Langsung ke konten utama

Jemput Pulang

 Aku mulai melajukan mobilku saat lampu lalu lintas sudah berubah hijau kembali. Hari ini adalah hari aku akan diwisuda setelah berjuang empat tahun berkuliah. Acara wisuda akan dilaksanakan siang ini di Aula kampus. Aku sedang dalam perjalanan ke sana. Tapi sebelum itu, aku akan mampir sebentar ke kantor polisi untuk menjemput seorang sahabat di sana. Dia bukanlah seorang polisi atau seseorang yang bekerja di sana. Tapi dia tinggal di sana. Dulu, dia pernah diringkus polisi di sebuah rumah mewah yang ditinggal penghuninya bepergian. Ia pun ditangkap dan sebab itulah ia harus mendekam di dalam penjara selama satu tahun.

Namanya Jaka Haris, sahabat dan juga teman sekelasku di kampus. Aku berani bersumpah, Jaka bukanlah seorang penjahat. Keinginannya untuk menolong orang lain adalah alasan yang menjadikannya berlaku demikian.

Orang lain itu adalah seorang anak jalanan yang sudah menyelamatkan hidup Jaka. Saat Jaka dilanda keputusasaan dan ingin menyerah pada kehidupan, serta aku yang sebagai sahabatnya juga sedang tidak ada di sampingnya, seseorang tanpa masa depan yang baik menurut kebanyakan orang itu malah berhasil menyadarkannya akan arti pentingnya kehidupan.

Jaka ingin membalas kebaikan penyelamatnya itu. Ketika ia dibawa olehnya bertemu dengan teman-temannya sesama anak jalanan, ia putuskan untuk menyerahkan hidupnya untuk membantu mereka. Hampir setiap hari Jaka bawakan mereka makanan, memberi mereka pakaian yang layak, serta satu impiannya untuk mereka adalah memberikan mereka semua tempat tinggal yang layak. Sampai-sampai ia lupa dengan keadaan dirinya sendiri. Seorang anak rantau yang masih bergantung pada uang kiriman dari orang tua, serta penghasilan dari pergi bekerja yang hanya cukup untuk dirinya sendiri. Puncaknya, Jaka malah kehilangan tempat tinggalnya sendiri dan sebagai sahabatnya aku mengambil tanggung jawab untuk membawanya tinggal bersama denganku.

Meskipun dirinya sedang dalam kesulitan, tapi Jaka masih ingin membantu mereka. Ia sudah kehilangan semua hartanya. Uang kiriman dari orang tuanya pun hanya datang sebulan sekali, dan tentu sudah ia habiskan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jaka tidak mau mengecewakan anak-anak jalanan itu. Ia putuskan untuk tetap membantu mereka. Biarpun bukan dengan hartanya sendiri. Dia pun pergi mencopet, mencuri, dan merampok untuk memenuhi keinginannya itu.

Sebab Jaka tinggal di penjara adalah karena sebuah surat entah dari siapa dikirim ke kantor polisi dan memberitahukan semua detail rencananya. Polisi pun datang ke tempat Jaka beraksi dan langsung menangkapnya. Selama tinggal di dalam penjara, ia hidup dengan penuh tanda tanya. Pertanyaan itu terus saja datang perihal siapakah yang mengirim surat itu ke polisi. Tapi Jaka tidak bisa berbuat apa-apa. Akulah yang akhirnya mengambil alih untuk itu. Satu tahun ini aku pergi menyelidiki tentang surat itu, bersamaan dengan proses menulis skripsiku.

Keesokan hari setelah Jaka ditangkap polisi di malam harinya, aku mendapat telepon dari kantor polisi. Jaka yang menelepon. Ia minta aku untuk datang menjenguknya. Aku pun bergegas pergi sebelum ke kampus.

