Langsung ke konten utama

Berakit Ke Hulu Berkemah Kemudian

TANGGAL MERAH

Tiap tanggal merah biasanya kegiatan kampus diliburkan. Sama seperti hari pertama kuliah setelah libur lebaran. Hari masuk kampus mundur satu hari ke Hari Selasa sebab hari sebelumnya adalah tanggal merah di Hari Senin.

Setelah dua minggu belajar seperti biasa, kalender kembali menampilkan warna merah. Kali ini ada di Hari Kamis. Hari libur sudah dikonfirmasi oleh salah satu dosen ketika ketua kelas menanyakannya di hari sebelumnya.

"Iya, besok libur." kata dosen.

Kuliah di hari rabu itu berjalan lancar sampai selesai. Seperti biasa aku pulang  bersama temanku naik motor. Sewaktu berangkat pun begitu. Entah atas dasar apa, hari itu ia membawaku pulang dengan jalur yang berbeda tidak seperti yang biasa dilalui. Jalan itu menampilkan kemewahan Kota Bandung dengan baik. Aku tiada henti menengok kanan-kiri melihat sekeliling. Hampir sembilan belas tahun hidup di Bandung aku tidak pernah tau ada tempat seperti itu di sini. Mataku terus berbinar sepanjang jalan pulang. Hari itu aku diajak bertualang menjamah jalanan Bandung yang belum kuketahui sebelumnya.

Sore hari di hari yang sama, grup kelas sedang ramai membahas kedatangan seorang tamu dari Timur-Tengah yang akan datang ke kampus hari besok di tanggal merah. Beliau adalah pemilik dari kampus yang aku tinggali untuk mengenyam ilmu setiap hari, sampai dua tahun lalu. Beliau sudah bukan lagi pemilik sekarang. Meski begitu, kampus tetap mengundangnya untuk sekadar saling sapa dan berbagi cerita serta terus menyambung tali silaturahim. Beberapa anggota kelas saling bertanya di grup itu apakah akan datang ke kampus atau tidak di hari libur. Beberapa yang lain menjawab akan datang dan ada juga yang tidak bisa.

Sampai menjelang malam, pimpinan kampus mengeluarkan kebijakan. Mahasiswa diwajibkan masuk di hari libur untuk menyambut tamu istimewa itu. Mahasiswa pun akan tetap belajar untuk dua mata kuliah saja. Saat mata kuliah terakhir, seluruh mahasiwa dikumpulkan di masjid untuk menyambut kedatangannya. Sebagai ganti sebab harus belajar di hari libur, pimpinan kampus bilang akan mengganti hari libur di esok harinya. Tidak jadi libur di hari Kamis dan berganti jadi hari Jum'at, pimpinan kampus berhasil menghindari Hari Kejepit Nasional dengan begitu apik.

"Kakak juga mau datang ke sana." kata Kakak perempuanku.

Aku dan Kakak kuliah di kampus yang sama. Hanya saja kampus laki-laki dan perempuan terpisah jauh. Jadi selama di kampus, kehadiran perempuan ada suatu momen paling langka di sana. Kabar yang Kakak bawa itu tentu adalah sebuah momen berharga bagi kawan sekampus. Hari itu kampus akan kedatangan perempuan untuk ikut hadir menyambut mantan pemilik kampus. Kabar ini aku simpan saja sendiri dan tidak kuberitau pada siapapun di kampus. Sebab masih ada keraguan dalam ucapan Kakak.

Besoknya, mata kuliah pertama selesai seperti biasa. Namun ada sedikit tambahan saat dosen menjelaskan rincian tentang acara hari ini. Siapakah tamu itu, untuk apa datang ke sini, dan mengapa bisa datang, semuanya ia jelaskan.

Mata kuliah kedua tidak berjalan dengan baik. Dosen tidak masuk ke kelas dan hanya memberikan tugas saja. Sesuai dugaanku selagi dalam perjalanan ke kampus.

"Memangnya para dosen bisa mengajar saat sedang menyiapkan acara penyambutan tamu?" kataku.

Acara itu berjalan dengan baik layaknya seminar motivasi. Meskipun cukup membosankan bagi mahasiswa tahun pertama, sebab acara sebagian besar diisi dengan Bahasa Arab. Seminar dalam Bahasa indonesia saja seringkali mengundang kantuk, apalagi ditambah adanya penggunaan bahasa asing yang masih belum dimengerti. Rasa kantuk datang lebih cepat bagi beberapa orang.

