Langsung ke konten utama

Pahlawan Kecil

Bima senang sekali hari ini. Sepulang sekolah tadi, salah satu teman Bima mengundang teman satu kelas ke pesta ulang tahunnya malam nanti. Bima tambah senang lagi ketika tau kalau pestanya bertemakan superhero. Katanya kita semua harus memakai kostum superhero saat pesta nanti.

"Bunda, Bima mau pakai kostum Spiderman, superhero favoritku. Tapi kostum terbaru, ya? Please." pinta Bima dengan mata berbinar saat baru pulang sekolah. "Kostum yang warna hitam itu, tuh. Punyanya Miles Morales."

"Iya jagoan Bunda. Nanti Bunda minta pada Ayah agar membelikanmu kostum Spiderman yang baru sepulang dari kantor, ya?"

Bima tersenyum lebar. "Makasih, Bunda. Bima sayang Bunda!" katanya sembari memeluk ibunya erat.

Selepas makan siang, Bima langsung bergegas menuju kamar. Membaca koleksi komik spiderman yang dia punya. Memakai kostum Spiderman yang dipunyanya sekarang. Memikirkan gaya apa yang akan ia tampilkan di depan teman-teman nanti. Berdialog dengan action figure Spiderman kalau dirinya sudah tidak sabar untuk datang ke pesta itu.

"Hei, Spidy. Sore nanti, Bima akan jadi superhero sepertimu. Bima sangat bersemangat sekali!"

Seseorang mengetuk pintu kamar. Bunda masuk dan langsung mendekatinya. Bunda menggelengkan kepala pelan ketika melihat anaknya berbicara sendiri dengan mainannya. Tambah lagi penampilan Bima yang sudah mengenakan kostum Spiderman.

"Jagoan Bunda udah enggak sabar buat pergi ke pesta, ya?" tanya Bunda.

"Iya, Bunda! Bima akan jadi Spiderman nanti!" jawab Bima sembari meragakan gaya Spiderman mengeluarkan jaringnya. "Bunda sudah mengabari Ayah, kan?"

Bunda mengangguk. "Semangat sekali, ya, Jagoan Bunda ini. Tapi sekarang tidur siang dulu, ya?"

"Enggak mau. Bima mau menuggu Ayah."

"Yakin? Jam pulang Ayah itu masih lama, loh."

"Tapi, Bunda..."

"Bima, tidur, ya. Biar waktu bangun nanti, yang pertama kamu lihat adalah Ayah dengan kostum barumu. Sana ganti baju dulu." kata Ibu, meyakinkan.

Bima mengaku kalah. Padahal dirinya ingin sekali menyambut ayah dan kostum barunya di pintu depan. Tapi akan sangat membosankan sekali kalau harus menunggu lama.

"Iya, Bunda."

Betul kata Bunda. Waktu berlalu lebih cepat. Ayah sudah pulang. Kini, dia ada di pintu depan. Bima masih ada di kamarnya. Betah bermain di mimpinya sendiri. Berubah menjadi Spiderman yang bergelantung dari satu gedung ke gedung lain.

Ayah sudah siap dengan kejutannya. Seperti instruksi Bunda, usai pulang kerja ia sempatkan diri mampir ke mall yang ada di dekat kantornya. Mencari kostum superhero yang diminta jagoan kecilnya itu. Tapi bukan Ayah namanya kalau tidak pernah jahil kepada anaknya sendiri.

Ayah masih lengkap dengan setelan kantornya. Sepulang tadi, dia langsung berangkat menuju kamar anaknya. Kostum superhero sudah ada di tangan. Kejahilan pertama akan segera Ayah lakukan.

"BANGUN, BIMA! SAHUURR! SEBENTAR LAGI IMSAK, NIH!!" teriak Ayah.

Bima terkejut bukan main. Ia langsung terduduk dan tampak panik. Bahaya sekali kalau sampai ia tidak sahur sekarang. Waktu sahur saja ia hanya mampu sampai tengah hari, bagaimana kalau tidak? Baru selesai shalat subuh saja, mungkin Bima sudah meminta minum. Segera ia turun dari kasurnya dan ingin berlari menuju dapur. Tapi sebuah tawa membuatnya tersadar dan menghentikan langkahnya.

Ayah tertawa lepas. Bunda sudah berulang kali menegur Ayah agar tidak berlebihan saat sedang bercanda dengan Bima. Tapi bukan Ayah namanya kalau langsung menurut bergitu saja.

