Langsung ke konten utama

Satu Lapang

"Eko, ayo kita main bola!"

"Ayo, Ki. Tapi sekarang aku yang tendang ya?"

"Nggak, nggak, nggak. Kamu kiper aja. Aku yang tendang. Aku kan striker."

"Tapi aku juga mau jadi striker, Ki. Nggak mau jadi kiper terus. Kiper selalu ditinggal di belakang sendirian. Nggak bisa cetak gol."

"Kalau kita berdua yang tendang, siapa yang jaga gawang? Nggak seru dong, Ko. Udah, ayo main. Cepet sana jaga gawang."

"Iya, iya."

Selalu saja seperti itu. Eki tidak pernah mau mengalah. Sejak kecil, dia memang sudah bermimpi untuk menjadi striker yang hebat seperti idolanya, Cristiano Ronaldo. Sedangkan aku hanya bisa menahan tendangan-tendangan yang Eki berikan dan menjaga gawang agar tidak dibobolnya. Walau tidak jarang, tendangan Eki seringkali membuat lenganku pegal dan sakit, tapi dia tidak pernah peduli dengan kondisiku. Tapi, rasa sakit itu tidak seberapa dibanding dengan dampak yang kuterima setelahnya. Sebab kini, aku berada di tempat para idola pencinta sepak bola indonesia. Seragam tim nasional melekat di tubuhku. Harapan besar warga Indonesia ada di tanganku.

"Eko, cepat kau bersiap. Pelatih sudah menunggu di depan. Sebentar lagi kita akan berangkat ke lapangan." panggil salah seorang rekan tim.

"Oh, baiklah. Aku akan bersiap."

Entah harus kusebut itu kenangan manis atau pahit. Kalau bagi Eko kecil, mungkin itu adalah kenangan pahit. Tapi kalau untuk Eko yang sekarang, peristiwa itu adalah sejarah, langkah pertamaku dalam mewujudkan posisiku sekarang.

Eki adalah saudara kembarku. Kami berasal dari keluarga yang sangat mampu. Ayah kami adalah pemilik perusahaan terbesar di Jawa Barat. Namanya tidak hanya dikenal di dalam negeri saja, tapi sudah dikenal hingga ke eropa sana. Saat kami baru menginjak umur sepuluh tahun, sebuah tawaran kerja sama dari perusahaan Inggris datang menghampiri perusahaan ayah. Bukan merupakan tawaran kerja sama biasa, melainkan tawaran kerja sama untuk membangun sebuah proyek besar di pusat kota Manchester. Ayah yang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, langsung bergerak cepat dan mengurus segala hal yang dibutuhkan, termasuk dengan kepindahan kami sekeluarga untuk tinggal di sana.

"Ini adalah proyek besar. Kita tidak bisa hanya duduk di sini saja dan menunggu perkembangan melalui sambungan telepon. Kita harus melihatnya langsung." kata Ayah.

"Tapi kita akan tinggal di sana berapa lama, Yah? Bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana dengan sekolahnya?" tanya Ibu yang masih enggan meninggalkan Indonesia.

"Semuanya sudah kuurus. Kita tinggal berangkat saja. Proyek ini tidak akan lama, mungkin kurang dari lima tahun? Aku belum tahu, tergantung kondisi di sana."

Lima tahun yang ayah janjikan, rupanya berlanjut lima tahun lagi. Sepuluh tahun aku dan Eki tinggal dan tumbuh di sana. Semua hal tentang Indonesia hampir sebagian besar kami lupa. Anak sepuluh tahun dibawa pergi dan menetap di luar negeri tanpa ada satu pun hal yang mengingatkan dari mana kami berasal, tentu akan sangat mudah dilupakan. Yang masih melekat dalam pikiran kami hanyalah bahasa Indonesia. Itu pun sudah mulai ditinggalkan, sebab keseharian kami lebih sering memakai bahasa Inggris.

Dari semua hal yang aku dan Eki lupakan dan tinggalkan, sepak bola tidak pernah lepas dari kami. Di mana pun kami berada, kami tetap bermain sepak bola. Ditambah, Ibu yang gemar melihat kami bermain sepak bola akhirnya memutuskan untuk memasukkan kami ke dalam sekolah akademi sepak bola. Tidak tanggung-tanggung, akademi yang dipilih ialah Akademi Manchester United.

"Supaya kalian bisa seperti Cristiano Ronaldo. Dia pernah main di tim ini, kan? Kalian harus bisa tembus tim utama dan jadilah seperti idola kalian." kata Ibu menyemangati.

Tentu perkataan ibu itu berhasil memotivasi kami untuk terus berkembang. Dan terbukti, kami berhasil menembus tim utama di umur dua puluh tahun. Eki berhasil menjadi seperti idolanya, Cristiano Ronaldo. Sedangkan aku, jelas tidak bisa seperti dia. Dia itu penyerang, aku penjaga gawang. Apa aku harus cari idola baru? Kurnia Mega misalnya.

