"Menyelam ke dasar samudra, terbang tinggi menembus luar angkasa."
Ajari aku terbang. Tinggi setinggi-tingginya hingga aku mampu menyentuh angkasa dan bermain dengan para awan. Tapi rasanya, bermain dengan para awan belum cukup. Aku ingin terbang lebih tinggi lagi sampai keluar angkasa. Menyapa para bintang. Bermain kejar-kejaran di arena asteroid di antara Mars dan Jupiter. Balap lari di cincin Saturnus. Dan, mengambil banyak berlian di Uranus dan Neptunus. Pasti seru.
Tapi sebelum itu, aku ingin lebih dulu diajari bagaimana cara menyelam ke dasar laut. Biar aku kuat menahan tekanan hidrostatis sebelum melawan tekanan atmosfer. Biar aku berani di tengah kegelapan dan dinginnya lautan sebelum pergi ke luar angkasa sana. Biar aku tahan hidup tanpa bernapas di tempat penuh udara, sebelum main ke sana ke ruang hampa udara.
Rupanya samudra berhasil menarik perhatianku. Jadi, biarkan aku main di sini sebentar. Berenang bersama ikan-ikan. Main petak umpet di balik terumbu karang. Bergulat dengan para hiu. Dan menari dengan para lumba-lumba. Atau adu panco dengan si gurita. Tapi dia licik. Tangannya delapan. Jelas aku kalah.
Tidak lupa, aku juga mampir ke rumah nanasnya Spongebob. Berkunjung juga ke rumah indah penuh estetika milik Squidward. Dan tentu main juga ke rumah batu Patrick si bintang laut. Sekalian aku ingin balap lari dengan keong peliharaannya itu, Rocky, dan mengalahkannya. Hahaha.
Sebentar, aku masih mau di sini. Mau makan Kraby Patty dulu yang katanya burger terenak se-samudra itu. Melihat-lihat dapur yang biasa spongebob pakai bekerja. Dan beruntung, aku juga diberitahu resep rahasia Kraby Patty oleh Tuan Krab. Tapi aku tidak mau menceritakannya lebih jauh, bagaimanapun itu tetap resep rahasia. Maaf.
Oh iya, aku juga di ajak main ke ladang ubur-ubur sama Spongebob dan Patrick. Mereka menantangku bermain sebuah permainan. Siapa yang menangkap ubur-ubur paling banyak dialah pemenangnya. Sayangnya aku kalah. Mereka terlalu hebat.
Lelah setelah berlari mengejar ubur-ubur, kami mampir sejenak ke rumah Sandy. Sudah lama rasanya aku tidak menghirup udara. Di sini sudah seperti rumah sendiri. Rumah pohonnya sangat nyaman. Ingin sekali aku menginap, tapi aku harus segera pergi ke tujuan awalku.
Aku menceritakan semuanya pada Sandy, barangkali dia mau bantu. Rupanya, Sandy dengan senang hati meminjamkan roketnya kepadaku. Jadi, aku tidak perlu susah payah terbang ke luar angkasa sana. TAPI... AKH! Ada saja gangguannya. Plankton, si penjahat kecil itu ternyata diam-diam ikut masuk ke dalam roket tanpa sepengetahuanku. Dia memaksaku untuk memberitahu resep rahasia itu. Kalau tidak, katanya ia akan mengambil alih kendali roket ini dan melarangku untuk kembali ke permukaan. Hahaha, sepertinya ia tidak tahu kalau aku ahli berenang dan terbang. Tanpa roket pun, aku bisa kembali ke permukaan dan melanjutkan perjalanan. Tapi sebelum itu, aku minta maaf dulu kepada Sandy karena roketnya hilang dicuri Plankton. Beruntung, Sandy adalah tupai yang baik hati. Aku masih bisa membuatnya lagi nanti, katanya. Hahaha, kata-kata profesor memang beda.
Aku pun berpamitan dengan Sandy, dengan Spongebob dan Patrick juga. Aku titip salam untuk Tuan Krab dan Squidward karena tidak sempat berpamitan secara langsung.
Sedih rasanya untuk pergi secepat ini, tapi aku harus tetap fokus di satu garis lurus agar tidak terus menunda keinginanku untuk memeluk dan dipeluk bintang-bintang.
