Sudah sejak dua bulan lalu aku disibukkan dengan prosedur penerbitan. Tepatnya saat email pengajuan naskahku disetujui oleh penerbit. Ini adalah buku pertamaku, tapi siapa sangka pra-pemesanannya sudah terjual habis dalam waktu dua hari saja. Dampaknya, saat buku rampung tercetak tanganku dibuat pegal sebab menandatangani semua halaman depan bukunya, dan juga dengan segala bentuk promosi lainnya. Dampak lainnya setelah dua bulan buku pertamaku disebar ke seluruh Indonesia, lusa nanti akan ada acara peluncuran buku pertama oleh penerbit di toko buku terdekat. Aku akan tampil di sana sebagai seseorang yang namanya tertulis di halaman depan buku itu dan bertugas menjelaskan sekaligus bercerita perihal isi dan cerita dibaliknya.
Dalam diri aku tidak bisa berbohong jika aku tidak senang. Aku tidak pernah menyangka hal sebesar ini akan menimpa seorang kurus kecil sepertiku. Apalagi aku akan berbicara di depan orang banyak setelah terakhir kali aku melakukannya adalah sewaktu di bangku sekolah menengah.
Kesibukkan lainnya adalah bolak-balik ke luar kota untuk datang ke kantor penerbit. Hal yang tidak pernah aku lakukan dalam hidup: Bepergian seorang diri ke luar kota untuk menemui sekumpulan orang yang belum aku kenal. Seorang penakut baru saja menghabisi musuh bebuyutannya dan berubah menjadi sosok yang baru.
Jika menilik kembali perjalanan menulisku, aku teringat saat pertama kali aku menulis, juga alasan kenapa aku mulai menulis. Sebuah alasan yang baru aku sadari setelah menulis cukup lama. Berawal dari keinginanku untuk berlaku romantis bagi seorang gadis kecil di hari ulang tahunnya. Saat itu aku belum mampu merangkai kata, alhasil aku gunakan lirik lagu sebagai puisinya. Meskipun begitu, respon gadis kecil itu begitu menyenangkan. Dari situlah aku mulai tertarik untuk merangkai kataku sendiri. Jika hanya dengan lirik lagu saja sudah membuat dia senang, apalagi jika benar itu adalah tulisanku. Sudah tentu ia akan terbang.
Alasan lainnya adalah sebab ia juga menulis. Gadis kecil itu pernah memberiku dua cerpen tulisannya untuk dibaca. Tulisannya seolah menarikku untuk ikut menulis juga. Meskipun banyak tahun sudah berlalu, aku masih ingat betul dua judul itu. "Akhir Rindu" dan "Temani Aku". Entah atas dasar apa aku bisa berpikir kalau dua judul itu seolah pesan yang ingin ia sampaikan. "Akhir Rindu" seolah berarti berakhirnya kisah dia dengan masa lalunya, dan "Temani Aku" seolah membuka pintu bagiku untuk masa depannya. Jika mengingatnya lagi, aku merasa malu sekaligus tertawa pada diriku sendiri dan berpikir bagaimana bisa seorang anak kecil penakut yang baru mengenal cinta bisa-bisanya berpikir seperti itu.
Dua hari lagi peluncuran buku pertamaku akan diadakan. Tepatnya di tanggal 7 Desember nanti. Hari ini aku sedang dalam perjalanan menuju salah satu kampus ternama di Bandung. Aku ingin menemui seseorang guna mengucapkan terima kasih. Dari kejauhan gedung rektoratnya itu sudah bisa kulihat. Tapi tujuanku bukanlah gedung mewah dan ikonik itu. Melainkan Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran yang akan kujadikan tempat bersejarah dalam hidupku.
Aku keluar dari parkiran dan meninggalkan motorku di sana. Banyak sekali mahasiswa lalu-lalang di depanku. Aku tidak tau ada agenda apa hari ini di sini. Aku tidak pernah tau ada kegiatan apa saja setiap harinya. Aku datang tanpa tanya dan tanpa kabar apa pun soal tempat ini. Aku datang hanya dengan bekal foto-foto di internet dan vlog seseorang yang melakukan safari keliling kampus.
Aku seperti tersesat dalam hutan yang tidak tau arah mana yang harus diambil. Aku tidak tau harus mulai dari mana. Apakah pergi ke kantin dulu sebab semua mahasiswa pasti pernah ke sana. Atau pergi ke perpustakaan karena kupikir orang yang kucari itu gemar membaca. Atau mungkin di masjid sebab pertama kali aku mengenalnya adalah sebagai remaja masjid.
Sebanyak apa pun aku berpikir, pada akhirnya aku malah kembali ke parkiran dan memutuskan untuk menunggunya di sana. Sambil melihat diri sendiri dalam kaca spion, aku menggerutu seorang diri. Aku sudah datang sejauh ini, bagaimana bisa aku hanya duduk diam saja. Dia tidak akan bisa ditemukan kalau aku tidak mencari.
Aku pun beranjak pergi. Sambil melihat sekeliling aku terus berjalan dan berharap dapat langsung menemukannya. Aku hanya terus berjalan tanpa ada keinginan untuk bertanya. Sampai akhirnya aku menutuskan berhenti di sebuah tempat dengan banyak bangku taman. Aku pun duduk di salah satunya. Beristirahat sejenak dan mencoba menarik napas.