Sepuluh tahun berlalu, proyek ayah selesai. Ayah pun segera mengurus kepulangan kami. Senang bisa kembali ke Indonesia. Sayangnya, kepulangan kami bertepatan dengan tanda tangan kontrak aku dan Eki di tim utama Manchester United.

Kata Ayah, "Sangat disayangkan kalau kalian membatalkan kontrak itu, tapi ayah juga mau kita semua kembali pulang ke Indonesia."

"Maksud Ayah apa? Aku tidak mengerti?" tanya Eki.

"Hhhh... Ayah juga tidak tau bagaimana baiknya. Kita sudah terlalu lama di negeri orang. Sudah waktunya kita kembali ke negeri sendiri."

"Menurut ibu bagaimana?" tanyaku pada ibu tiba-tiba. Ibu tampak gelisah. Entah apa yang dipikirkan, tapi kuharap itu adalah jalan keluar.

"Hhhh, kita semua pulang ke Indonesia. Kalau soal sepak bola, di Indonesia juga banyak tim besar. Nanti kita mulai lagi semuanya di Indonesia." jawab Ibu mantap.

"Nggak bisa, Bu. Tim sepak bola Indoensia tidak sama dengan di sini. Priemer League tidak bisa disamakan dengan Liga gratis ongkir itu. Kualitasnya aja jauh. Aku akan terima kontrak itu. Biar aku menetap di sini lebih lama. Nanti kalau ada waktu senggang, aku juga bakal pulang." sanggah Eki berapi-api.

"Eki, tenang. Itu kan cuma pendapat. Belum keputusan final. Sekarang, kita coba dengar dulu pendapat Eko." kata Ayah menenangkan.

Sungguh keputusan yang berat. Sialnya aku yang terakhir menyampaikan pendapat. Pendapatku nanti akan sangat menjadi pertimbangan. Menjadi bagian dari tim besar adalah impian semua orang. Aku bisa saja menetap di sana setahun lagi sampai kontrakku habis. Tapi kembali ke tanah kelahiran adalah sebuah tanggung jawab.

"Eeee... Kita kan anak kembar, Yah, Bu. Biar Eki terima kontrak itu, aku yang pulang ke Indonesia bareng Ayah dan Ibu. Bagaimana?"

"Setuju!" jawab Eki cepat. "Bener banget, Ko. Dengan begitu, dua-duanya dapet, kan? Kontrak dapet, kalian juga pulang ke Indonesia."

Aku tersenyum. Senang bisa memberi solusi. Walau sulit kuterima, tapi aku akan coba. Ayah dan ibu pun awalnya ragu dengan keputusanku. Tapi, ku yakin semuanya akan berjalan dengan baik.

"Memangnya tidak apa, Ko?" tanya ayah.

"Tidak apa, Yah. Benar kata ibu, Indonesia juga banyak tim besar. Aku akan mulai lagi di sana." jawabku tenang dan tanpa keraguan sedikit pun. "Dan kamu Eki, jangan buat aku menyesal dengan keputusan ini, ya!"

"Siap, Ko. Tenang. Eki si striker andalan MU-19 siap jadi andalan lagi di tim senior."

"Mantap!"

Kuharap kabar tentangku akan ramai diperbincangkan di Indonesia. Jadi ketika aku datang, sudah banyak tim yang tertarik untuk memakai jasaku. Terlihat sebagai sebuah penurunan karir memang, tapi pasti akan ada kebanggan tersendiri nantinya. Dan kebanggaan itu sudah datang. Sekarang, aku menjadi bagian dari para pejuang di lapangan. Penjaga gawang tim nasional Indonesia.

Sayangnya, Eki... Huh.

"Halo, Yah, Bu, Ko!" sapa Eki lewat sambungan telepon.

"Ekiii, apa kabar, Bro?" balasku.

"Halo, Eki, gimana kabarnya di sana?" sapa Ibu juga.

"Baik, Bu, Ko. Aku ada kabar gembira buat kalian."

"Kabar apa, Ki?" tanya ayah.

"Aku dapat panggilan Timnas Inggris, Yah, untuk wakil di Piala Euro nanti. Kesempatan langka, nih!"

"TIMNAS INGGRIS?!" seru aku, ayah, dan, ibu, terkejut.

Itulah Eki. Kita bersaudara, kembar juga. Kita berdua masih muda. Baru beranjak dewasa. Tentang pilihan, sudah menjadi hak masing-masing. Dan Timnas Inggris, itu adalah pilihan Eki. Tentu setelah berdebat hebat dengan Ayah dan Ibu, juga aku.

Beruntung, Eki benar-benar serius dengan pilihannya. Sebagai satu-satunya "orang asing" di timnas Inggris tidak membuatnya kalah saing dengan pemain lainnya. Ia berhasil menjadi andalan di timnas. Masuk ke dalam skuad Inggris yang dibawa ke piala Euro, dan berhasil juara sekaligus menjadi top skor di perhelatan tersebut. Puncaknya, dia kembai dipanggil untuk memperkuat timnas Inggris di ajang Piala Dunia di Indonesia.