Di jalan, air tiba-tiba saja berubah warna. Perpaduan jingga dengan sedikit kemerahan. Cantik. Sangat cantik. Aku pun berenang dengan santai menuju permukaan. Hampir udara kugapai, aku teringat akan satu tempat indah di samudra. Atlantis, kota yang hilang itu. Aku ingin sekali ke sana. Tapi... Bodohnya aku! Kenapa atlantis baru terpikirkan sekarang? Kalau saja hal ini muncul saat aku masih bersama Spongebob dan lainnya, aku tinggal tanya mereka saja soal Atlantis ini. Sebab mereka pernah datang ke sana.
Hari sebentar lagi gelap. Aku tidak mungkin kembali ke tempat Spongebob. Sekarang, pilihanku hanya dua. Cepat kembali ke permukaan dan lupakan Atlantis, atau nekat mencari Atlantis seorang diri selagi cahaya masih ada.
Pilihan kedua dengan cepat menarikku. Jangan cepat kembali sebelum kau tenang, katanya. Hanya Atlantis yang dapat membuatku mendapatkan hal itu.
Aku ingin lihat pemandangannya, ingin merasakan suasananya juga. Aku mau bertemu raja Poseidon, bercakap-cakap dengannya perihal manusia yang dengan sengaja merusak lautan. "Kalau ada, tenggelamkan saja mereka." kataku.
Tapi, perjalanan menuju Atlantis tidaklah mudah. Bukan karena banyak rintangan dan halangan, tapi karena tidak ada yang tau pasti di mana keberadaannya. Daripada aku terus berenang tanpa tentu arah, aku pun memutuskan untuk menuju perairan Indonesia. Ada yang bilang Atlantis ada di sana. Aku harap memang di sana. Tapi kalaupun tidak ada, aku putuskan untuk ke pantai selatan. Bertemu Nyi Roro Kidul untuk membicarakan hal yang sama. Kalau warga dunia tidak bisa dilaporkan, setidaknya orang-orang indonesia mendapat perhatian.
Aku lupa! Rupanya aku memakai baju hijau. Warna kesukaan Nyai. Sudahlah tidak ada kesempatan untuk menyelamatkan lautan. Lebih baik aku menyelamatkan diriku sendiri dulu. Takut lautan berubah tidak tenang. Takut ombak besar tiba-tiba datang. Takut orang-orang tidak terselamatkan. Takut.
Hari mulai gelap. Lautan semakin dingin saja. Sudah telanjur berada di lautan Indonesia. Gagal menemukan Atlantis, gagal datang ke Pantai Selatan. Terlalu bahaya untuk segera pulang. Aku harus mencari tempat singgah duluan. Seketika Kota Asri muncul dipikiran. Belum kenal? Mari aku perkenalkan.
Kota Asri, kota bawah laut. Sama seperti Bikini Bottom, sama seperti Atlantis. Adanya di lautan Indonesia. Aku yakin teman-teman kenal dengan salah satu warganya. Ia sering muncul di televisi tiap hari minggu. Kiko. Bukan es potong yang terkenal dengan semboyan, "Enak Tau!", Tapi seekor ikan dengan rambut merah mengambang. Aku ingin bermalam di sana. Doakan semoga diterima.
Rupanya aku sudah sampai. Asyik bercerita sampai lupa menikmati perjalanan. Tapi tidak apa, setidaknya aku selamat dari dinginnya air malam. Beruntung, Kiko menerimaku dengan tangan terbuka. Aku tau dia memang ikan yang baik.
***
Pagi yang cerah. Suasana baru. Kiko sudah menungguku di meja makan. Sesuai pesannya tadi malam. "Tidak usah sungkan, anggap seperti rumah sendiri, sebelum kau kembali, berkelilinglah dahulu di kota Asri esok. Aku tunggu di meja makan pagi-pagi sebelum kita pergi." katanya.
