"Mau takbiran di masjid, enggak?" tanyaku pada seorang teman.
Ia menjawab kalau dirinya sudah ada di masjid bersama teman lain. Bergegaslah aku bersiap kemudian berangkat ke masjid. Namun sesampainya disana, masjid hanya berisi seorang remaja dengan memegang mic di tangan sambil mengumandangkan gema takbir. Aku sudah bisa menebak siapa saat masih di jalan siapakah yang berada di belakang mic, tapi tidak kusangka kalau dia ternyata hanya seorang diri dan tidak ada teman-teman lain. Bersamanya terdapat beberapa anak mengantri di depan mic lain yang bisa berdiri sendiri untuk bergantian ikut meramaikan malam dengan takbir. Mereka mengantri sebab dilarang menyentuh micnya oleh pengelola masjid yang bertugas mengatur pengeras suara. Katanya dikhawatirkan akan merusak dan sebagainya.
Aku pun ikut duduk bersama mereka dan bersama-sama mengumandangkan takbir. Sampai kulihat lewat pintu masjid teman-teman lain itu ada di luar. Tapi mereka hanya selewat saja dan tidak ada keinginan untuk masuk ke dalam masjid. Aku pun keluar untuk bertemu mereka yang ternyata ingin naik ke tempat bedug. Mereka juga akan ikut meramaikan malam namun dengan cara yang lain. Aku sudah mengajaknya untuk ikut takbiran juga, tapi katanya alasan mereka datang memang hanya untuk bedug, dan alasan lain bagi teman-teman yang merupakan Panitia Pelaksana Program Ramadhan adalah tunjangan hari raya sebagai bayaran bagi mereka yang sudah berkerja keras untuk meramaikan masjid selama bulan Ramadhan. Aku menggeleng kepala sambil terkekeh kecil. Aku tidak bisa menyalahkan mereka yang tidak mau ikut takbiran, sebab aku juga mengharapkan tunjangan itu. Setelahnya aku pun kembali ke masjid dan ikut takbiran lagi.
Kala malam semakin gelap dan suara yang sudah mulai terkikis habis, aku memutuskan untuk kembali bertemu teman-teman. Yang ikut takbiran bersamaku juga ikut keluar untuk melihat mereka. Sampai angin malam berhembus membuatku menggigil, tunjangan yang ditunggu itu belum juga cair. Aku pun memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Setelah makan beberapa camilan dan melihat kemeriahan malam takbiran di daerah lain melalui layar hitam televisi, seorang teman datang ke rumahku dengan membawa tunjangannya. Malam itu tidurku nyenyak sekali! Beruntung paginya aku tidak terlambat untuk Shalat Eid.
...
Sewaktu sore hari di hari terakhir bulan Ramadhan, sebuah kabar gembira mengudara pada pukul empat yang tepatnya aku kurang tau dari keluarga tetangga dekat rumah. Mereka baru saja kedatangan calon keluarga yang baru saja lahir ke dunia setelah menginap sejenak dalam rahim seorang perempuan kuat.
Pertama kali akan pergi ke bidan, namun kemudian dirujuk ke rumah sakit dengan sebab satu dan lain hal. Beranggotakan tiga orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Calon murid baru yang akan memerankan sosok adik bagi sang kakak. Ibu dan ayahnya pergi ke rumah sakit dengan meninggalkan sang kakak sebab terhalang izin rumah sakit.
Malam itu keluargaku bertambah satu orang bersamaan dengan gema takbir menjelma gugusan bintang yang menghiasi malam. Gemuruhnya lebih hebat dan lebih indah mengalahkan daya tarik kembang api. Sang kakak dititipkan kepada kami. Sampai di hari lebaran, sang kakak menjelma anak paling bungsu di keluarga. Ibu menyebutnya "bungsu dadakan" setiap kali berkeliling mendatangi rumah-rumah untuk silaturahmi.
Malam di hari terakhir Ramadhan itu dituruni hujan deras. Lembaran-lembaran berharga perlahan mulai mengisi perut dompet yang sudah berpuasa lama entah sejak kapan. Tapi dari segala tunjangan yang ada, kehadiran sosok baru dalam sebuah keluarga adalah tunjangan tiada tara. Hari raya penuh makna sebab tunjangannya datang langsung dari Tuhan Yang Maha Kaya. Malam itu selepas hujan berhenti, rembulan tampak tersenyum hangat. Gemintang pun turut ambil peran di pangung malam.
...
"Ibu kalau mudik ke mana?" tanya ibuku kepada ibu dari guruku yang rumahnya kami kunjungi.
Dihadapan keluargaku dan keluarganya ibu itu menjawab serius dengan Bahasa Sunda yang fasih. "Ibu mah ti Sukabumi." katanya.
Ibuku mengernyitkan dahi. Sebab heran dengan jawaban ibu itu. "Bukankah Ibu tuh asli sini, ya?" tanya Ibuku lagi.
"Muhun Ibu teh ti Sukabumi. Suka bumi, jadi ibu mah di bumi weh teu kamamana." jawabnya yang berhasil mengundang gelak tawa dua keluarga di ruangan itu. Kecuali ibuku yang masih terdiam sebab tidak menduga jawaban ibu itu. Ia sudah mengira kalau pertanyaannya akan dijawab dengan serius. Yang diterimanya justru sebuah candaan permainan kata. Setelah ibu itu mengaku kalau dirinya memang suka bercanda barulah ibuku ikut tertawa bersama.