Selama acara, aku terus menengok ke luar jendela. Tidak aku temukan satu pun keberadaan perempuan di sana. Sampai aku kembali ke rumah. Kakak baru mengonfirmasi kalau acara itu hanya berlaku untuk laki-laki saja. Aku kira fenomena langka akan terjadi. Aku kira ada oase di depan sana. Ternyata itu hanya fatamorgana.

Seperti kata pepatah, "Berakit-rakit kita ke hulu, berenang-renang kita ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian."

Tidak apa aku pergi ke kampus di tanggal merah, asalkan setelah itu ada kesenangan yang siap menyambut.

Seperti notifikasi pesan dari seorang teman yang mengajakku berkemah esok harinya. Tepat setelah Sholat Jum'at kami berangkat. Kemah ini hanya beranggotakan tiga orang: aku, temanku, dan guruku. Kita berangkat dengan dua motor. Masing-masing motor penuh dengan barang bawaan dan aku sebagai penumpang.

KEMBALI KE ALAM

Gunung Puntang adalah tujuan kemah kami. Sepanjang perjalanan ke sana, aku tiada henti menahan pegal sebab terlalu lama duduk. Ditambah adanya jalanan yang tidak bagus selama perjalanan. Bahkan dalam posisi di tengah perkebunan di kaki gunung, ada jalan yang ditutup tanpa sebab yang kami ketahui. Alhasil kami harus mencari jalan lain melalui jalan setapak kecil yang sudah seperti ujian pembuatan SIM.

Aku memang sudah lama tidak berkemah. Aku kecil bahkan lebih pengalaman daripada sekarang. Tapi setiap kali aku berkemah, seringnya menjadi peserta yang semuanya sudah disiapkan. Seperti lokasi tenda, agenda di waktu malam, kapan harus bangun, dan segala kegiatan kemah lainnya.

Aku tidak menyangka ketika sampai sana kami belum tau akan membangun tenda di mana. Banyak waktu terbuang hanya untuk mencari lokasi. Bahkan sampai salah masuk lokasi yang tidak diperuntukkan untuk berkemah.

"Emang boleh motor lewat jembatan itu?" tanya temanku.

"Lewati aja." jawab guruku. "Nanti kalau ditanya bilang aja enggak tau."

Siapa sangka pandemi bisa membuat dua gunung terbelah dua. Maksudnya terbagi dua kepengurusan. Jembatan itu adalah pemisahnya. Kami lewati jembatan itu dengan motor dan masuk wilayah Nagara Puntang. Tempatnya memang jauh lebih indah dan bersih. Sebab katanya sudah diurus dengan baik.

Kami sudah memutuskan untuk mendirikan tenda di sana. Aku disuruh menunggu di tempat saat seorang pengurus datang mendekat. Teman dan guruku bergegas kembali dengan motornya takut-takut akan ditegur nantinya.

Aku pun diam di tempat melihat-lihat sekitar. Betapa indahnya tempat ini. Rumput hijau yang tertata dengan rapih. Tidak jauh dari sana juga tampak sungai mengalir jernih. Suara percikannya yang begitu menenangkan. Ada juga reruntuhan bangunan lama yang menambah estetika pesonanya.

"Permisi, Mas." panggil seorang petugas padaku.

Aku pun berbalik dan membalasnya dengan tersenyum kikuk. Mengira akan mendapat teguran darinya.

"Kamu yang tadi datang pakai motor itu, ya?" tanyanya.

Saat itu juga aku langsung memakai topeng muka yang tidak kepalang tebalnya. Aku balas mengangguk.

"Di sini itu enggak boleh masuk motor, Mas. Kecuali pengurus." katanya.

"Oh gitu, ya? Maaf enggak tau, Pak." kataku persis seperti kata guruku.

"Masnya mau kemah, ya?" tanyanya. "Kalau di sini enggak boleh kemah, Mas. Kami ada area kemah sendiri. Tapi kalau mau kemah di sana nanti bakal ada biaya masuk lagi." jelasnya.

Saat itu aku tidak mampu berkata. Aku berubah sunyi, meskipun dalam diri begitu berisik. Untuk mengakhiri pengadilan harga diri itu aku pun memutuskan untuk kembali.

"Kalau begitu saya kembali saja, Pak." kataku.