Terkejut saat pertama kali tau kalau Jaka ditangkap polisi, tapi itu memang risiko baginya. Aku tau dia beberapa hari ini pergi mencopet dan mencuri. Jaka yang cerita sendiri padaku. Soal anak-anak jalanan yang selama ini dibantunya, aku pun sudah tau. Ia tidak bisa menyembunyikannya dariku saat Jaka memintaku untuk ikut tinggal di tempatku. Aku pun baru tau soal Jaka yang selalu pulang cepat dari kampus satu bulan ini. Tidak seperti biasanya. Karena itu, aku meminta Jaka untuk mengenalkanku pada sekumpulan anak jalanan itu.

Sepulang dari kampus, aku putuskan pergi bertemu anak-anak asuh Jaka untuk melakukan penyelidikan. Aku ingin pekerjaan ini segera selesai. Aku tidak ingin pengerjaan skripsiku terganggu karenanya.

Seperti apa yang aku dapat dari polisi pagi tadi, katanya surat itu dikirim melalui pos. Dikirim tanpa nama pengirim, dan alamat tujuan pun hanya di tulis kanto polisi. Sebab itu polisi sempat ragu dengan isi suratnya. Tapi mereka tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Tes sidik jari pun dilakukan untuk mengetaui siapa pengirimnya. Dari hasil tes itu, hanya ada sidik jari anggota-anggota polisi yang sempat memegang surat itu serta dua sidik jari lain yang tidak dikenal.

"Kemungkinan mereka adalah orang-orang yang tidak terdata di dinas kependudukan. Bisa jadi orang itu adalah wisatawan ilegal atau gelandangan." kata salah satu polisi kepadaku.

 Begitu aku sampai di sana, satu hal yang langsung mereka tanyakan adalah perihal Jaka. Ke mana Bang Jaka? Kenapa dia tidak datang? Dan apakah Bang Jaka akan datang menyusul? Sebab tidak biasanya aku datang ke tempat mereka tidak bersama Jaka.

"Kakak tidak tau. Satu hari ini kakak tidak bertemu dengannya. Kakak kira dia ada di sini, makanya kakak datang." Aku tidak bisa bilang yang sebenarnya kepada mereka. Sebagian besar dari mereka adalah anak setingkat sekolah dasar. Mereka masih belum mengerti.

Dari sana, aku langsung melakukan introgasi. "Sebenarnya kakak juga mau bertanya itu ke kalian. Karena sejak kemarin sore Jaka tidak bisa dihubungi. Apa dari kalian ada yang bertemu dengannya kemarin?"

Salah seorang di antara mereka menjawab. Dialah yang menyelamatkan Jaka waktu itu. Anak Jalanan yang paling tua di antara yang lain. Seusia anak sekolah menengah atas. "Aku sempat bertemu Bang Jaka, Kak. Sewaktu mengamen bersama Zaki dan Gaga." jawab Indra.

"Iya benar, Kak. Tapi waktu itu Bang Indra kelihatan marah-marah ke Bang Jaka." sambung anak lain. Dia Gaga, usianya masih delapan tahun.

Aku mengerutkan kening. "Marah-marah? Kenapa?"

"Enggak tau, Kak. Tapi waktu tau aku melihatnya, Bang Jaka langsung mengajak Bang Indra pergi." jawab Gaga lagi.

Mendengar itu, Indra langsung memberi isyarat agar Gaga berhenti bicara dengan menaruh telunjuk di bibir. Dari sana, aku langsung menaruh curiga padanya. Tapi aku masih belum bisa memastikan kalau Indra adalah orang yang mengirim Jaka ke penjara. Masih ada satu nama yang tadi Indra sebutkan hanya diam saja sedari tadi. Kepalanya pun terus menunduk. Meskipun dia selalu begitu.

Mendapati semua mata tertuju pada Indra, ia pun mengajakku untuk menjauh dari mereka.

