Langsung ke konten utama

Randall: Escape From Human World

 Angin berhembus meniup dedaunan di pohon tinggi. Daun yang mulai menguning perlahan jatuh dan menari-nari di udara sebelum sampai menapak tanah. Beberapa daun ada yang jatuh menabrak wajah seekor reptil yang tengah panik dalam kejaran manusia. Daun itu membuatnya hilang pandangan sebentar sampai tidak sadar ada dahan pohon yang menghalangi jalan. Dia pun jatuh terperosok dan para manusia yang mengejar sudah makin dekat. Sudah tidak ada waktu lagi untuk melarikan diri. Tubuhnya gemetar hebat dan keringat dingin mengucur deras dari ujung kepala.

Para manusia sudah mengacungkan tombaknya. Ujung tombak sudah hampir dekat sampai moncong si reptil. Namun suara geraman amat kencang membuat mereka menariknya kembali. Semak-semak sebelah kanan tampak bergoyang yang disusul oleh kemunculan makhluk besar setinggi tiga meter dan mengaum tepat ke depan wajah para manusia seolah melindungi si reptil. Takut bukan main, para manusia langsung lari terbirit-birit tak tentu arah bak orang mabuk. Mereka saling menabrak satu sama lain bahkan ada yang sampai terperosok ke dalam semak atau menabrak pohon.

"Ikuti aku, Reptil. Tempat ini tidak aman, terlalu banyak manusia." kata makhluk besar itu kemudian bergegas pergi ke arah utara.

Si reptil pun segera bangkit berdiri lagi dan langsung mengikutinya dari belakang.

Sampai mereka tiba di depan gua besar yang letaknya sulit ditemukan sebab terhalang banyak semak dan pohon-pohon rindang.

"Sejauh ini, tempat inilah yang paling aman. Beristirahatlah dulu."

"B-bigfoot?" panggil si reptil dengan ragu. Rupanya dia mengenal makhluk besar itu.

"Ya. Dan aku tau asalmu bukan dari sini. Sebab itulah aku menolongmu. Siapa namamu?" Bigfoot menyodorkan segelas air pada si reptil.

"Randall Boggs." Sambil menyebutkan namanya, Randall memasang wajah bingung. Sepertinya ia lupa siapa diriku.

"Berhati-hatilah dengan manusia, Randall. Yang besar itu lebih berbahaya daripada anak-anak."

Randall duduk sembarang di atas batu yang ada di dalam gua. Kemudian ia menegak habis air dari gelasnya dan hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Jadi, bagaimana kau bisa sampai sini? Apa kau terbuang juga? Kau tau namaku, jadi pasti kau juga tau bahwa aku ini adalah monster yang terbuang." kata Bigfoot sambil mencari tempat duduk di dekat Randall.

"Lebih tepatnya adalah disingkirkan."

"Disingkirkan bagaimana? Aku tidak mengerti maksudmu."

"Ada seorang monster yang membiarkan anak manusia masuk melewati pintu."

Bigfoot yang sedang menegak segelas air langsung menyemburkan kembali minumnya. "Itu adalah kesalah besar!" Mata Bigfoot terbuka lebar dan memerah.

"Aku tau. Seharusnya mereka lah yang dibuang, tapi mereka justru bertindak seenaknya."

Bigfoot kembali menegak minumnya. "Rupanya ada yang lebih parah daripada kami."

"Kami?" Randall menaikkan sebelah alisnya.

"Kau tau duo berbulu?" tanya Bigfoot.

Randall berpikir sebentar namun kemudian menggeleng.

"Yah, nama kami memang sudah tidak dikenal lagi setelah kami dibuang. Tapi dulu kami adalah duo berbulu yang menakutkan."

"Kau seorang scarer juga? Aku baru tau kalau scarer bisa dilakukan dua monster sekaligus."

"Dulu sekali formasi dua monster untuk satu pintu sempat populer sebab keberhasilan kami. Namun setelah kami dibuang sepertinya formasi itu sudah tidak berlaku lagi, atau mungkin sudah dilarang."

"Mengapa begitu?"

"Sebab bisa menimbulkan perselisihan."

Randall menyodorkan kembali gelasnya pada Bigfoot. "Ada air lagi? Aku haus sekali." katanya.

Bigfoot menerima gelas itu sambil tertawa. "Haha, kau ini sama sepertiku. Sering dikejar manusia saat pertama kali sampai sini."

Bigfoot masuk lebih dalam ke dalam gua dan kembali dengan segelas penuh air di tangan kiri dan tangan kanannya membawa sebuah teko air.

"Aku bawa sekalian teko airnya. Kau langsung isi saja sendiri kalau masih haus." kata Bigfoot.

"Terima kasih."