Hari ini, aku pergi ke banyak tempat dan bertemu banyak orang. Kiko mengenalkanku kepada teman-temannya. Kami mendatangi sebuah rumah berbentuk teko dengan sebuah taman kecil di halaman depan. Kata Kiko, kita bakal makan enak di sini. Seketika rasa lapar tiba-tiba saja datang. Rumah Lola, teman Kiko yang jago masak. Benar saja, aku makan enak pagi ini. Masakan Lola berhasil menyamai enaknya Kraby Patty dari Krusty Krab. Aku juga diajari masak olehnya. Pulang-pulang aku sudah pantas menyandang gelar chef sepertinya, wkwk. Oh iya, aku beritahu Lola resep Kraby Patty! Se-rindu itu aku ingin kembali merasakan kelezatan burger paling enak di samudra itu. Tapi resep rahasia tetaplah rahasia. Aku hanya beritahu Lola saja. Aku harap dia bisa menyimpannya baik-baik. Jangan sampai dia buka cabang di sini. Takut ikan-ikan diperairan Indonesia ketularan enaknya!
Perut sudah terisi penuh, aku kembali melanjutkan perjalanan, seorang diri, Kiko tidak kuat berjalan, terlalu kenyang katanya. Haha, ada-ada saja.
Di jalan, aku bertemu Poli, temannya Kiko. Aku tau dia sebab kemarin Kiko sudah menceritakan semua tentang teman-temannya. Awalnya Poli menatapku tajam, tapi setelah aku bilang kalau aku temannya Kiko, teman barunya, dia pun sedikit merenggangkan alisnya.
Poli, si ikan ninja, dia mengajarkanku banyak jurus ninja. Lumayan, siapa tau aku bisa membuka perguruan, haha. Jurus menghilang, seribu bayangan, mengajariku main nunchaku. Seru. Di tengah pelajaran, seorang ikan lain datang. Patino, teman Kiko juga, Poli juga. Ikan yang lucu. Polos sekali dia. Beberapa kali Poli kesal oleh kepolosan Patino, tapi aku terus berusaha menahannya.
Patino, ikan yang polos tapi memiliki bentuk badan yang bagus. Sangat bugar, berat badannya ideal, otot-ototnya tampak di lengan kanan dan kirinya. Hahaha, jangan mau tertipu olehnya. Dibalik badan kekarnya itu, tersimpan sebuah kemampuan menari yang luar biasa. Aku pun diajarkan beberapa tarian ikan olehnya.
Biar kata Poli kesal pada Patino, rupanya ia diam-diam ikut menari di belakang, seolah sudah hapal dengan segala gerakan yang sedang Patino ajarkan padaku. Sepertinya, kalau aku tanya apa nama gerakannya ia bakal tau, wkwkwk.
Padahal, aku sudah sangat berhati-hati agar Poli tidak merasa sedang diperhatikan. Tapi, ujung-ujungnya ketahuan juga. Poli langsung mengatur dirinya, kembali menjadi Poli dengan alis tebalnya itu. Segera ia langsung mengajak kami pergi. Sepertinya untuk menutupi rasa malunya, tuh~
Sebuah rumah dengan bentuk televisi adalah tujuan berikutnya. Rumah seorang kepiting jenius, ilmuwan Kota Asri, Tingting namanya. Berbagai alat canggih sudah dibuatnya. Rumahnya sudah seperti bengkel alat-alat elektronik bagi warga kota. Kalau ada alat yang rusak dan butuh perbaikan, maka rumah televisi adalah destinasi yang dituju.
Begitu sampai, Kiko dan Lola ada di sana. Kukira mereka bisa melihat masa depan, tahu kalau aku akan datang ke sini tanpa aku beri tahu. Ternyata aku salah. Mereka datang ke sini sebab oven milik Lola rusak. Sayang sekali... Kalau benar mereka bisa melihat masa depan, aku akan tanya ke mereka bagaimana rupa jodohku, siapa dia, apakah cantik, baik, menarik? Tapi akhirnya aku tahan pertanyaan itu.
Bukan luarnya saja yang unik, interior rumah Tingting rupanya jauh lebih unik lagi. Tidak tampak seperti rumah, lebih terlihat seperti laboratorium dengan kamar dan dapur. Di sana tidak ada pembantu rumah tangga yang gemar gosip, yang ada adalah Buttler, sebuah robot ajaib, bisa bicara banyak bahasa, termasuk bahasa manusia.