"Aku enggak tau apa kakak tau atau enggak, tapi aku pernah melihat Bang Jaka mencopet." kata Indra. "Dan kemarin, Bang Jaka tampak mencurigakan sewaktu melihat rumah mewah yang setauku sedang ditinggal penghuninya. Aku takut dia akan melakukan perampokan, Kak."

"Perihal mencopet, kakak tau itu." kataku.

"Ka-kata Bang Jaka, makanan, pakaian, dan semua yang diberikannya dibeli dari uang itu.  Aku tau kami semua sedang kesusahan, tapi kami enggak pernah melakukan kejahatan untuk mendapatkan uang. Makanya kemarin aku marah ke Bang Jaka."

"Aku tau Jaka salah, Indra. Tapi soal apa yang Jaka berikan ke kalian, itu benar-benar berasal dari uang dia sendiri. Uang dari mencopet atau mencuri baru dipakainya tiga hari ini. Dia benar-benar tulus membantu kalian. Biar aku beritahu, karena Jaka sangat ingin membantu kalian, ia jadi lupa sama dirinya sendiri. Jaka diusir indekosnya, ia pun dikeluarkan dari pekerjaannya karena selalu datang terlambat."

"Sampai segitunya, Kak?" tanya Indra. Aku jawab mengangguk.

"Tapi, apa kamu jadi membenci Jaka setelah itu?"

Indra menggeleng. "Enggak, Kak. Karena aku juga pernah berpikir untuk melakukannya. Aku enggak tega melhat adik-adikku itu kesulitan makan. Tapi aku tidak bisa meninggalkan mereka kalau suatu saat aku ketahuan polisi. Aku juga pernah bertanya ke Bang Jaka bagaimana kalau polisi tau. Kata Bang Jaka, dia enggak bakal melawan karena dia memang salah dan sudah jadi risiko kalau harus di penjara."

Aku menarik napas dalam. "Dan sekarang, Jaka ada di penjara. Dia ditangkap semalam sewaktu ingin merampok rumah itu."

Indra terdiam. "Seharusnya kemarin aku mencegahnya, ya, Kak?"

"Tidak perlu. Jaka tau apa yang dia perbuat serta risikonya. Jadi tidak perlu khawatir. Oh, iya, tolong jangan beritahu dulu soal Jaka kepada anak-anak, ya? Mereka masih terlalu kecil untuk mengerti keaadaan Jaka."

"Baik, Kak."

Aku akhiri penyelidikan hari itu. Ada beberapa kesimpulan berhasil kudapat. Pertama, pelaku adalah salah satu dari anak-anak jalanan itu. Dari surat yang didapat polisi, di sana berisikan kalimat-kalimat laporan yang ditulis dengan rapih serta bahasa yang sopan. Bisa ditebak kalau pelaku adalah orang dewasa atau hampir dewasa.

Penyelidikan aku lanjut seminggu kemudian. Sebab kegiatan kampus yang begitu padat membuatku tidak punya banyak waktu luang. Aku datang lagi ke tempat anak-anak jalanan itu serta kubawakan sedikit makanan untuk mereka. Setidaknya, selama Jaka di penjara, aku harap bisa menggantikan perannya sementara.

Setibanya di sana, aku melihat mereka tampak bosan dan hanya tidur-tiduran saja sambil memandangi langit-langit jembatan. Saat melihatku membawa sesuatu, mereka langsung bergegas bangun dan merebutnya dariku. Aku hanya menanggapinya dengan tersenyum.

"Indra," panggilku pada Indra. "Apa setiap menjelang malam kalian tidak punya kegiatan?"

"Enggak ada, Kak. Aku sengaja membebaskan mereka." jawab Indra.

"Apa kamu tau apa aja yang mereka lakukan?"

"Kebanyakan dari mereka hanya tidur dan sebagian lainnya bermain. Setauku selalu seperti itu..." ucap Indra tampak menggantung. "Eh, tapi seminggu lalu, Zaki memintaku untuk mengantarnya ke kantor pos. Katanya dia ingin mengirim surat untuk ayahnya."