Bigfoot kembali ke posisi duduknya. Sambil menunggu Randall minum, ia kembali bercerita.

"Kau pikir mengapa aku bisa dibuang? Kau baru saja melihat bagaimana aku menakut-nakuti orang-orang dewasa itu."

"Kau menakjubkan, Bigfoot." Mata Randall berbinar sebelum kemudian ia minum lagi.

Randall melihat Bigfoot dengan senyum miring. Kabar terakhir mengatakan kalau Bigfoot sudah jadi gila. Perihal duo berbulu, itu tidak pernah ada. Sepertinya Yeti menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi dan malah mengarang cerita. 

"Ini semua karena dia, Yeti rekan menakut-nakutiku. Dulunya kami adalah duo menakutkan sampai Yeti dibuat luluh oleh wajah polos anak manusia.

Dia enggan untuk menakut-nakuti lagi. Setiap kali masuk pintu, dia malah bermain dengan barang-barang manusia. Sampai suatu hari dia membawa salah satu barang itu masuk melewati pintu dan membuat satu perusahaan gempar karenanya.

Sebab itulah kami dibuang karena dinggap membawa bahaya bagi para monster."

"Tapi itu kan bukan kesalahanmu." Randall hanya menanggapi saja dan ikut ke dalam cerita bualan itu. 

"Karena kami bekerja sebagai duo, jadi mereka menganggap kalau kami berdua itu sama saja."

Randall hanya mengangguk dan kembali menuangkan air ke dalam gelasnya. Sebelum kembali menegak minumnya, Randall kembali bertanya. Namun kali ini adalah pertanyaan serius. "Lalu, bagaimana kau bisa sampai ke sini? Bukankah pintu untuk monster yang terbuang itu hanya ada di Himalaya?"

Bigfoot bangkit dari duduknya kemudian berjalan sampai ke mulut gua. Pandangannya mengarah ke luar melihat pepohonan rindang. Kicau burung di sana bersatu padu dengan suara dedaunan yang tertiup angin. Pertanyaan Randall membawanya jauh terbang ke masa lalu yang kelam.

"Himalaya bukanlah tempat yang cocok bagiku. Saat aku dan Yeti sedang berjalan menyusuri sekitar, ada sekumpulan manusia yang menemukan kami.

Yeti langsung kabur menjauh sedangkan aku masih diam di tempat sebab kedinginan. Rasanya kakiku pun sudah membeku saat itu. Tubuhku menggigil hebat dan kulihat manusia sudah makin dekat. Makin dekat lagi kesadaranku malah menghilang."

"Itu sungguh menyedihkan." kata Randall di sela cerita Bigfoot. Dia jadi ragu apakah makhluk besar ini masih gila atau tidak. Kalau memang masih gila, mengapa dia bisa mengingat cerita ini. Kalaupun sudah waras, mengapa dia tidak mengingatku. "Lalu apa yang terjadi?"

"Kukira aku sudah mati kedinginan di tangan manusia, namun saat membuka mata aku melihat sekitar sudah tidak ada lagi hamparan putih salju. Udara sekitar pun terasa lebih hangat, bahkan hampir panas.

Aku mendapati diriku dalam sebuah kotak baja. Kudengar suara mesin menggema di bawah tempatku terbaring. Kudengar juga suara manusia dari arah barat. Aku pun menempelkan telingaku ke dinding sebelah barat itu. Kudengar mereka sedang membicarakanku."

"Lalu, apa yang terjadi?" tanya Randall.

Bigfoot balik masuk ke dalam gua. Mengambil gelas lalu menegak habis airnya yang masih tersisa sebelumnya.

"Bercerita membuat tenggorokanku kering." katanya sambil duduk kembali ke tempatnya dan meminta teko air yang ada di dekat Randall.

"Haha, sepertinya begitu. Silakan ini teko airnya." kata Randall sambil menyodorkan teko air pada makhluk besar itu.

Bigfoot mengangkat teko air yang diterimanya. Kemudian digoyang-goyangkan pelan sampai isinya pun ikut bergoyang.

"Hey, Reptil. Kau minum berapa banyak? Ini sudah hampir habis."

"Sudah kubilang aku haus sekali." jawab Randall sambil menyeringai.

Sambil menggelengkan kepala, Bigfoot menuangkan airnya sampai tetes terakhir. Rupanya yang tersisa cukup sekali untuk satu gelas penuh. Bigfoot pun langsung membasahi tenggorokannya yang kering. Setelahnya ia pun kembali bercerita.

"Tempat itu benar-benar sempit dan pengap. Suasananya pun terus bertambah panas. Di sana sangat tidak nyaman. Aku pun berontak memukul sana-sini berharap akan tercipta lubang untuk aku keluar. Tapi dinding itu kuat sekali. Belum lagi ditambah dengan panasnya." lanjut Bigfoot.

