibu kembali mengelus kepalaku. "Anak hebat!" katanya. Aku pun tersenyum lebar.
Tidak perlu lama kami menunggu, angkot tujuan kami pun datang menjemput. Ada lima orang di dalam yang melihat ke arah kami saat kami masuk bergiliran. Kami duduk sejajar dan dekat dengan pintu. Sebab bangku di sebrang kami sudah penuh orang. Dua orang ibu-ibu yang kembali fokus melihat jalan depan setelah kami duduk. Seorang pria duduk di depan kami dengan memangku tasnya di depan. Matanya bebas berkeliaran melihat seisi angkot. Satu orang pemuda sedang tidur di bagian paling belakang. Ada satu orang mahasiswi yang duduk sejajar dengan kami. Ia sedang sibuk dengan ponselnya.
Aku bersandar pada bahu ibu dan perlahan mulai menutup mata sebab lelah setelah belajar di sekolah sepanjang pagi dan setelah jalan untuk sampai ke tempat angkot. Belum penuh aku menutup mata, dengan samar aku melihat pria di depanku bermain dengan tangannya di balik tas yang ia pangku. Ia mencoba merogoh tas seorang ibu yang duduk di sampingnya dengan sembunyi-sembunyi.
"Paman lagi apa?" tanyaku sambil menegakkan badan dan mengucek mata.
Semua mata langsung terpusat padaku dan pria itu. Ibu pun turut melihatku. "Ada apa, Nak?" tanya ibu padaku sambil mengelus kepalaku pelan.
"Aku engga tau, Bu. Tapi Paman ini tadi kayak gini, nih." kataku sambil mempraktikan apa yang kulihat. "Tangannya kayak mau masuk ke tas ibu itu." Aku menunjuk tas yang kumaksud.
Mendengar kalimatku, Ibu yang tasnya kutunjuk segera mengecek tasnya. Tampak ritsleting tasnya terbuka cukup lebar. "Kamu mau mencopet, ya?!" tanya Ibu itu hampir seperti berteriak.
Tanpa menjawab pertanyaan ibu itu, yang ditanya langsung memberi kode pada supir untuk memberhentikan angkotnya dan segera turun.
"Makasih, ya, Dik." kata Ibu itu padaku saat angkot sudah jalan lagi.
Aku tidak mengerti dengan perkataan ibu itu. Tapi melihatnya tersenyum, aku pun ikut tersenyum. Karena aku tidak menjawab, jadi ibu yang mewakilkan. "Iya, sama-sama, Bu." kata ibu sambil terus mengacak rambutku.
"Anaknya pintar, Bu." kata Ibu itu lagi. Kali ini ibu hanya menjawabnya dengan tersenyum.
Angkot berhenti setelah kami beri kode. Kami pun turun dan jalan sedikit lagi barulah sampai pulang ke rumah dengan selamat. Tidak lupa dengan janjinya, di tengah jalan kami singgah sebentar ke warung untuk membeli es krim seperti janji ibu.
•••
"Jadi, tadi kenapa menangis?" tanya ibu saat baru sampai rumah. Aku langsung duduk depan televisi, membuka es krim yang baru saja di beli dan memakannya dengan nikmat, dan ibu duduk di sampingku.
Ayah yang sedang bekerja menutup laptopnya saat mendengar pertanyaan ibu. Ia pun bergabung bersama kami. "Tadi kamu menangis?" tanya ayah.
Aku tidak menjawab pertanyaan ibu, tapi aku menjawab pertanyaan ayah dengan cepat. "Aku engga menangis!" kataku sambil menggeleng.
Ibu menatapku dengan tajam. "Sini kembalikan es krimnya." katanya sambil menengadahkan tangan.
Aku pun berhenti sebentar. Tidak lagi kumasukan es krim ke dalam mulut. Aku tertunduk. "Maaf. Iya, tadi aku menangis."
Ayah melihat ke arah ibu dan ibu hanya menanggapi dengan anggukan. "Kenapa menangis?" tanya Ayah padaku.
Ibu bangkit dari duduknya dan pergi ke dapur. Kurang dari dua menit ia pun kembali bergabung bersama kami dengan membawa sebuah gelas di tangan. Ia mengambil es krim di tanganku yang perlahan mulai mencair dan memasukannya ke dalam gelas yang ia bawa. Kemudian ia simpan gelas itu di dekatku. Aku masih belum menjawab pertanyaan ayah.
"Karena aku bilang ingin jadi Ultraman, dan teman-teman mengejekku." kataku.
"Ultraman?" Ayah mengerutkan dahinya dan melihat ibu. Ibu hanya tersenyum mendengarku dan mengangguk pelan saat ayah melihatnya. "Kita, kan, enggak bisa jadi Ultraman. Itu cuma ada di televisi." kata Ayah.
"Ih, Ayah!" Aku berteriak. "Ayah sama aja kayak teman-teman!"
"Kenapa? Kan, benar begitu. Kita emang enggak bisa jadi Ultraman. Tapi ...." Ayah menjeda kalimatnya.
Seolah tau apa yang akan ayah katakan, Ibu langsung menyambungnya. "Tapi kita bisa jadi seperti Ultraman."
"Enggak ada bedanya." Aku melihat ibu dengan bingung.
"Sama seperti Ultraman yang melawan monster jahat," Ibu tersenyum sebelum melanjutkan kalimatnya, "kita juga bisa melawan "monster" jahat." kata Ibu sambil memainkan dua jarinya di masing-masing tangan tangan ketika mengatakan kata monster. Aku tidak tau apa maksudnya, tapi ibu tampak lucu ketika melakukan itu. Jadi aku pun mengikutinya.
"Monster?" kataku sambil memainkan dua jariku dan tertawa kecil.
Ibu dan ayah saling pandang setelah anaknya ceria kembali dengan tiba-tiba. Melihatku tertawa, mereka pun ikut tertawa dan malah lanjut mengerjaiku.
Aku hilang kendali sebab dikelitiki oleh ayah, dan tanpa sadar tanganku menyenggol gelas yang berisi es krim yang sudah mencair dan menumpahkannya.
"IH, AYAH!!! ES KRIMNYA TUMPAH!"
Butuh bertahun-tahun bagiku untuk mengerti perkataan ibu. Aku tidak menyalahkan perkataan ayah. Tapi kalimat itu memang menyebalkan, meskipun itu benar. Kebanyakan orang hanya memusatkan pandangan berdasarkan apa yang mereka lihat dan dengar, bukan dengan mendalami karakternya. Inilah yang dilakukan oleh ibu, dan ayah meskipun tidak ia katakan secara langsung.
Tanpa sadar, aku sudah jadi seperti Ultraman bahkan sebelum ibu mengatakan maksudnya. Aku menegur pengendara motor yang naik trotoar dan berhasil menggagalkan pencopet sebelum melakukan aksinya. Kalau aku adalah Ultraman, maka mereka adalah "monster" jahat yang dimaksud ibu. Aku memang tidak bisa jadi Ultraman yang bisa terbang dan tingginya sejajar gedung, tapi aku berhasil mengalahkan "monster" jahat.
Ibu tidak berbohong. Akunya saja yang belum mengerti. Aku memang gagal jadi Ultraman seperti perkataanku dulu kepada semua teman-teman kelas, tapi aku berhasil masuk akademi polisi. Aku adalah seorang polisi yang akan mengalahkan semua "monster" jahat itu dan menjadi seperti Utraman.
Komentar
Posting Komentar