Surat? Jangan-jangan? Aku bergumam dalam hati.

"Ayah? Memangnya dia masih punya keluarga? Maaf, katamu kemarin kalau kalian semua di sini sudah tidak punya keluarga, kan?"

"Memang benar, Kak. Kecuali Zaki. Dia kabur dari ayahnya."

Indra bercerita padaku tentang kehidupan Zaki sebelum dia bertemu dengannya. Zaki adalah anak yang pintar. Ia juga begitu sopan. Katanya ia dibesarkan dengan baik oleh ibunya. Tapi saat ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, ia tidak diperlakukan dengan baik oleh ibu barunya. Ayahnya pun ikut turut membencinya karena wanita asing itu. Ia pun memilih kabur dari rumah. Pergi dengan penuh harapan untuk dicari, tapi sampai berhari-hari ia menghilang tidak ada satu pun tindakan pencarian dari orang rumah. Sempat ia kembali ke rumah secara diam-diam, tapi kondisi rumah yang tampak baik-baik saja tanpa kehadirannya, Zaki pun memilih pergi. Sepenuhnya pergi dari rumah dan tidak akan kembali lagi. Sampai ia bertemu Indra dan membawanya ke rumah yang baru.

Bagai ada listrik kecil yang menyetrum kepalaku. Sekarang aku sudah tau siapa yang mengirim surat itu. Aku lega karena ini bisa selesai lebih cepat dari dugaanku. Aku pun bisa mengerjakan skripsiku dengan tenang tanpa gangguan. Tapi aku akan tetap datang menyapa Indra dan adik-adiknya. Setidaknya sampai Jaka dibebaskan, dan saat itulah aku akan memberitahukan padanya semua jawaban dari pertanyaan yang terus berputar di kepalanya itu.

Sampai di persimpangan terakhir di dekat kantor polisi tempat temanku tinggal, aku pelankan laju mobilku dan mulai mencari tempat untuk parkir. Aku pun turun dari mobil dan menyapa polisi yang berjaga di depan kantor. Aku mulai bertanya kabar temanku dan kapan dia akan dibebaskan.

"Atas nama Jaka Haris sebentar lagi akan keluar, Mas. Dia masih harus mengisi beberapa berkas kepulangan di  dalam." kata polisi itu.

Mendapatkan jawaban itu, aku putuskan untuk kembali ke dalam mobil dan menunggunya di sana. Sebelum itu, aku juga bilang pada polisi itu untuk memberitahu Jaka bahwa aku menunggunya. Lagi pula aku juga akan menelepon seseorang lebih dulu untuk datang kemari seperti yang sudah kuminta padanya kemarin.

Telepon berdering, panggilan pun tersambung. "Halo, Indra," sapaku. "Sudah sampai mana?"

"Halo, Kak. Aku dalam perjalanan. Zaki juga ada bersamaku, seperti yang Kakak pinta kemarin..." sahut Indra di sebarang sana. "Tapi, Kak. Kenapa harus bawa Zaki? Bukankah Kakak bilang kalau Zaki dan yang lainnya masih terlalu kecil untuk tau soal Bang Jaka?" tanya Indra seterusnya.

"Oh, itu..." jawabku menggantung setelah melihat seorang laki-laki sedang berbincang dengan polisi penjaga di pintu masuk. Segara aku putus panggilan telepon Indra dan menyuruhnya untuk segera datang.

Aku merogoh saku celanaku dan meraih secarik kertas usang yang kusimpan baik-baik satu tahun ini. Aku baca sekali lagi surat itu sebentar kemudian turun dari mobil dan langsung menghampiri seorang laki-laki yang sedang berdiri melihat sekitar mencari seseorang.

"Jaka!" panggilku. Aku menghampirinya dengan sedikit berlari.