"Kalau aku ada dalam posisimu saat itu, mungkin aku sudah lama mati." kata Randall.

Bigfoot tidak menanggapi perkataan Randall. Ia kembali melanjutkan ceritanya yang tadi sempat disela.

"Karena kegaduhan yang kubuat, mesin di bawahku perlahan berhenti. Kemudian terdengar pula dua manusia itu saling mengoceh. Mereka pun turut memukul dinding besi itu dan balik buat gaduh. Lalu, tiba-tiba dinding sebelah timur terbelah dua seperti pintu yang terbuka. Melihat adanya jalan keluar, aku pun spontan melompat dan melarikan diri."

"Jadi, sekarang kita ada di mana?"

"Hutan Kanada."

Selesai dengan ceritanya, Bigfoot kembali berdiri dan masuk lebih dalam lagi ke dalam gua. "Sudah waktunya tidur siang." katanya.

"Tunggu dulu, Bigfoot." panggil Randall yang ikut berdiri juga. Bigfoot pun menghentikan langkahnya dan berbalik. "Aku masih punya banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu."

"Sebaiknya kau istirahat juga. Memangnya kau tidak merasa lelah setelah dikejar manusia?" Bigfoot malah bertanya.

Randall pun menyerah dan kembali terduduk. Tubuhnya benar-benar tidak bisa dibohongi. Kakinya amat lemas. Napasnya pun masih belum lancar seperti seharusnya. "Baiklah." katanya. "Di mana tempat tidurnya?"

"Tempatnya ada di dalam. Ikuti aku."

Dengan kaki yang lemas, Randall bangkit berdiri lagi dan berjalan mengikuti Bigfoot yang ada empat langkah di depannya.

***

Dalam mimpi indah Randall yang mendapati dirinya sudah kembali ke Dunia Monster dan berdiri tegak di depan perusahaan tercintanya. Perusahaan menakut-nakuti, Monster Inc.. Saat baru saja ingin melangkah menuju kehidupan indahnya di perusahaan, suara bising di kejauhan seketika menghapus itu semua.

"Bangunlah, Reptil!" teriak Bigfoot sambil menggoyang-goyangkan tubuh Randall. "Hey Randall, Bangun! Ada manusia di mulut gua."

Awalnya Randall malas sekali untuk membuka mata. Bahkan rasanya kelopak mata pun enggan untuk terbuka. Tapi kalimat terakhir Bigfoot mengubah semuanya.

"Bagaimana bisa?! Kau bilang ini adalah tempat yang aman dari manusia." Randall terperanjat bangun dan langsung terduduk.

Wajah Bigfoot tampak gelisah dan begitu ketakutan. "Tadinya. Tidak sampai mereka menemukan kita."

"Iya... tapi bagaimana bisa?! Sudah berapa lama kau tinggal di sini?"

"Satu minggu. Selama satu minggu kemarin tempat ini benar-benar terisolasi dari jangkauan manusia. Aku pun tidak tau bagaimana mereka bisa menemukan tempat ini." Bigfoot menarik tangan Randall dan mengajaknya untuk masuk lebih dalam lagi menyusuri gua.

"Satu minggu ... Baru satu minggu kau bilang tempat ini adalah yang paling aman?" Sambil terus berlari Randall menarik jambul di kepalanya. Dia dibuat frustrasi oleh cerita Bigfoot. "Sebenarnya sudah berapa lama kau tinggal di dunia manusia? Mengapa bisa bodoh sekali dan membiarkan hal ini terjadi?" teriak Randall keras-keras sambil mendekatkan moncongnya ke wajah Bigfoot. Sepertinya Randall lupa kalau kabar terakhir mengatakan bahwa Bigfoot sudah gila.

Bigfoot menutup rapat moncong reptil itu dengan tangannya. Sambil terus berlari ia pun terpaksa menggendong Randall dan tidak membiarkannya berlari sendiri. "Pelankan suaramu. Apa kau mau para manusia itu menemukan kita?" kata Bigfoot.

Randall tidak bisa menjawab sebab mulutnya dibekap. Jadi dia hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.

Mereka terus berlari lebih dalam lagi sampai udara sekitar pun semakin dingin dan semakin sesak. Sambil terengah-engah Bigfoot berhenti sejenak. Ia juga menurunkan Randall yang sedari tadi ia gendong sepanjang pelarian. Bigfoot duduk bersandar di salah satu sisi gua sambil mengatur napasnya.

"Kenapa kita berhenti?" tanya Randall.

