Langsung ke konten utama

Galang Cinta

Aku menghela napas lega. Waktu kuliah hari ini sudah rampung semua. Segera aku membereskan buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas, lalu mengecek ponsel sebentar. Sebuah notifikasi pesan muncul di layar depan.

"Galang, gue balik duluan, ya." sapa seorang teman.

"Eh, iya. Hati-hati." balas ku. Sebentar berpaling dari ponsel dan beralih menatapnya.

Setelah dipastikan ia hilang dari pandangan, aku kembali ke ponselku. Membuka pesan yang ada. Didapati sebuah pesan dari orang yang tersayang.

"Galang, antar aku ke mall, yuk!"

"Duh, maaf Sinta. Aku harus pulang cepat hari ini. Bagaimana kalau aku antar kamu pulang saja? Aku tunggu di parkiran, ya!"

Setelah pesan balasan berhasil kukirim, aku pun bergegas menuju parkiran. Mengambil motorku dan menunggu Sinta di sana. Banyak orang berlalu-lalang di depanku. Parkiran memang dekat dengan kantin, ada yang pergi ke kantin untuk mengisi perut dulu sebelum pulang, ada juga yang sudah selesai dari kantin dan siap untuk pulang.

"Galaaang..."

Sinta rupanya sudah datang. Aku terlalu sibuk memerhatikan orang lalu-lalang sampai kehadiran Sinta pun aku tidak sadar. Sinta tampaknya kecewa. Keinginannya pergi ke mall hari ini harus urung karena aku.

"Iya Sintaaa.... pulang, yuk?"

"Tapi aku mau ke mall, Galang."

"Aku harus pulang cepat hari ini, Sinta. Kafe akan kehilangan satu karyawannya kalau aku pergi mengantarmu."

"Tapi, Sinta akan kehilangan satu-satunya orang kesayangan kalau kamu pergi ke sana, Galang. Bukannya jadwal kerjamu itu setelah matahari terbenam, ya?"

Aku menghela napas sejenak. Aku memang tidak pernah menang kalau debat dengan Sinta, karena aku selalu mengalah lebih dulu sebelum sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

"Baiklah, Puan Putri Sinta Rahayu Sekar Arum. Galang Putra Siregar akan mengantarmu pergi ke mall dan mencegah berita kehilangan satu-satunya orang kesayangan Puan Putri."

"Aaaa...., terima kasih, Galang. Rasa sayangku bertambah satu digit dari sebelumnya!"

"Loh, kenapa cuma satu? Oke, kita enggak jadi ke mall. Kita pulang."

"Ih, kok gitu, sih? Satu dari 1001 itu bukankah yang paling istimewa, ya?"

"Pikiranmu tidak masuk akalku, Sinta."

Tidak peduli dengan ucapanku sebelumnya, Sinta dengan cepat mengambil helm yang tergantung di spion motorku dan langsung duduk manis di jok belakang.

"Ayo, jalan!" ajak Sinta.

"Ke mana? Pulang?" kataku balik tanya.

"KE MALL, GALAAAANG!"

"Eh, iya iya. Tapi sebentar, ya." kataku sembari mengeluarkan ponsel dari saku celana.

"Ih, apa lagi?"

"Mau kabari bos kalau aku bakal masuk seperti biasa saja."

"Loh, memangnya ada apa?"

"Hari ini satu rekan kerja tidak bisa masuk kerja dan bos minta aku untuk menggantikannya, jadi harusnya aku masuk kerja lebih cepat hari ini."

Aku mulai mencari nomor bos di antara nomor-nomor yang ada di ponsel. Cepat-cepat, biar Sinta tidak menunggu lama. Tapi, tiba-tiba saja Sinta menaruh tangannya di depan layar ponsel dan menurunkan lenganku perlahan.

"Tidak usah menghubungi bos. Kamu antar aku pulang saja." seru Sinta.

"Pulang?" tanyaku, tidak paham.

"Iya, sepertinya kali ini aku yang harus mengalah, Galang."

"Kita tidak sedang bersaing, Sinta."

"Tapi selama ini kamu yang selalu seperti itu."

Aku tidak menanggapi ucapan Sinta. Kembali ponselku diangkat, mencari nomor bos dan meneleponnya. Hening terjadi sebentar. Aku yang sedang menunggu panggilan teleponku diterima, dan Sinta yang sedang duduk diam saja menunggu apa yang akan aku lakukan selanjutnya.

"Halo, Bos." kataku saat panggilan telepon sudah tersambung.

"Eh, Galang. Lo di mana?"

"Masih di kampus. Gue mau izin bentar, ya?"

"Ke mana? Lo bukannya bisa kerja sore?"

"Iya. Tapi gue ada urusan bentar. Kafe belum ramai, kan? Nanti kalau sudah ramai, lo tinggal telepon gue, nanti gue langsung ke sana."

"Urusan apaan? Sinta?"

"Urusan anak muda. Oke. Sampai jumpa di kafe, Bos!"

Segera aku putus sambungan teleponnya sebelum bos mengoceh lebih panjang lagi soal Sinta. Aku senyapkan ponselku biar ia tidak ganggu kalau-kalau dia meneloponku lagi. Senyap hanya untuk sekarang, selama perjalanan ke mall. Ketika sudah sampai di sana, aku akan kembali menyalakan deringnya. Aku bekerja di kafe milik seorang. Sikap seperti ini memang sudah sering terjadi. Aku harap ia sudah lupa soal Sinta dan meneleponku karena keadaan kafe yang sedang ramai.

"Siap, Puan Putri?" tanyaku.

"Siap pulang." jawab Sinta.

"Bukan. Kita tidak akan pulang cepat hari ini."

"Tapi kafe?"

"Cepat pasang sabuk pengaman!"


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...