"Rudi Maulana, sahabtku!" sahuntnya. Terdengar sedikit menggelikan di telingaku. "Ternyata masih ada yang mau menjemputku, ya?"

"Apa maksudmu? Aku datang karena aku sudah tau." 

Alis Jaka mengernyit. "Soal apa?"

Aku angkat surat usang yang kubawa ke depan wajah Jaka. "Ingat ini? Dan permintaan merepotkan itu?"

Jaka membulatkan mulutnya dan matanya terbuka lebar. "Jadi, kamu sudah tau, Rud?!"

Aku mengangguk dan tersenyum bangga.

"Siapa? Pasti Indra, kan? Aku sudah mengiranya!" Jaka tersenyum lebar kemudian merebut surat usang itu dari tanganku.

Selagi Jaka sibuk membaca surat itu, aku buka ponselku dan kukirim pesan singkat pada Indra.

"Di mana?"

"Kita sudah di gerbang depan, Kak."

"Oh, langsung masuk saja."

Aku tutup kembali ponselku. Melihat ke arah gerbang depan dan kulambaikan tangan saat menemukan keberadaan Indra di sana. Aku kembalikan perhatianku pada Jaka dan kuambil surat itu lagi. "Kamu akan tau saat orangnya datang." kataku seraya melipat surat itu dan kutaruh lagi ke dalam saku.

Jaka hanya membalasnya dengan tatapan bingung.

Indra muncul dari balik mobil hitam yang terparkir di sana, juga seorang seorang anak seusia anak kelas lima SD yang ikut di belakangnya. Walaupun tubuhnya tampak lebih kecil dan sedikit pendek.

Jaka menemukan keberadaan Indra. Kemudian ia melihat padaku. "Jadi benar Indra yang mengirimnya?" tanya Jaka.

Aku menggeleng. "Bukan Indra pengirimnya. Tapi orang yang datang bersamanya." Jaka kembali dibuat bingung.

Saat baru datang, Indra langsung menjabat tanganku dan Jaka. Ia langsung tersenyum lebar ketika sosok Jaka kembali muncul di depannya.

"Bang Jaka!" teriak Indra seraya memeluknya. "Bang Jaka, apa kabar?"

Selagi Jaka dan Indra menikmati indahnya pertemuan, aku menyambut seseorang yang datang bersama Indra. "Zaki, sini." panggilku. Zaki langsung menurut.

"Kabarku baik. Bagaimana dengan kalian?" tanya Jaka sambil melepas pelukan Indra setelah melihat keberadaan Zaki di dekatku. Kemudian ia berjongkok di depannya.

"Kabar kami semua juga baik, Bang. Selama Bang Jaka enggak ada, Kak Rudi juga datang membantu kami." jawab Indra.

Jaka mendongak melihatku. "Terima kasih, Rud."

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. "Hehe, aku hanya membantu semampuku."

"Bang Jaka ke mana aja? Ke-kenapa ada di sini?" tanya Zaki dengan kepala menunduk.

Jaka tersenyum mendengarnya. Kemudian melihatku lagi. Aku hanya menganggukkan kepala. "Bang Jaka ada urusan. Maaf enggak bisa main ke tempat kalian satu tahun ini."

Zaki mengangguk sebagai jawabannya.

Aku mulai merogoh sakuku dan mengambil surat itu lagi. "Zaki," panggilku seraya menyodorkan selipat kertas kepada Zaki.

Zaki menoleh ke arahku. "Apa ini, Kak?"

Aku tersenyum sebentar. "Itu punyamu, kan? Jadi, Kak Rudi kembalikan."

"Punyaku?" Zaki terlihat heran. Ia pun membuka kertas itu dan mulai membaca isinya.

Aku terdiam menunggu reaksi dari Zaki. Jaka dan Indra pun sama-sama menunggu dan diam menyimak sedari tadi. Jaka sekali melihat ke arahku, Indra pun turut melihatku. Keduanya menampilkan raut wajah penuh tanya. Perihal alasanku memberikan surat itu kepada Zaki yang tidak tau apa-apa.