"Aku ingin beristirahat sejenak. Kau tenang saja. Kita sudah berlari cukup jauh. Manusia tidak akan menemukan kit-"

Kalimat Bigfoot terhenti ketika melihat sorot lampu cahaya muncul dari belokan. Sontak Bigfoot pun kembali berdiri dan siap berlari lagi.

"Hey, Reptil. Kau lebih suka kanan atau kiri?" tanya Bigfoot.

"Kanan." jawab Randall. "Tu-tunggu dulu. Kenapa kau tiba-tiba bertanya begitu?"

"Pilihan bagus. Kita ambil jalan kanan. Bersiaplah, Reptil. Aku tidak akan menggendongmu kali ini." kata Bigfoot kemudian berlari lagi dan mengambil jalan kanan di antara dua jalan bercabang yang ada di hadapannya.

Randall yang belum siap untuk berlari lagi akhirnya tertinggal cukup jauh dari Bigfoot. Tapi dengan kelincahannya ia mampu menyusul makhluk besar itu. Keempat kakinya bahkan mampu membawanya melaju lebih cepat lagi.

"Hey, Randall." panggil Bigfoot saat Randall baru saja menyejajarkan langkahnya. "Apa kau bisa berenang?"

Lagi-lagi Randall dihadapkan dengan pertanyaan yang tidak ia mengerti. "Hey berhentilah memberiku pertanyaan acak seperti itu. Apa kau tidak mengerti dengan kondisi kita sekarang?"

"Sudahlah jawab saja!" desak Bigfoot.

"I-iya aku bisa berenang. Tapi kenapa kamu menanyakan hal itu?"

"Bagus. Sekarang cepat ambil napas dalam." kata bigfoot. Sambil terus berlari ia meraih tubuh Randall dengan tangan besarnya kemudian ia melempar Randall jauh ke depan sampai terdengar seperti sesuatu yang tercebur ke dalam air.

Hanya dalam beberapa langkah lagi Bigfoot pun sampai di dekat sungai dalam gua yang langsung terhubung ke lautan. Ia langsung melompat menyusul Randall yang sudah lebih dulu masuk ke dalam air.

Randall benar-benar terkejut. Ia bisa saja tenggelam sebab tindakan gila makhluk besar itu yang tiba-tiba melemparnya. Beruntung ia sempat menarik napas sebelum dirinya menyentuh air.

Di antara gelembung udara yang muncul dari hidung dan mulut, Randall menatap tajam Bigfoot yang ada di hadapannya. Namun Bigfoot tidak memedulikannya dan malah menggerakkan tangannya dengan aneh. Seperti memberi isyarat yang Randall tidak mengerti. Setelah selesai dengan isyaratnya, Bigfoot lansung melenggang mengambil arah kanan dan kembali meninggalkan Randall dengan berenang lebih dulu. Tidak mau lagi ambil pusing, Randall hanya menggelengkan kepala kemudian berenang menyusul Bigfoot yang sudah jauh berada di depan.

Kurang lebih selama tiga menit mereka berenang, akhirnya mereka pun berhasil keluar gua.

"Rupanya napasmu cukup panjang juga, ya." kata Bigfoot setelah kedua muncul kembali ke permukaan.

"Berhentilah melakukan tindakan yang tiba-tiba seperti tadi. Aku bisa saja mati tenggelam, tau!" sahut Randal sambil mengelap wajahnya.

"Haha, maaf. Tadi adalah suasana yang menuntut kita untuk bertindak cepat. Sebaiknya kamu mulai membiasakan diri dengan itu."

Randall tidak benar-benar menyimak perkataan Bigfoot. Ia sedang fokus mengatur gerakan kaki dan tangannya yang sudah mulai tidak teratur. Serta napasnya juga sudah terengah-engah.

"Bisakah kita kembali ke daratan dulu?" pinta Randall. "Aku sudah tidak kuat lagi. Ini benar-benar melelahkan!"

"Ah, baiklah. Ikuti aku." Bigfoot kembali menyelam lagi dan terus berenang sampai mencapai daratan. Randall pun mengikuti dari belakang.

Kurang dari satu menit mereka sudah mulai bisa mengeringkan tubuh masing-masing. Di atas batu karang Randall berbaring menghadap langit sambil mengatur napasnya lagi.

"Aku ingin kembali ke dunia monster!" teriak Randall kencang-kencang.

"Percuma saja. Tidak ada jalan keluar untuk kembali ke sana." sahut Bigfoot yang sedang bergoyang-goyang sebagai upaya untuk mengeringkan bulu-bulunya yang basah.

Randall beralih duduk menghadap Bigfoot. "Benarkah? Apa kau sudah mencoba semuanya?"