Bima berbalik badan. Didapati kedua orang tuanya ada di sisi kamar lainnya. Ayah masih setia dengan tawanya. Bunda memasang ekspresi kalau dia tidak ikut terlibat di dalamnya.

Bima berdecak pinggang. "IH, AYAH!"

Jagoan kecilnya sudah marah. Tawa Ayah pun terhenti. "Eh, Bima. Jangan marah dulu. Kata Bunda, kamu minta dibelikan kostum superhero yang baru, kan?"

Bima mengakhiri kekesalannya. Wajah periangnya kembali mengambil peran. "Iya, Ayah! Ayah sudah belikan, kan?"

Ayah hanya tersenyum, kemudian menampilkan sebuah kostum superhero di depan dadanya. Tapi Bunda dan Bima tampak bingung.

"Kok, bukan kostum Spiderman?" tanya mereka bersamaan.

Ayah mengernyitkan alisnya. "Spiderman? Bunda tidak bilang. Kata Bunda, Ayah hanya diminta untuk belikan kostum superhero yang baru. Sudah, itu saja."

Bima beralih menatap Bunda. Wajah periangnya kembali undur diri. Sedangkan Bunda mencoba mengingat kembali. Sepertinya memang ada yang salah.

"Bu-Bunda emang bilang kayak gitu. Tapi masak Ayah enggak paham, sih. Kan Bima sukanya Spiderman."

Bima beralih lagi menatap Ayah dengan tatapan elang.

"Ooohh, kostumnya aja yang baru, ya? Ayah kira superhero-nya yang baru. Ayah minta maaf, deh."

Bima menyilakan tangannya di depan dada. "Kalau gitu, Bima mau pakai kostum Spiderman yang lama aja."

"Tapi tadi baru aja Bunda cuci." sambar Bunda.

Bima terdiam. Bunda merasa sangat bersalah dalam peristiwa ini. Sudah kurang lengkap memberi intruksi pada Ayah, tambah lagi ia sudah mencuci kostum lamanya. Sekarang, Bima tidak bisa jadi Spiderman di pesta itu.

Ayah melihat kondisi keluarga kecilnya. Ia merangkul ibu dan memberi isyarat kalau semuanya akan baik-baik saja. Setelahnya, ia dekati jagoan kecilnya dan mencoba untuk memperbaiki suasana.

"Ayah, aku mau pakai kostum Spiderman ke pesta nanti. Tapi sekarang udah enggak bisa. Enggak ada kostum baru. Kostum lama baru aja dicuci." Bima merengek dipelukan Ayah.

Ayah melepaskan sebentar pelukan Bima dengan lembut. Ia lalu menaikkan kostum superhero yang dibawanya sampai sejajar dengan wajah Bima.

"Bima tau enggak, ini kostum superhero apa?"

Bima menggeleng.

"Ini Gatotkaca. Superhero Indonesia. Otot kawat, tulang besi."

Bima menyeka air matanya. "Gatotkaca? Punya jaring, enggak?"

Ayah tertawa kecil setelah mendengar pertanyaan anaknya tadi. "Mau coba pakai?"

Bima terdiam. Sejenak ia melihat ke arah Bunda. Ia tidak bisa menyalahkan Bunda begitu saja. Kalau dirinya tidak pakai kostum lamanya itu tadi, mungkin Bunda tidak akan mencucinya. Setelah musyawarah dengan dirinya sendiri, ia pun mengangguk.

"Sekarang Bima pakai bajunya saja dulu. Sama rompinya juga. Terus Bima pakai celana pendek, ya. Aksesoris lainnya nanti biar Ayah yang bantu pasangkan."

Bima mengangguk. Diambilnya kostum Gatotkaca itu.

"Ayah dan Bunda tunggu di luar, ya?"

"Iya, Ayah."

Ayah segera mengajak Bunda untuk menunggu di luar. Tapi Bunda enggan berpindah dari tempatnya berpijak. Matanya masih terfokus ke arah jagoan kecilnya itu.

"Bima, Bunda minta maaf, ya?" kata Bunda.

Bima terdiam. Menjatuhkan kostum Gatotkaca dari tangannya, lalu berbalik memeluk Bunda. Keduanya pun hanyut dalam suasana. Ayah tidak mau diam saja di tempat. Kemudian ia pun ikut gabung ke dalam pelukan.

•••

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...