Aku membuka tas yang kubawa. Mengeluarkan sebuah buku yang masih terbungkus rapih dalam plastiknya. Aku tersenyum sebentar melihat buku yang sedang kupegang. Kemudian aku tarik napas panjang dan kurebahkan tubuhku di atas bangku taman. Wajahku kuarahkan menghadap langit dan kututup dengan buku tadi sambil menutup mata. Aku kembali mempertanyakan apa tujuanku kemari. Mencari seorang gadis kecil yang dulu sempat berbagi rasa, namun perihal kabar saja aku tidak tau banyak. Aku jadi ragu dengan diriku sendiri.
Keraguan yang baru saja kusebut seketika hilang mati dihajar kejutan semesta. Ketika aku menurunkan kembali kepalaku, kulihat seorang perempuan dengan seragam merahnya lewat di depanku. Sontak aku pun bangkit berdiri kemudian berlari dan memanggilnya.
"Mila!"
Merasa namanya dipanggil, ia menengok ke arah di mana suara itu datang. Wajahnya tampak begitu terkejut begitu juga dengan wajahku.
Sambil mengatur napas, aku berhasil sampai di dekatnya. Mila tampak hebat dengan seragam merahnya. Kerudung hitamnya pun berhasil menjadi pelengkap menghiasi pemandangan paling indah yang diberikan semesta padaku.
"Hhhh, akhirnya ketemu juga."
"Karim?! Kok bisa ada di sini?" tanya Mila dengan wajah kagetnya.
"Iya. Apa kabar, Mila?"
"Kabarku baik. Kenapa kamu bisa ada di sini? Ngapain?" Keterkejutannya itu tampak begitu jelas sekali di wajahnya.
"Kabarku baik juga." Kataku tidak menjawab satu pun pertanyaannya.
Mendengar kalimatku wajahnya langsung berubah datar. "Iya, kamu apa kabar?"
Aku hanya tertawa dan tidak menjawab pertanyanya. Rasa rinduku berangsur terobati setelah melihat wajahnya itu.
"Ih, malah ketawa." Katanya sedikit kesal. "Kamu ngapain di sini?"
"Aku mencarimu."
"Untuk apa? Kenapa mencariku?"
"Sepertinya kamu lupa ini hari apa." Aku mengangkat buku yang kubawa ke depan wajahnya. Dengan senyuman lebar aku berucap, "Selamat ulang tahun, Mila."
Mila hanya diam sambil matanya berkedip sesekali. Pandangannya bolak-balik melihatku dan buku yang perlahan ia terima.
"Terima kasih."
Hanya ada dua kata yang keluar dari mulutnya. Tapi dalam pipinya yang merah itu menyiratkan banyak kata. Aku membalasnya dengan tersenyum. Kini pandangannya sudah sepenuhnya beralih pada buku yang ia pegang.
"Kapal Karim?" tanya Mila yang menyebutkan nama penaku. Pandangannya langsung berpaling padaku.
"Iya. Itu buku pertamaku. Akhirnya salah satu tulisanku berhasil terbit."
"Aku merasa terhormat bisa mendapat hadiah ulang tahun sebuah buku yang diantar oleh penulisnya langsung."
"Lengkap dengan tanda tangan dan surat rahasia dari si penulis tampan nan rupawan, hahaha."
Dia ikut tertawa mendengar leluconku. Tawa yang sama dari beberapa tahun lalu yang masih kuingat sekali.
"Karim." panggil Mila. Wajahnya tetiba saja berubah serius. "Apakah tujuanmu datang ke sini hanya untuk memberiku hadiah saja? Atau ada hal lain?"
"Oh, iya ada. Aku ingin berterima kasih padamu."
"Untuk apa?"
"Untuk semuanya. Karenamu lah aku bisa jadi seperti ini."
Mila hanya mengangguk. "Iya sama-sama. Adakah hal lain lagi?"
Aku berpikir sejenak. Mila seolah tau saja kalau masih ada hal yang aku lupakan. Setelah mengingatnya aku pun membuka tasku dan mengeluarkan selembar kertas poster.
"Dua hari lagi di toko buku dekat PUSDAI akan ada acara peluncuran buku pertama. Aku ingin mengundangmu untuk datang ke sana." Kataku sambil menyodorkan posternya.
Mila menerimanya dan membacanya sekilas, kemudian melipat dan menaruhnya di belakang buku.
"Baiklah aku akan datang." Katanya. "Adakah hal lain lagi? Hal yang paling penting."
Aku terdiam. Kali ini aku merasa kalau sudah tidak ada lagi yang aku lupakan. Memberinya hadiah buku, mengucapkan terima kasih, dan mengundangnya ke acara peluncuran buku pertama. Semuanya sudah aku beritahu padanya.
Aku pun menggeleng. "Sudah itu saja. Tidak ada hal lain lagi."
"Sepertinya kamu lupa."
Mila menarik napas dalam dan menutup mata kemudian tiba-tiba saja maju mendekat dan memelukku. Pelukan yang amat erat sekali.
Sambil berbisik Mila berucap pelan, "Aku merindukanmu, Karim."
Aku yang belum siap dengan semua itu hanya terdiam mematung selama beberapa detik. Setelah Mila selesai dengan kalimatnya, baru lah aku membalas pelukannya. Bagaimana bisa aku lupa hal penting dalam sebuah perjumpaan: melepas rindu pada sesama.
"Iya. Aku juga merindukanmu, Mila."
Komentar
Posting Komentar