"Aku datang ke kamar anak manusia, membuka pintu lemarinya tapi tidak terhubung ke perusahaan. Aku pun coba untuk menakut-nakutinya dengan harap akan mencipta energi yang dapat menghubungkan pintunya. Tapi tetap saja tidak berpengaruh." Bigfoot ikut duduk di samping Randall dan menghadap lautan.

"Sudah tentu tidak akan berhasil. Pintu baru akan bekerja kalau terhubung dengan mesin."

Keduanya sama-sama menghembuskan napas gusar. Namun tiba-tiba Randall bangkit berdiri dengan wajah berbinar. Ia baru menyadari sesuatu dalam kalimat terakhirnya.

"Tawa." kata Randall. "Itu adalah energi yang jauh lebih kuat dari teriakan. Aku pernah melihatnya saat ada anak kecil yang masuk ke perusahaan."

Bigfoot bergeming. Dia hanya menoleh ke arah Randall dan membiarkannya untuk meneruskan dialognya.

"Saat itu di ruang penyimpanan pintu. Semua pintu di sana tidak terhubung ke mesin. Tapi saat anak itu tertawa, semua pintu di sana bisa berfungsi!"

Bigfoot kembali menghembuskan napas gusar. Sepertinya ia kecewa dengan cerita Randall. "Tetap tidak bisa. Aku pun pernah membuat salah satu anak manusia tertawa. Saat hendak menakut-nakuti, aku tidak melihat sekeliling. Akibatnya aku tersandung sesuatu dan terjatuh. Saat itulah dia tertawa dan tanpa sengaja aku juga membuka pintu lemarinya. Tapi isinya tetap sama. Itu hanya lemari baju biasa."

Kali ini Randall yang bergeming setelah mendengar cerita Bigfoot. Ia pun kembali duduk dan menghadap lautan sambil terus merasa tidak percaya kalau dunia manusia adalah tempat kuburnya nanti.

"Aku tidak mengerti. Teriakan, tawa, pintu... semua yang menghubungkan dunia manusia dan dunia monster sudah pernah kau lakukan. Tapi kenapa tidak ada yang berhasil?" Randall menunduk sambil menutup wajahnya.

"Sudahlah, Randall. Kita jalani saja hidup kita di sini."

Randall mengangkat wajahnya. Dengan mata terbuka dengan penuh nada tegas dia bertanya, "Memangnya kau tidak mau kembali ke dunia monster?"

Bigfoot menghela napas dan menahan diri. Ia tidak mau terpancing dengan suasana panas yang diciptakan Randall.

"Bukannya aku tidak mau kembali, tapi semua cara sudah kulakukan seperti katamu sebelumnya."

"Apa kau sudah mencoba semua pintu?"

"Randall, mesin di perusahaan itu hanya berjumlah hitungan jari. Sedangkan pintu itu jumlahnya ratusan, bahkan ribuan. Lagipula kita tidak tau apakah semua pintu di dunia manusia itu bisa terhubung ke dunia monster atau tidak. Peluang kita untuk kembali itu sangat kecil."

"Pintu di dunia manusia..." Randall bergumam dan wajah tegasnya perlahan menghilang. Setelah terdiam beberapa saat, kemudian ia tiba-tiba menjentikkan jari. "Pintu monster! Itu dia masalahnya." katanya.

Masih dengan sikap datarnya, Bigfoot merespon perkataan Randall dengan pertanyaan. "Apa maksudmu? Tidak ada yang namanya pintu monster."

"Kau ingat tentang pintu untuk monster yang terbuang?"

"Iya aku mengingatnya. Pintu itu ada di Himalaya."

"Tidakkah pernah kau berpikir kenapa manusia menaruh sebuah pintu di tengah gunung salju? Apalagi tanpa bangunan apa pun. Hanya sebuah pintu."

"Aku tidak pernah berpikir sampai sana. Tapi kau benar. Kira-kira apa alasannya?" Bigfoot mulai menunjukkan sikap antusias.

Randall menyeringai sambil menyipitkan mata. "Karena pintu itu bukan milik manusia. Melainkan milik monster!"

Bigfoot terdiam dengat mulut menganga. Sebentar kemudian ia menggeleng cepat untuk sadar dari lamunan. "Itu adalah pemikiran yang hebat, Randall!"

"Kalau begitu, ayo kita pergi ke Himalaya sekarang." kata Randall yang sudah bangkit berdiri kemudian berbalik dan siap untuk melangkah.

Bigfoot hanya menutup mata sebentar kemudian memandang lurus ke arah lautan. "Senja memang tidak pernah mengecewakan, ya? Sangat indah."

Langkah Randall terhenti. Ia melihat sebentar ke arah Bigfoot kemudian berbalik lagi. Pandangannya mengikuti arah pandang Bigfoot, lurus ke arah laut menyaksikan indahnya matahari terbenam sebelum hari berubah gelap. Cahaya oranye menerpa setiap wajah yang melihatnya.