Sudah sejak Piala Dunia dua edisi sebelumnya, PSSI, induk sepak bola Indonesia, gencar melakukan banding untuk mencalonkan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia di edisi-edisi berikutnya. Dengan melalui berbagai seleksi dan bersaing dengan negara lainnya, hingga terpilihlah Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia tahun ini.

Kabar gembira baru saja datang bagi seluruh warga Indonesia, terlebih para pencinta bola. Kabar Indonesia menjadi Piala Dunia menggema di seluruh Indonesia. Pemain-pemain hebat mulai dipanggil untuk menjadi wakil Indonesia di ajang tersebut. Dan aku adalah salah satunya. Eko Satria.

Suatu kebanggan bagiku untuk berjuang membawa nama baik Indonesia di mata dunia. Walau Indonesia hanya berstatus sebagai tuan rumah yang selalu dipandang sebagai "cara instan" untuk lolos dan ikut berkompetisi di Piala Dunia, tetap harus dibanggakan. Melakukan banding bukanlah hal yang mudah. Segala uji dan persyaratan harus dilalui untuk bisa menyandang status tersebut.

Rupanya, status tuan rumah mampu meningkatkan semangat para pemain timnas. Indonesia jauh melesat hingga menyabet banyak gelar di dua tahun terakhir. Piala AFF, piala AFC, bahkan kualifikasi Piala Dunia pun tidak disia-siakan, kemenangan selalu didapatkan, walau sebenarnya Indonesia sudah dipastikan lolos sebagai tuan rumah. Setidaknya, itu cukup menjadi bukti bahwa status tuan rumah bukan hanya untuk meriahkan saja, tapi adalah sebuah kesempatan yang harus diperjuangkan.

Kemenangan-kemenangan itu tidak berhenti sampai kualifikasi saja, tapi terus berlanjut dalam pelaksanaannya. Di babak grup, kami berhasil menempati posisi pertama, babak 16 besar berhasil menang di 90 menit awal, 8 besar dan semifinal kami sedikit tersendat dan harus berakhir dengan adu penalti, beruntung kami masih bisa menang. Dan hari ini, final Piala Dunia Indonesia mempertemukan sang tuan rumah dengan tamu dari jauh, sesama negara kepulauan, satu dari asia dan lainnya dari eropa, satu dipimpin oleh presiden, yang lainnya oleh ratu. Partai final Piala Dunia Indonesia antara Indonesia dengan... INGGRIS!

INGGRIS!

INGGRIS!

INGGRIS!

Huh...Inggris! Kenapa harus Inggris? Bukan, bukan takut kami akan kalah. Inggris bukan satu-satunya tim kuat yang pernah kami lawan. Tapi... EKI ADA DI SANA! BAGAIMANA BISA AKU MELAWAN SAUDARAKU SENDIRI?!

Aku segera bersiap. Memakai sepatu, menyiapkan sarung tangan, dan siap bertemu dengan orang-orang hebat. Pelatih sudah menunggu sejak rekan tim tadi mengingatkanku untuk bersiap. Aku pun mengembalikan sebuah bingkai foto yang sedari tadi kupadangi sangat dalam. Pertandingan hari ini tidak pernah terbayangkan olehku. Bukan, bukan final piala dunia. Tapi melawan saudaraku sendiri dengan tim yang berbeda. Bukan  akademi, bukan juga klub, tapi tim nasional negara masing-masing. Sejak kabar panggilan timnas itu, Eki tidak pernah pulang, telepon pun hanya sebulan sekali. Aku masih belum percaya kalau Eki sudah meninggalkan Indonesia sejauh ini. 

Pertandingan segera dimulai. Aku sudah berkumpul dengan pemain lainnya. Pelatih sedang memberikan instruksi, taktik, atau apapun itu untuk pertandingan hari ini. Pelatih kembali mengingatkan kami dengan pertandingan semi final kemarin. Apa yang membuat kami tersendat dan harus berakhir adu penalti. Pelatih tidak mau itu sampai terulang lagi di final ini. Akan sangat beresiko katanya. Mendengar itu, tentu aku setuju. Aku juga masih manusia yang akan selalu gemetar ketika harus berhadapan satu lawan satu di kotak penalti. Sejauh ini aku masih sanggup menjaga gawangku. Tapi, apakah kali ini aku masih bisa? Apalagi ada Eki di sana, yang kutahu dia punya tendangan super yang selalu membuatku kewalahan. Huh, Eki...

Kedua kesebelasan mulai memasuki lapangan. Ban kapten melingkar di lenganku. Aku berjalan paling depan di barisan timnas Indonesia. Dan di sampingku, Eki satria, saudaraku, saudara kembarku, di barisan timnas Inggris. Dia menjadi kapten juga rupanya.

"Apa kabar?" sapaku.

"Baik. Hebat Indonesia bisa melaju sejauh ini. Aku cukup terkejut. Ini semua pasti karenamu, kan? Kamu memang tidak pernah peduli di mana kamu berada, di Indonesia pun kamu masih bisa berkembang."

"Tidak usah memuji. Kita buktikan saja di lapangan. Semoga sukses."

Eki tersenyum. Aku tertular dan ikut senyum juga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...