Dia robot yang baik, tapi tetap saja aku takut. Takut dia konslet dan berubah jahat, seperti robot yang ada di film-film. Beruntung tidak terjadi apa-apa selama aku di sana.
Kota Asri kota yang indah. Warganya ramah-ramah. Kecuali satu ikan lele dan asisten belutnya. Kata warga Asri, mereka memang di kenal sebagai pembuat onar. Dan survei itu terbukti benar. Aku pun turut menjadi korban dari ulah mereka. Sial! Pengalaman buruk. Aku tidak mau menceritakannya.
Kembali melanjutkan perjalanan. Samudra masih sangat luas untuk aku jelajahi. Tapi kalau aku terus berada di sini, kapan aku bisa memulai perjalanan sesungguhnya? Aku pun langsung berenang menuju ke permukaan. Mengambil ancang-ancang, lalu terbang sampai ke luar angkasa.
Lengkungan warna-warni berhasil menarik perhatian. Maaf sekali kalau perjalanan harus kembali terhenti. Aku belum pernah melihat pelangi sedekat ini. Benar-benar jauh lebih indah. Aku tidak tahu kalau selama aku di dalam air, di luar sini hujan. Izin, aku mau pergi ke ujung pelangi dulu. Mau membuktikan, apakah benar di ujung pelangi ada tumpukan koin emas.
Huh, bodohnya aku. Yang namanya dongeng tetaplah dongeng. Pengumuman! Tidak ada tumpukan koin emas di ujung pelangi. Itu semua hanya dongeng.
Mohon izin lagi, setelah melihat pelangi, aku teringat dengan tirai cahaya di kutub utara, Cahaya indah bergelombang di langit malam benua es itu. Aurora. Setelah melihatnya sendiri dan sedekat ini, pelangi tidak ada apa-apanya dibanding aurora. Aurora yang terbaik. Dibalik namanya yang indah, ada wujud aurora yang jauh lebih memanjakan mata.
Oke, sudah puas dengan aurora. Mari lanjutkan perjalanan. Ambil ancang-ancang lagi. Dan lepas landas. Kita pergi ke luar angkasa dan akan aku ajak ke tempat-tempat menarik di tata surya.
Bersiap, kita mulai memasuki atmosfer. Ambil napas dalam, dan siaplah untuk melihat sebuah ruang serba hitam. Tujuan pertama, kita pergi ke bulan. Mau lihat, ada berapa banyak berndera di sana. Kalau bendera Indonesia belum ada, sekalian aku mau menancapkannya juga. Yang paling banyak adalah bendera Amerika, ada juga bendera Malaysia di sana. Iya Malaysia, Upin kan pernah ke sini. Aku tancap bendera Indonesia tepat di samping bekas belahan bulan.
Katanya, ada orang bumi menyebutkan kalau di sini ada wanita bulan. Tapi, tidak ada siapa pun di sini. Selain aku dan bendera-bendera ini. Tambah robot-robot penelitian yang dikirim Nasa. Asli.
Dari kejauhan, aku melihat kelap-kelip cahaya, seperti kobaran api. Segera aku dekati. Aku perhatikan baik-baik, tampak seperti komet. Cepat aku membuat permohonan. Seperti orang-orang bumi ketika melihat bintang jatuh. Tapi, aku penasaran, memangnya komet bisa mengabulkan permohonan? Setelah aku tanya-tanya, dia bilang dia bukan siapa-siapa. Komet atau bintang jatuh tidak bisa mengabulkan permohonan. Kalau ingin permohonannya di kabulkan, mintalah pada Tuhan. Bukan pada bintang jatuh. Katanya. Sial! Lagi-lagi aku termakan mitos. Yamaap.
Lupakan permohonan, mau lihat bintang kejora? Ayo! Bintang kejora bukan benar-benar bintang. Dia adalah planet Venus, planet kedua di tata surya. Kabarnya, Nasa menemukan jejak kehidupan di awan Venus. Aku harap bisa bertemu kawan baru di sana.
Lucu juga, ya? Jejak kehidupan malah ada di awan, bukan di tanah. Kalau awan di Bumi, sudah pasti jatuh karena ada gravitasi. Kalau di sini enggak. Memasuki Venus, badanku seolah ringan seperti kapas. Aku bisa berdiri tegak di awan Venus tanpa takut jatuh.