"Ah, hari sudah mau gelap rupanya." kata Randall. "Baiklah. Kita pergi besok pagi saja."

"Memang sebaiknya begitu. Dan malam ini, kita akan atur rencana bagaimana cara kita pergi ke sana." Bigfoot bangkit berdiri dan menghadap Randall. "Tapi sebelum itu, ayo kita cari tempat tidur lebih dulu."

Randall mengangguk. Bigfoot jalan lebih dulu dan mereka pun masuk kembali ke dalam hutan.

***

Randall berkedip beberapa kali untuk menyesuaikan penglihatan. Ia pun turut mengusap wajahnya. Kemudian ia merentangkan tangan dengan lebar sebagai usaha melemaskan otot seusai tidur. Randall menggaruk tengkuk seolah melupakan sesuatu.

"HIMALAYA!" teriak Randall dengan mata terbuka lebar melihat gambar gunung salju di depannya dalam sebuah kalender bekas.

Semalam mereka tidur dalam sebuah bangunan kosong yang sudah lama ditinggal manusia. Kata Bigfoot bangunan kosong adalah tempat tidur paling aman dan nyaman selama ia hidup di dunia manusia. Ia bisa tinggal di sana sampai berbulan-bulan dibanding tinggal dalam gua. Meskipun aman dari kejaran manusia, tapi seringkali ia mendapat pengalaman horor selama tinggal di sana. Itulah mengapa meski bisa hidup lama di sana,  ia tetap berpindah-pindah tempat.

Randall melihat sekeliling. Ia tidak mendapati sosok Bigfoot ada di sekitarnya. Ia pun bangkit kemudian pergi berkeliling seisi rumah. Selanjutnya juga di sekitar rumah. Tapi tidak kunjung ia menemukan Bigfoot di sana.

"Randall!"

Randall terperanjat ketika sesuatu menepuk pundak seraya memanggil namanya. Dengan gesit dia pun berbalik dan tampak sesosok makhluk besar dengan banyak barang bawaan.

"Bigfoot! Kau membuatku terkejut." kata Randall. "Kau dari mana?"

"Lihatlah aku membawa banyak makanan untuk bekal kita selama perjalanan!" jawab Bigfoot. Ia menggenggam lebih dari sepuluh ikan di tangan kanannya dan satu ekor rusa di tangan kiri. Serta banyak dari batang singkong yang akarnya sudah masak ia panggul di pundaknya. Selain makanan, ada juga barang lain yang ia jepit di kedua ketiaknya.

Randall menggeleng sambil mengusap kasar wajahnya. "Cukup bawa yang diperlukan saja, Bigfoot. Makin sedikit barang bawaan makin baik. Sebab di sini kita dituntut untuk bergerak cepat. Singkirkan segala hal yang dapat membatasi pergerakan." katanya.

"Tapi makanan adalah kebutuhan, Randall. Aku tidak ingin kelaparan selama perjalanan."

"Kita akan menemukan banyak makanan selama perjalanan nanti. Lagipula kita adalah monster. Monster bisa makan apa saja."

Bigfoot pun menjatuhkan semua yang dibawanya.

"Tapi setidaknya kita sarapan dulu sebelum pergi." kata Bigfoot kemudian ia duduk di tempat.

Randall pun ikut duduk di tempat. Pandangannya menyusuri semua makanan yang Bigfoot bawa. Makhluk besar itu melahap paha rusa dengan meninggalkan bekas gigitan besar. Randall bergidik ngeri melihat darah rusa itu mengalir dari mulut Bigfoot sampai menetes jatuh ke tanah.

"Kau tidak menangkap serangga, Bigfoot?" tanya Randall.

Bigfoot menggeleng. "Makan saja apa yang ada. Monster bisa makan apa saja, kan?"

Randall tertegun. "I-iya ... tapi memangnya tidak boleh kalau aku ingin makan makanan kesukaan?"

"Aku tidak menangkap serangga." Bigfoot mengacak semua barang di depannya dan berhenti ketika ia melihat selembar daun yang digulung. Ia pun mengambil daun itu kemudian memnyerahkannya pada Randall. "Tapi tadi aku menangkap ulat pohon."

Randall menyeringai dengan mulut terbuka dan air liur menetes di ujung mulutnya. Sebab tergiur dengan ulat pohon yang dibawa Bigfoot. "Terima kasih banyak, Bigfoot!"

Meski tidak banyak, Randall merasa ulat pohon itu sudah lebih dari cukup untuk menahan rasa lapar sampai jam makan siang nanti. Bigfoot pun sudah selesai dengan sarapannya yang hanya menghabiskan satu paha rusa.