...
Biasanya kemeriahan hari raya sudah perlahan menghilang kalah hari mulai memasuki siang. Tapi keluargaku baru saja ingin memulai kemeriahan lain dengan keluarga lain yang rumahnya sedikit di luar kota. Cimahi adalah tempat di mana adik ipar dari pamanku yang kupanggil bibi itu tinggal bersama keluarganya. Kami pernah bertemu sebelumnya di Tasikmalaya kala kakak sepupuku yang juga merupakan keponakannya itu menikah. Setelah pertemuan itu ibu dan bibi selalu saja saling melempar ajakan untuk berkunjung ke rumah setelah diketahui kalau kita masih satu daerah, Cimahi-Bandung. Tapi ajakan itu baru terlaksana di hari raya ini. Kami sekeluarga untuk pertama kalinya sudah sejak lama sekali tidak ke Cimahi akhirnya kembali menapakkan kaki di sana.
Perjalanan kami sempat tersedat sebab kami salah tempat ketika turun dari taksi online yang tidak sesuai dengan yang sudah dijanjikan. Kami berjanji untuk bertemu Indomaret Sadarmanah untuk kemudian dijemput di sana dan diantar ke rumah yang tidak jauh dari sana. Tapi siapa sangka ternyata ada dua Indomaret Sadarmanah, dan sialnya kami menganut Indomaret yang berbeda. Katanya Indomaret yang kami pijaki sekarang itu terlewat jauh. Sewaktu dalam masih dalam taksi online kami memang sempat melewati satu Indomaret sebelum turun di Indomaret, dan siapa sangka ternyata Indomaret yang dimaksud adalah kami lewati begitu saja. Alhasil kami harus putar balik dan naik angkot untuk sampai sana, sebab kalau berjalan kaki itu cukup jauh, begitu awalnya yang kami inginkan.
Di dalam angkot tetiba bibi menelepon dan berteriak heboh. Kami kurang mengerti mengapa begitu sampai ketika kami turun dan bertemu katanya ia mengira angkot yang kami naiki itu terus melaju dan lewat begitu saja. Tapi ternyata ia hanya salah mengira. Sebab saat itu angkot kami masih cukup jauh, bahkan sopir angkotnya pun ikut gabung dalam percakapan telepon yang entah mengapa ibuku keraskan suaranya. Kata sopir angkot itu, "Belum, belum lewat. Indomaret yang dekat Keluaran itu masih di depan." Aku sedikit terkekeh mendengarnya. Sopir itu menjawabnya dengan gemas akan kehebohan ibuku dan bibi di telepon.
Beruntung akhirnya kami bertemu dan sampai di rumah bibi dengan kelelahan.
...
Hujan turun cukup deras kala langit mulai gelap menjelang maghrib. Kami memutuskan untuk pulang kala itu dan melintasi jalan Cimahi-Bandung untuk kembali ke rumah. Lewat Tol Pasteur perjalanan kami cukup menyenangkan sebab sopir taksi online yang membawa kami begitu pandai bercerita. Bahkan ia mampu menebak darimana kami berhasal hanya karena ucapan ibu.
"Bibi, ieu payung hiji dibawa wae?" kata ibu yang sedang berbicara pada bibi.
"Kana salembur mah moal salah, Bu." kata si si sopir yang tau asal kami hanya dari cara ibu mengucapkan huruf "j" dalam kata "hiji". Setelah ia baru mengaku kalau dirinya juga sama-sama berasal dari Cirebon.
Di bawah hujan itu ia masih terus saja bercerita. Ia menceritakan pengalamannya yang mengundang gelak tawa. Katanya ia punya penumpang yang merasa heran setiap kali ia datang ke Cirebon.
"Kenapa ya setiap kali datang ke Cirebon selalu ditawari untuk membeli becak." katanya. Kemudian dilanjut dengan menirukan bagaimana orang-orang Cirebon menawari becak. "Becak beli?"
Sambil menahan tawa si sopir berusaha menjelaskan dengan perlahan. "Maksudnya itu "bapak mau naik becak, enggak?" Ia terus saja menjelaskan sampai penumpangnya mengerti. "Maksudnya 'beli' itu 'enggak' dalam bahasa Cirebon. "Mau naik becak enggak?', gitu." Detik itu lagi-lagi ia berhasil menggelitik perutku yang mulai merasa mual.
Satu lagi ia bercerita yang masih berhububgan dengan becak. Ia bilang katanya kalau istrinya itu trauma naik becak. Sebab sewaktu masih pacaran dalam jalan pulang mereka tidak menemukan angkutan lain. Si sopir pun mengajak pacarnya itu untuk naik becak saja. Dalam gelap malam si tukang becak tidak mampu melihat jalanan dengan baik. Alhasil ketika ada polisi tidur ia tidak melihatnya dan terus melaju saja tanpa rem. Dalam kegelapan itu becak terguling sampai si sopir dan pacarnya terkurung di balik becak. Ia mengatakan kalau detik itu hubungan mereka terancam putus sebab dirinyalah yang memaksa untuk naik becak. Beruntung itu tidak berlanjut lama dan pacarnya itu adalah istrinya yang sekarang.
Sampai di rumah hujan masih saja terus turun. Aku sekeluarga sampai di rumah dengan kelelahan. Setelah menjalankan segala kewajiban, malam itu kami larut dalam tidur dan kemeriahan hari raya pun berakhir.
Komentar
Posting Komentar