Langsung ke konten utama

Episode Baru Rindu


Malam ini adalah malam yang indah bagi Kirana, sekaligus malam yang buruk juga. Hari ini, ia baru saja kembali melepas rindu yang selama ini terus menghantui. Rindunya selama ini akhirnya terbalaskan oleh pertemuannya hari ini dengan lelaki yang ia caintai. Sungguh malam yang indah. Walau tidak lama setelah itu, ia pun harus rela untuk membiarkan rindu kembali menghantuinya. Sekilas pertemuan itu berhasil membuatnya harus melawan rasa rindu yang pastinya akan lebih menjadi-jadi. Memang malam yang buruk.

Ia akan sulit tidur malam ini. Hatinya yang bahagia bercampur dengan rasa kecewa cukup membuatnya merana. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.
Kirana termenung di atas kasurnya. Dirinya terbaring menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang dipenuhi dengan kegelisahan.

"Padahal kita baru saja bertemu. Tapi kenapa harus berpisah lagi." gumamnya disertai air mata yang mulai membasahi pipinya. Entah itu air mata bahagia atau sedih, Kirana pun tidak tahu.

Tok...tok...

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Pintu tidak dikunci membuat pintu itu dengan mudah dibukanya. Menampilkan sesosok wanita cantik yang tidak lain adalah kakak Kirana, Lisna namanya. Usiannya tidak jauh beda, hanya berjarak dua tahun. Dengan sepiring nasi dan segelas susu di kedua tangannya, Lisna berjalan mendekati Kirana.

"Kirana, kamu belum tidur, kan? Ini kakak bawakan kamu makan malam. Ibu bilang kamu belum makan dari kamu sepulang bepergian tadi. Ayo makan dulu." seru Lisna, lalu duduk di kasur dan menaruh bawaannya di meja terdekat. 

Tidak ada jawaban dari Kirana. Kini ia masih berada di posisinya dengan memunggungi Lisna ketika kakaknya itu berhasil masuk ke kamarnya.

"Kirana? Kenapa, sih? Ada masalah? Memangnya kamu hari ini pergi ke mana saja?" Lisna terus saja melontarkan banyak pertanyaan. Heran dengan sikap adiknya yang tiba-tiba saja tidak mau keluar kamar sedari tadi.

"Aku nggak kenapa-kenapa, Kak. Aku nggak laper." jawab Kirana akhirnya. Masih memunggungi kakaknya.

"Kirana, coba liat sini, deh!"
Kirana pun membalikkan badan. Kini matanya langsung menampakkan sosok Lisna sedang duduk di sampingnya. Lisna memicingkan matanya, mencoba menebak apa yang telah terjadi pada adiknya ini.

"Kayaknya, ini masalah sama laki-laki ya?" tanya Lisna memastikan.

"Apasih, Kak. Sudahlah aku tidak lapar. Aku hanya ingin tidur cepat."

"Kirana, jawab dulu pertanyaan kakak. Kamu tadi habis bertemu laki-laki, ya?" tanya Lisna lagi sembari mengelus rambut adiknya agar ia mau membuka mulutnya.

Kirana menatap manik mata kakaknya dalam. Sepertinya Lisna adalah orang yang tepat untuk ia berbagi cerita. "I-iya, Kak." jawab Kirana akhirnya.

"Nah, kan. Ketebak." seru Lisna sembari menjentikan tangannya. "Coba kasih tau kakak kamu diapakan sama laki-laki itu!"

"Nggak kenapa kok, Kak." Kirana terdiam sejenak. "Aku ketemu Dia."

"Dia?" Lisna mencoba mengingat sesuatu.

"Oohh, gebetan kamu itu, ya?"

Kirana mengangguk membenarkan.

"Kamu ketemu gebetan kok sedih sih? Apa dia bawa cewek lain? Sini biar Kakak kasih pelajaran tuh cowok."

Kirana menggelengkan kepala. "Awalnya aku seneng bisa ketemu dia lagi. Tapi setelah itu, kita juga bakal berpisah lagi."

"Ouh," Lisna mengangguk-anggukan kepalanya, paham.

Lisna memberikan isyarat agar Kirana bangun dulu dari berbaringnya. Lalu menatap adiknya itu dengan serius.