"Aku tidak bisa makan banyak. Aku takut tidak bisa bergerak cepat sebab kekenyangan. Dan aku tidak mau kau mengeluh sebab hal itu." kata Bigfoot.

"Iya, karena hal itu hanya akan menyusahkanku saja." balas Randall. "Ayo segera berangkat.

Perjalanan menuju Himalaya bukanlah perjalanan yang singkat. Sesuai dengan yang telah direncanakan semalam, tujuan pertama mereka adalah bandara terdekat. Mereka akan menyelinap masuk ke dalam bagasi pesawat dan terbang mengikuti ke mana pesawatnya pergi. Tujuan selanjutnya adalah kembali menyelinap ke dalam pesawat lain sampai menemukan gunung salju.

Bukan hal mudah untuk pergi menyelinap. Kalau hanya Randall seorang diri sebetulnya tidak akan sesulit itu. Sebab Randall punya kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan sekitar. Kulitnya bisa berganti warna mengikuti benda apa saja yang ia sentuh. Tapi Bigfoot dengan tubuhnya yang besar itu juga merupakan masalah besar. Bandara adalah tempat yang ramai dengan manusia. Berulangkali keberadaan mereka diketahui. Alhasil mereka pun membuat gempar sekitar dan dikejar habis-habisan. Meskipun tubuh besarnya itu menyebabkan masalah, tapi tanpa Bigfoot Randall tidak akan bisa lolos dari kejaran manusia. Bigfoot berlari dengan brutal. Semua benda yang menghalangi jalan ia tabrak sampai hancur berantakan. Kalau sudah terpojok, Bigfoot akan menarik napas dalam kemudian mengeluarkan auman kencang dan membuat semua manusia yang datang mengepung itu lari ketakutan. Di tengah kericuhan itulah keduanya mengambil kesempatan untuk meloloskan diri dan berhasil menyelinap ke dalam bagasi pesawat tanpa diketahui.

Benar-benar perjalanan yang menegangkan. Perjalanan itu ibarat perjudian yang taruhannya adalah nyawa. Bukan lagi hanya terjebak dalam dunia manusia, tapi kebebasan hidup sudah tentu hanyalah sebuah mimpi.

Sampai di bandara terakhir, keduanya kembali dikejar kerumunan manusia. Kali ini pelakunya adalah Randall yang tidak sengaja membuat alarm sebuah mobil menyala. Lagi-lagi Bigfoot tampil dengan brutal. Sambil menggendong Randall, Bigfoot berlari menuju gunung salju dengan menghancurkan semua benda yang menghalangi jalan.

Semua hal sulit itu terbayarkan ketika mereka berhasil menemukan pintu untuk monster yang terbuang. Sebelumnya mereka pun menemukan gua yang dulu dijadikan tempat berlindung oleh Yeti dan Bigfoot. Tapi ketika sampai di sana tempat itu sepi.

Randall dan Bigfoot sempat berdebat sebentar sebab Bigfoot mengubah sedikit rencana. Katanya ia ingin mengajak Yeti juga untuk kembali ke dunia monster. Tapi Randall ingin segera kembali secepatnya. Lagipula ia belum bisa memastikan apakah teorinya itu benar atau tidak.

Bigfoot tetap teguh pendirian, ia meninggalkan Randall dalam gua dan pergi keluar mencari Yeti yang dipikirnya sedang berjalan-jalan keluar. Tapi sampai satu jam pencarian Bigfoot tidak kembali. Randall pun pergi keluar mencarinya. Sampai ia menemukan Bigfoot tergeletak di atas salju yang tidak jauh dari sana terdapat sebuah pintu besi.

"Bigfoot!" panggil Randall sambil tergesa-gesa menghampirinya.

Namun ketika sudah dekat, tetiba makhluk besar itu bangkit terduduk. "Eh, Randall? Sedang apa kau di sini?" tanyanya.

"Aku datang mencarimu! Satu jam kau pergi dan tidak kembali.

"Aku tidak bisa menemukan Yeti. Tapi aku menemukan itu." kata Bigfoot sambil menunjuk sebelah kanan ke arah pintu besi.

"Aku sudah melihatnya."

Randall dan Bigfoot pun mendatangi pintu itu. Randall mengecek dengan membukanya, tapi tidak terhubung dengan dunia monster.

"Pintunya belum terhubung." kata Bigfoot.

"Ya, dan kita harus membuatnya terhubung dengan memberinya energi." Randall berbalik sambil berpikir sejenak. "Kita butuh anak manusia."