"Itu punya Zaki. Aku hanya ingin mengembalikannya." Akhirnya aku bersuara.

Jaka membatu. Indra pun terkejut mendengarnya. Indra adalah orang yang membantuku dari dalam. Mengetahui kalau Zaki adalah yang mengirim surat itu ke polisi melalui pos, akan sulit kalau harus bergerak sendiri. Tentu setelah dipastikan kalau Indra bukanlah orang. Sebab dia juga sempat masuk daftar orang yang aku curigai. Sama seperti yang dipikirkan oleh Jaka.

Zaki terus saja menunduk. Usai membaca surat yang ia tulis sendiri, tidak ada satu kata pun ia keluarkan. Aku pun tidak menduga kalau Zaki adalah orangnya. Surat itu terlalu rapih untuk ditulis oleh anak kelas lima sekolah dasar. Bahasa yang digunakan pun begitu sopan. Entah ia belajar semua itu dari mana. Tapi setelah mengobrol dengan Indra, aku jadi paham. 

"Zaki lah yang mengirim surat itu ke polisi, Jaka. Ia mengirimnya lewat pos dengan memasukkan suratnya ke kotak pos yang ada di depan kantor pos. Kotak pos yang biasa digunakan sebagai penampungan surat sementara sebelum dikirim di sore hari setiap harinya.

Aku turun berjongkok di depan Zaki yang sedang menundukkan kepala setelah selesai membaca surat yang ia tulis sendiri. Surat itu ia genggam dengan erat. "Iya, kan, Zaki?" tanyaku padanya.

"Ta-tapi, bagaimana dengan bahasa yang digunakan dalam surat itu? Tidak mungkin anak kelas lima SD yang menulisnya." tanya Jaka tidak percaya seraya bangkit berdiri.

Aku pun ikut berdiri lagi. "Soal itu, aku yakin kamu sudah dengar dari Indra bagaimana Zaki dibesarkan."

"Lalu, bagaimana dia tau rencanaku?" tanya Jaka lagi.

Aku berpaling melihat Indra yang sedari tadi hanya diam menyimak dengan wajah kebingungan. "Indra," panggilku. "Saat kamu berdebat dengan Jaka waktu itu, siapa yang bertugas mengamen di daerah itu dan di hari itu?"

Indra membulatkan mata lebar-lebar sebab baru menyadarinya. "Jadi waktu kakak bertanya soal itu padaku, sebenarnya kakak sedang menyelidiki surat itu?"

Aku mengangguk. "Jadi, siapa yang bertugas di sana?"

"Aku, Zaki dan Gaga."

Sekali lagi aku mengangguk. "Kalau kalian bertanya kenapa bukan Gaga, aku rasa kalian tau mengapa aku tidak mengarah kepadanyar. Menulis saja ia belum bisa. Dan kenapa bukan kamu, Indra, karena kamu punya pikiran yang sama dengan Jaka. Selagi itu untuk kebutuhan adik-adikmu, kamu tentu akan setuju. Biar pun kamu tidak bisa menerima cara yang Jaka lakukan."

Jaka terdiam. Wajahnya jadi berkeringat. "Aku ingat. A-aku baru ingat..." Jaka berseru pelan. "Saat itu Indra datang memergokiku, saat aku sedang melakukan persiapan. Ia diikuti oleh dua orang lainnya. Aku melihat mereka, sebab itulah aku menariknya menjauh dari mereka. Aku tidak berpikir kalau Zaki akan mengikuti."

Jaka turun berjongkok lagi di depan Zaki. Kedua tangannya ia taruh di bahu Zaki. "Zaki." panggilnya. Bulir air mata perlahan turun ke pipinya.

"Bang Jaka, ma-maaf. A-aku..." ujar Zaki tertahan saat Jaka tetiba saja memeluknya.