"Kirana, dengerkan kakak. Masalah kamu tuh belum seberapa kalau dibandingkan dengan apa yang kakak alami. Kamu ini baru berpisah beda rumah, masih di satu kota. Coba kakak?" Lisna meneteskan air mata. "Laki-laki yang kakak cintai, sekarang jauh di sana, di negeri orang. Kakak sama dia bukan cuma beda rumah atau beda kota. Tapi kakak udah beda benua."

"Kak..." potong Kirana ketika melihat kakaknya meneteskan air mata.

Lisna dengan cepat menghapus air matanya. Ia tidak mau lagi larut dalam kesedihan. Yang ia butuhkan sekarang hanyalah saling percaya. Ia pun seketika tersenyum.

"Awalnya kakak juga sedih kayak kamu, nggak mau keluar dari kamar waktu tau dia akan pergi ke luar negeri." air mata kembali menetes, namun kali ini disertai senyuman manis di bibir. "Tapi kemudian kakak sadar. Percuma kalau kakak nangis terus, mengurung diri di kamar, nggak akan mengubah apapun." Lisna menghentikan perkataannya, kemudian memeluk Kirana.

"Iya, Kak." sahut Kirana sembari membalas pelukan kakaknya.

Lisna melepaskan pelukannya sebentar, kemudian melanjutkan perkataannya.

"Jadi, kamu tidak usah sedih lagi ya? Yang kamu butuhkan sekarang itu cuma saling percaya." Lisna semakin melebarkan senyumannya dan kembali memeluk adiknya dengan hangat.

"Terimakasih ya, Kak." seru Kirana masih dalam pelukan hangat kakaknya.

"Iya, sama-sama." sahut Lisna sembari melepaskan pelukannya. "Kamu sekarang makan ya. Kakak nggak mau liat kamu sakit." serunya lagi sembari mencolek hidung adiknya.

"Hehe iya, Kak." sahut Kirana. Kini dengan penuh senyuman.

"Nah, gitu dong senyum. Kakak tinggal, ya? Ngantuk, nih."

"Iya, Kak. Terimakasih banyak, Kak. Kirana sayang Kak Lisna." Kirana semakin melebarkan senyumannya. Kemudian ia kembali memeluk Lisna sebelum kakaknya itu keluar menuju kamarnya sendiri.

"Iya, sama-sama. Kakak juga sayang Kirana. Jangan lupa dimakan tuh makanannya." 
Lisna pun keluar dari kamar Kirana. Dan yang tersisa kini hanya ada Kirana yang masih terdiam, dan sesekali melirik makanan yang tadi dibawa oleh Lisna di sampingnya.

Tiba-tiba perut Kirana berbunyi. Tampaknya ia sudah sangat kelaparan. Ia pun mengambil makanan itu, lalu memakannya. Setelah habis, ia menaruh kembali piringnya di meja samping kasurnya. Lalu mengambil segelas susu yang juga dibawakan oleh Lisna tadi dan meminumnya.

Terlintas dalam pikirannya setiap perkataan kakaknya.

"Masalahku ini belum seberapa dibanding apa yang kakak rasakan. Harusnya aku tidak usah berlebihan seperti ini." seru Kirana kembali meneguk segelas susu yang masih tersisa. Segera menghabiskan seluruhnya, lalu kembali menaruh gelasnya di meja.

"Sebelumnya aku sudah pernah mengalami hal ini. Seharusnya aku jalani seperti biasa saja." Kirana menghembuskan nafasnya kasar. 

Kemudian ia pun bangkit, berjalan menuju meja belajarnya. Mengambil sebuah buku diary, juga dengan pulpennya. Seketika ia pun mulai menuliskan ceritanya hari ini ke dalam diary tersebut.

———

Halo diary,

Sudah lama aku tidak menyapamu. Jika kamu bertanya apa kabarku, aku pun tidak tahu. Malam ini apakah malam yang indah bagiku atau justru sebaliknya? Sungguh aku tidak tahu.

Hari ini aku bertemu dengan dia. Ya, sosok lelaki yang aku suka. Aku benar-benar bahagia saat aku bisa bertemu kembali dengannya. Tapi kemudian aku tersadar bahwa itu hanyalah kebahagiaan sesaat.

Selamat datang kembali rindu, kamu memang hebat!