Di antara tumpukan awan-awan Venus, aku melihat ada sesuatu yang bergerak. Tubuhhnya kecil, seukuran kucing, lucu. Inikah yang disebut Alien? Rasanya tidak. Alien itu dikenal kejam, tapi makhluk ini baik. Sekarang kita sudah berteman. Temanku bertambah lagi tiga! Iya, makhluk itu ada tiga... ekor?orang?buah?apa ajalah. Panggil mereka Toid, Vena, dan Yora.
Aku ajak mereka ikut bersamaku. Menjelajahi luar angkasa. Kasihan, mereka hanya bertiga saja yang hidup di Venus. Aku bawa mereka ke Planet Mars, planet keempat di tata surya. Planet pilihan bagi mereka yang menyukai warna merah. Susananya tidak jauh beda dengan di Bumi. Bedanya, di sini merah semua.
Aku bilang ke mereka agar segera bersiap, siap tenaga, siapkan mata. Kita mau hiking, naik gunung. Gunung paling tinggi di tata surya. Olympus Mons yang tingginya enggak ada lawan. Gunung Everest yang menyandang predikat sebagai gunung tertinggi di bumi saja perlu bertumpuk tiga untuk menyamai tingginya. Semoga kita kuat sampai puncak.
Sekuat-kuatnya yang dikuatkan, tetap ada lelahnya juga. Kita istirahat dulu. Baru sampai di tengah, pemandangannya sudah mampu memanjakan mata. Ambil napas lagi, kita bersiap jalan lagi. Biar capek, yang penting yakin. Keluhnya simpan dulu, begitu sampai puncak baru keluarkan. Eh, tapi pilihannya ada dua. Tetap mengeluh sebab kelelahan, atau diam dan nikmati pemandangan.
Kita sudah sampai di puncak, puncak yang bukan sembarang puncak. Titik tertinggi dari gunung tertinggi di tata surya. Menyajikan pemandangan Mars yang serba merah. Tampak dari ketinggian sampai-sampai langit luar angkasa yang hitam, tampak begitu jelas mengelilingi dataran tanah merah yang melengkung. Bisa juga lihat dua satelit Mars yang sedang bersenda gurau di langit, Phobos dan Deimos. Sudah cukup. Ambil napas lagi, dan segera bersiap. Kita turun.
Kita main, yuk! Main yang mudah aja, kejar-kejaran. Permainan biasa? Biasa itu kalau di bumi. Kita bakal main kejar-kejaran di sabuk asteroid. Jadi, bukan sekadar kejar-kejaran, kita juga harus lincah, sigap menghindari asteroid-asteroid yang ada. Jangan sampai nabrak!
Vena yang jaga. Aku, Yora dan Toid pun langsung kabur menghindar, lari menjauh di balik asteroid yang ada, biar Vena kesulitan. Permainan pun dimulai. Vena mulai mengejar, kasihan dia, beberapa kali dia harus menabrak asteroid sebab Toid mampu menghindar dengan hebat. Putus asa dengan Toid, selanjutnya Yora yang menjadi target. Dengan cepat, Yora pun berhasil ditangkap. Target selanjutnya adalah aku. Susah payah aku menghindar, sudah cepat aku berlari, tapi tetap tertangkap juga. Terakhir, Vena kembali mengejar Toid. Hasilnya tetap sama. Toid terus menghindar, sedangkan Vena sudah mulai putus asa dan kelelahan. Alhasil, Toid pun mengalah. Kalau tidak, entah sampai kapan mereka terus bermain.
Semua sudah kelelahan. Kita istirahat dulu. Jalan santai masuk Jupiter, planet terbesar di tata surya. Jalan di Jupiter itu ibarat terbang. Sebab Jupiter adalah planet gas. Suasananya menyenangkan. Serunya lagi, ada juga angin sepoi-sepoi menenangkan. Seperti sedang berjalan di dalam hutan yang dipenuhi kabut. Bedanya, di sini enggak ada pohon yang ada cuma kabut, itu pun bukan kabut namanya, entah apa, tapi yang pasti sama-sama gas.