"Iya silakan. Nanti kasih tau rekannya, ya."

Gagal mendapat tempat, kami pun mencari tempat lain. Lagi-lagi aku disuruh menunggu sambil menjaga barang bawaan selagi mereka mencari tempat lainnya. Aku memang suka menyendiri, tapi kalau disuruh menunggu itu benar-benar menyebalkan. Terlebih mereka pergi begitu lama. Saat mereka kembali, aku mengumpat dalam hati ketika tempat yang mereka pilih ternyata tidak jauh dari tempatku menunggu tadi. Tapi umpatan itu jelas tidak mampu dikeluarkan oleh penakut sepertiku. Aku simpan saja dalam hati sebagai cerita dan pengalaman.

Kami pun membangun tenda segera sebab malam hanya tinggal beberapa jam lagi. Kegiatan kemah tidak begitu menarik seperti dulu sewaktu aku kecil. Kemah sebagai seorang pramuka bersama banyak rekan serangkaian kegiatan seru lainnya. Di malam hari kami makan dan minum. Semangkuk mie instan kuah sebagai makanan pembuka. Sehabis itu dilanjut dengan acara panggang-memanggang. Tiga potong sosis serta daging sapi yang sudah dicuci bersih dan dipotong kecil. Tidak lupa juga untuk dibumbui untuk mendapatkan kemeriahan rasa. Tidak kusangka potongan kecil itu berhasil membuatku perutku penuh. Malam itu berakhir dengan cepat. Tidak ada acara api unggun sebab hujan sempat turun sebentar dan membasahi kayu bakarnya.

Acara seru baru dimulai ketika pagi. Setelah sarapan kami pergi mendaki berniat mencari curug. Perjalanan berjalan lancar meskipun jalur yang dilalui tidak mudah. Bahkan jalurnya lebih menantang bagiku dari semua pengalamanku berkemah dan menjelajah hutan.

Tumpukan batu-batu, pepohonan tumbang, dahan-dahan panjang yang menghalangi jalanan. Bahkan aku aku menemukan gua kecil yang dibuat tanaman merambat dengan menyisakan lubang sebagai jalur kami lewat.

Kurang lebih satu jam kami berjalan, curug itu tidak kunjung kami temukan. Kami hanya sampai di ekornya saja yang merupakan sungai dengan airnya yang mengalir deras. Kami sempat istirahat sejenak dan mambasuh muka dengan airnya yang segar.

Meskipun belum sampai tujuan, kami putuskan untuk kembali sebab setelah melihat peta ternyata kami baru sampai setengah jalan. Berniat mencari curug lain sepanjang jalan pulang, tapi ternyata harus lewat jalur lain untuk sampai ke sana. Kami bulat putuskan untuk kembali dan memilih untuk mengambil gambar saja di Nagara Puntang dan berkeliling sebentar.

Kami kembali ke tenda dan bersiap untuk agenda selanjutnya: berenang di sungai. Dengan baju ganti sebagai barang bawaan, kami pun pergi ke lokasi yang rupanya sudah di tinjau kemarin. Saat itu aku baru tau alasan mereka pergi begitu lama.

Sampai di sana, sungai itu penuh dengan sekumpulan anak-anak yang sedang berenang. Begitu juga dengan pengunjung lainnya. Tapi sungai bukan hanya sepnjang meteran jahit, kami pun pergi menulusur bagian sungai yang sepi pengunjung.

Airnya begitu sejuk, aku sampai menggigil hebat sampai tubuhku bergetar terus. Jadinya aku tidak banyak berendam di airnya. Aku lebih sibuk membangun menara batu. Suara desir air sungai benar-benar menenangkan dan membuatku konsentrasi penuh dalam menjaga keseimbangan menaranya. Setelah berdiri tegak, kamudian aku lempari dengan batu dari kejauhan sampai roboh lagi.

Menara lainnya aku bangun lagi di tempat baru. Kali ini aku menantang diriku untuk membangunnya dengan batu yang macam-macam bentuk. Aku berhasil membangunnya sampai lantai delapan, tapi saat ingin membangun yang ke sembilan, tanganku bergetar hebat sebab dingin dan merobohkannya. Sialnya batunya jatuh dan jauh dari jangkauan. Alhasil aku mencobanya lagi dengan batu lain tapi belum sempat berdiri aku sudah dipanggil untuk kembali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...