———

Senyuman miring terukir di bibir manis Kirana. Kagum dengan rindu yang dapat kembali hadir di kehidupannya. Ia pun menutup diary itu. Lalu bangkit kembali menuju kasur. Ia mengubah posisinya menjadi terbaring dan menatap langit-langit kamarnya.

"Aku sudah terbiasa dengan rindu. Mungkin ini adalah episode baru rinduku. Aku harus siap menjalaninya." Ia menutup matanya lalu terlelap dalam tidur dengan ditemani rasa rindu yang baru.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kapsul Waktu

 Matahari belum sempurna terbit di timur, tapi seorang perempuan terlihat amat terburu-buru. Dengan Hoodie warna biru dan rok rample -nya Rita melangkah dengan cepat, bahkan nyaris berlari. Hari ini adalah hari yang spesial. Hari yang paling ditunggu oleh Rita. Tujuannya adalah taman kota. Tepatnya di dekat pohon besar. Di sana, di dalam tanah, Rita akan membuka kapsul waktu yang pernah ia tanam bersama seorang laki-laki yang ia cintai empat tahun lalu. Namanya Rangga. Dia adalah orang yang pemalu. Payah sekali dalam bergaul. Bahkan teman pun tidak punya. Sebaliknya, Rita adalah orang yang aktif. Gemar bergaul dan punya banyak teman. Tapi ia payah sekali kalau sudah bicara soal perasaan. Dan kelemahan utamanya adalah, dia mencintai Rangga. Empat tahun yang lalu adalah masa sekolah menengah. Keduanya berkawan baik. Rita memang mencintai Rangga, tapi ia tidak pernah berani untuk bilang. Jangan tanya bagaimana Rangga. Dia pendiam. Dia selalu senang dekat dengan Rita. Tapi tidak pernah...

Malam Sunyi

 Aku punya rutinitas Malam Jum'at. Adalah mendengarkan cerita horor di radio sebelum tidur. Maka Malam Jum'at kali ini pun sama, meskipun ada tugas sekolah yang harus aku selesaikan. Usai makan malam aku segera kembali ke kamar. Menyiapkan buku di meja belajar. Menyiapkan alat tulisnya juga. Tidak lupa menyalakan lampu belajar untuk mendapatkan penerangan. Barulah aku beranjak untuk mematikan lampu kamar. Radio sudah diputar dalam ponsel. Aku juga menggunakan earphone agar suaranya lebih jelas terdengar dan lebih mencekam. Penyiar mulai menyapa pendengar. Bersamaan dengan itu aku pun mulai mengerjakan tugasku. Selagi menunggu penyiar sibuk mengobrol sana-sini, aku juga sama sibuknya dengan isi kepala sendiri. Beruntung tugas kali ini tidak sulit, jadi bisa dengan mudah aku selesaikan. Tepat saat aku menutup buku, cerita seram pun dimulai. Lampu kamar sudah dimatikan. Lampu belajar juga segera padam seiring dengan selesainya tugas sekolah. Kamar sudah sepenuhnya gelap. Jendela ...

Taman Bunga

Hari ini akan ada petugas kesehatan dari puskesmas datang ke sekolah. Untuk melakukan penyuluhan seputar gizi, katanya. Sebagai guru pria, tenagaku dibutuhkan untuk segala kegiatan logistik. Menyiapkan panggung misalnya dari jauh-jauh hari. Saat hari yang ditetapkan akhirnya tiba, aku ditugaskan sekolah untuk menerima para perawat dari puskesmas di gerbang depan. Bersama seorang guru perempuan, aku sejenak bercakap dengan satpam di pos depan selagi menunggu tamu datang. Sebuah mobil minibus tampak bersiap untuk memasuki gerbang sekolah. Aku dibuat tertegun karenanya. Bulu kuduk serentak berdiri, merinding. Entah kenapa ada perasaan gugup. Degup jantung tiba-tiba saja berpacu lebih cepat dari biasanya. Semua perasaan itu seolah menjadi tanda kalau akan ada rindu yang terbalas sebentar lagi. Satpam bergegas menjalankan tugas. Membantu mobil yang baru datang untuk parkir dengan rapi. Aku pun bergegas menghampiri mobil itu untuk menyambut para penumpangnya. Satu per satu perawat turun dari...