Tidak banyak bertanya Bigfoot langsung mengangguk paham. "Ada sebuah pemukiman tidak jauh di kaki gunung. Aku akan membawanya ke sini." kata Bigfoot kemudian bergegas berlari turun gunung menuju pemukiman manusia.

Randall kembali menunggu. Tapi kali ini tidak butuh waktu lama bagi Bigfoot dalam pencarian. Kurang dari lima belas menit kemudian Bigfoot sudah kembali dengan seorang anak manusia di tangan.

Anak itu tampak ketakutan ketika Bigfoot membawanya ke depan Randall. Reptil itu menyeringai lebar dan bernapas di depan wajahnya.

"Kerja bagus, Bigfoot." katanya.

Namun tidak ada respon apa pun. Bigfoot tetiba hilang dari pandangan. Randall mengedarkan pandangannya ke sekitar. Ia amat terkejut ketika auman keras terdengar yang disusul dengan teriakan kecil namun nyaring.

"Kita butuh energi, kan?" kata Bigfoot tersenyum lebar sambil melipat kedua tangannya depan dada.

Randall kembali mengatur napasnya yang tadi sempat tidak teratur sebab terkejut. Setelah mendengar kalimat Bigfoot ia pun segera melihat ke arah pintu dan segera mengeceknya. Tapi hasilnya tidak berubah. Pintu itu masih belum terhubung. 

"Kenapa tidak berhasil, ya?" Bigfoot bergumam pelan.

"Mungkin harus memakai energi tawa." sahut Randall. "Coba kau buat dia terta--"

Perkataan Randall terhenti ketika melihat anak yang dibawa Bigfoot tadi sedang terbaring pingsan dengan wajah pucat.

"Semenakutkan itukah diriku sampai-sampai membuat anak itu pingsan?" Bigfoot terkekeh kecil.

Berbalik dengan Bigfoot yang sedang berbangga diri, Randall justru sedang tersulut emosi. Kalau anak itu pingsan, maka ia harus menunggu lagi. Entah untuk menunggu anak itu bangun atau membawa anak lain dari pemukiman.

"BIGFOOT!" teriak Randall.

Bigfoot sedikit terperanjat dan melihat Randall dengan wajah bingung.

"Aku tidak mau menunggu lagi! Satu jam aku menunggumu mencari Yeti, lima belas menit menunggumu membawa anak ini, dan sekarang aku harus menunggu anak itu bangun?! Aku ingin secepatnya kembali ke dunia monster, Bigfoot!" Randall menggeleng pelan sambil menatap tajam ke arah Bigfoot. "Sejak awal kau ini hanya menyusahkan saja."

Bigfoot sedikit tersentak. Ia pun ikut tersulut emosi. "Tidak usah menyalahkan! Memangnya kamu bisa sampai ke sini seorang diri?"

"Iya! Dan itu seharusnya tidak akan sulit."

Bigfoot mengangguk dua kali sambil menyeringai. "Seharusnya aku tidak usah menolongmu saat pertama kali kita bertemu."

"Aku juga tidak meminta bantuanmu!"

Bigfoot lagi menanggapi. Ia hanya mengangguk dua kali kemudian melayangkan sebuah tinju tangan kiri yang mendarat tepat di wajah Randall.

"Haha, kau pantas menerimanya. Dasar tidak tau terima kasih!"

Randall meringis nyeri sambil memegangi wajahnya. Tanpa butuh waktu lama, Randall langsung membalas dengan mengayunkan ekornya ke arah Bigfoot sampai makhluk besar itu jatuh tersungkur. Perkelahian antara mereka berdua pun tidak dapat dielakkan lagi.

Di tengah perkelahian dua monster itu, anak yang tadi pingsan sudah kembali sadarkan diri. Ia mengucek matanya untuk menyesuaikan penglihatan. Ia pun berkedip berkali-kali agar lebih jelas terlihat.

Anak itu terdiam sebentar sambil memiringkan kepalanya. Kemudian ia tiba-tiba tertawa sebab melihat Randall dan Bigfoot saling tarik-menarik. Bigfoot menarik jambul Randall ke atas. Sedangkan Randall menarik ke bawah bulu janggut milik Bigfoot. Rupanya perkelahian itu menarik perhatian anak manusia bahkan sampai tertawa sebab raut wajah lucu yang dibuat ketika jambul dan janggut itu ditarik.

Anak kecil itu tertawa terbahak-bahak bahkan sampai berguling-guling. Perkelahian baru terhenti ketika Randall terlempar sampai membentur pintu untuk monster yang terbuang dan tidak sengaja membukanya. Keduanya pun tetiba saling menatap kemudian bersorak bersama.

"Pintunya terhubung, Randall!" kata Bigfoot.

"DUNIA MONSTER, AKU KEMBALI!" Randall berteriak keras.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...