Sudah sampai di sisi lain Jupiter. Sekarang kita ada di dekat Saturnus, Planet paling indah dengan cincin besarnya. Fakta menarik, Planet yang punya cincin bukan Saturnus saja. Jupiter, Uranus, dan Neptunus juga punya. Cuma jarang disorot aja sebab enggak kelihatan.
Sudah cukup istirahatnya, sudah cukup jalan santainya. Saatnya kita lomba lari. Arena lari sudah tampak di depan mata. Melingkar menggah di sekeliling planet indah. Tapi sebelum itu, kita cari teman baru. Biar tambah seru. Kata NASA, ada tanda kehidupan di satelit terbesar punya Saturnus. Titan namanya. Tepatnya di danau Titan. Tapi NASA belum mulai penelitian, masih persiapan mencipta kapal selam. Rencananya baru mulai tahun 2026-an, itu pun bakal ada penundaan sampai 2027. Jadi, aku akan mulai lebih dulu, hehe.
Aku berangkat bareng Toid ke Titan. Vena dan Yora biar tunggu saja di cincin Saturnus dan menyiapkan arena balapnya. Biar begitu kita kembali dengan teman baru, kita bisa langsung mulai permainannya.
Aku dan Toid mendarat dengan selamat di permukaan Titan, walau tadi ada sedikit guncangan di atmosfernya. Tapi tidak apa. Mari kita langsung datangi danaunya. Sebab katanya, tanda kehidupan ada di sana, di danau. Danau di Titan tentu beda dengan danau Bumi. Bukan air, melainkan metana, yang sekali terjatuh percikan api akan langsung terbakar hebat.
Toid mulai menyelam lebih dulu, aku ikut dari belakang. Aku tidak tahu betul di mana keberadaannya, tapi kita cari saja. Buat ini menyenangkan seperti sedang bermain petak umpet.
Toid masih terus menyelam. Tugasku adalah back up ia dari belakang, kita saling jaga. Suasananya sepi,sangat sepi, tidak ada suara sama sekali selain suara napasku dan Toid, juga suara sapuan metana akibat gerakan menyelam kami.
Sibuk mencari sana-sini, sampai tidak tahu apa yang sudah kami lewati. Suasana sekitar tetiba berubah terang. Tidak perlu berenang lagi di sini. Kami kembali menginjak tanah. Entah apa yang sudah kami lewati sebelumnya. Apakah kami tadi melewati sebuah portal, sehingga kami bisa sampai di sini? Toid kebingungan, aku juga. Kita berkeliling sebentar.
Tempat yang indah, teknologinya jauh lebih maju ketimbang di bumi. A-apakah ini... ATLANTIS?! Bodoh. Siapa yang mau menghubungkan portal sejauh ini, dari Bumi ke Titan. Atau... sebenarnya hilangnya Atlantis dari Bumi adalah sebab Atlantis pindah ke sini?! Akh, Aku mengutuk pikiranku sendiri.
Oke, kembali ke tujuan kita. Mencari teman baru untuk ikut bersama kita ke cincin Saturnus. Kami terus berjalan, tapi tidak kunjung menemukan sesuatu yang hidup di sini. Toid sempat menyerah, juga sudah siap balik arah. Aku dengan cepat menahannya. Ada sesuatu yang datang mendekat. Terlihat seperti gurita dengan tentakel penuh otot, sepasang kaki kangguru, serta sayap kelelawar menempel di belakang tubuhnya. Toid bersembunyi di belakangku, sedangkan aku gemetar hebat. ALIEN?!
Aku berlari sekencang mungkin kabur jauh kembali ke permukaan, sayangnya itu hanya ekspektasiku saja. Kenyataannya, kaki ini berat untuk diajak lari menjauh. Perlahan tubuhku mulai jatuh, pandangan mulai kabur, dan sekeliling mulai hitam gelap.
...
Kepala terasa berat. Mata mulai terbuka perlahan. Dering alarm berbunyi begitu kencang tepat di sebelah telinga. Mentari pun sudah menyapa di sela-sela tirai jendela sampai mampu menyilaukan mata. Aku pun bangkit cepat. Turun dari kasurku dan segera bersiap. Aku terlambat!
Komentar
Posting Komentar