"Enggak perlu minta maaf, Zaki. Bang Jaka yang seharusnya minta maaf. Benar kata Indra dulu, kalian memang miskin, tapi bukan berarti sampai melakukan kejahatan untuk memperoleh uang. Bang Jaka salah memperlakukan kalian." Jaka melepas pelukannya seraya menyeka air matanya. "Bang Jaka minta maaf, ya?"

Indra turun berjongkok di samping Jaka dan merangkulnya. "Tidak apa-apa, Bang. Biar pun kali inu Bang Jaka salah, tapi kesalahan itu tidak mungkin menutupi semua kebaikan Bang Jaka sebelumnya. Bang Jaka tulus membantu kami. Bahkan Bang Jaka sampai diusir dari indekos Bang Jaka dan harus mengungsi ke tempat Kak Rudi. Terima kasih banyak, Bang Jaka."

Jaka melihatku. "Sialan kamu, Rud. Kenapa kamu ceritakan itu kepada mereka?" tanya Jaka padaku. Wajahnya jadi memerah setelah mendengar semua yang dikatakan Indra.

Aku hanya menanggapinya dengan senyuman penuh gigi.

"Zaki, terima kasih, ya?" Kini Jaka berpaling ke Zaki lagi. "Kamu anak baik. Jangan sampai jadi seperti Bang Jaka, ya?"

"Iya, Bang. Sama-sama." jawab Zaki. Sekali lagi Jaka memeluknya.

Kyruyukk...

"Eh, Zaki, Indra. Kalian dengar suara aneh, enggak?" tanyaku sedikit meledek setelah mendengar suara perut Jaka.

"Aku dengar, Kak. Aneh banget suaranya. Suara apa, ya?" sahut Indra malah ikut meledek Jaka.

Jaka melepas pelukan Zaki. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Satu tahun ini pola makanku kurang baik, hehe."

"Kalau begitu ayo kita makan. Biar aku yang traktir." ajakku pada Jaka, Indra dan Zaki.

"Ayo!" seru mereka bersemangat.

"Tapi sebelum itu, kita pergi ke salon dulu. Kamu tampak kacau sekali, Jak!"

***

"Eh, Rud. Kenapa pakaianmu rapih sekali? Kamu mau pergi ke kondangan, ya?" tanya Jaka di tempat makan.

"Bukan, ada acara di kampus." jawabku.

"Eh, iya. Bagaimana dengan kuliahku? Kamu sudah mengurusnya, kan?"

"Sudah. Aku sudah bilang ke Pak Dekan kalau kamu bakal cuti setahun. Bukan hal mudah untuk minta cuti kuliah selama itu dan yang paling penting, ini aku mengajukan cuti untuk orang lain! Apalagi kata Pak Dekan, aku juga harus bilang ke Rektor. Itu benar-benar merepotkan."

"Hehe, Maaf, Rud. Kamu tau sendiri kondisiku bagaimana, kan? Terima kasih, ya?"

"Iya, sama-sama."

"Lalu, bagaimana dengan kuliahmu?"

"Aku sudah lulus."

"Baguslah. Tapi sayang sekali aku tidak bisa menghadiri wisudamu. Eh, tapi lebih baik kalau aku tidak datang, kan? Tidak baik untuk kesehatanku."

"Kamu masih bisa datang. Wisudaku hari ini. Sebab itulah aku datang menjemputmu."

"Eh?!" Jaka tetiba bangkit berdiri.

"Mau ke mana, Bang?" tanya Zaki.

"Itu makanannya masih dihabiskan dulu, Bang." sambung Indra.

"Enggak. Aku mau balik ke penjara." jawab Jaka.

"Eh?!" Aku, Indra, dan Zaki terkejut bersamaan.

"AKU ENGGAK SANGGUP DATANG KE ACARA WISUDAMU SEBAGAI TAMU, RUD!"

###

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...